Akhirnya hari ini tiba, setelah tadi malam Lulla meminta nomor ponsel Hana dari semua orang yang ia kenal. Beruntungnya malah Miya tahu, dan secara ajaib orang ini tidak bertanya lebih jauh kenapa Lulla meminta nomor Hana, orang yang dekat dengan Oktano.
"Ada apa ya, eummm...."
"Lulla. Lulla Adelia." Ia menatap tepat di mata Hana yang tidak nampak merasa bersalah sama sekali.
Lulla jadi makin kesal. Hanya saja Lulla lupa, Hana tidak benar-benar mengenalnya, jadi untuk apa dia merasa bersalah? Memangnya dekat dengan Oktano adalah kesalahan?
"Ah, Lulla? Teman satu jurusannya Oktano, kan?"
Lulla jelas terkejut karena Hana tahu bahwa dirinya juga teman Oktano, tapi ia berusaha mengabaikan apa yang Hana katakan barusan. Mencoba untuk bersikap biasa saja supaya tujuan aslinya di sini tidak terlalu kentara.
"Katakan apa hubunganmu dengan Oktano."
Hana diam, agak terkejut.
"Kenapa tidak dijawab?"
"Kenapa kau menanyakan hal ini? Apa kau juga penasaran seperti orang-orang?"
Astaga, berputar-putar sekali orang ini. Jika ditanya ya tinggal jawab saja apa susahnya? Jangan malah bertanya balik, membuang waktu Lulla yang kelewat berharga.
"Aku tidak tahu apa yang orang-orang katakan di luar sana, tapi kami tidak punya hubungan yang seperti itu. Aku sudah punya pacar." Hana mengakhiri kalimatnya dengan seutas senyuman.
Lulla masih menatap tak suka pada perempuan di depannya, karena jawaban yang ia terima belum bisa membuat hatinya puas.
"Kau sendiri, apa hubunganmu dengan Oktano? Kenapa menanyakan hal ini?" Hana bertanya balik.
"Hanya ingin tahu saja."
Kemudian si perempuan bersurai hitam pendek sebahu mengangguk paham.
"Oktano itu orang yang tidak bisa mengekspresikan perasaannya sendiri, itulah kenapa dia hanya bisa dekat dengan teman baiknya saja."
Entah kapan tepatnya, tapi Lulla pernah mendengar kalimat yang familiar dengan yang diucapkan Hana seperti saat ini. Orang lain pernah bilang begini juga sebelumnya.
"Kalau ada di luar sana orang yang mencurigaiku punya hubungan lebih dengan Oktano, justru kedengarannya lucu bagiku. Harusnya mereka tahu dari sudut pandang kami dulu baru boleh bicara."
Lulla diam saja, sedikit banyak jalan buntu di kepalanya menemukan siraman cahaya.
"Sebaliknya, kalau orang itu tidak begitu dekat dengan Oktano, ada kemungkinan lelaki itu menyukainya."
"Dan ku harap orang yang menyukai Oktano bisa lebih ekspresif darinya." Hana masih tersenyum ketika bangkit berdiri.
"Hanya itu yang bisa ku beritahu padamu. Semoga kita bisa jadi teman baik di masa depan, Lulla."
Hana pergi, meninggalkan Lulla dengan jalan yang kembali buntu lagi. Ia jadi bertanya-tanya seorang diri. Kenapa Oktano rumit sekali untuk dimengerti? Kapasitas otak menengah ke bawah milik Lulla tidak sanggup memahaminya.
---
Di perempatan jalan sepulang dari pertemuan singkatnya dengan Hana, Lulla mendapati Audy dari kejauhan sudah melambai-lambai ke arahnya. Ini jam 4 sore, waktunya mahasiswa ramai-ramai keluar dari kampus. Audy memang ada di fakultas yang berbeda dengannya, tapi kan semua fakultas di kampus mereka ada dalam satu komplek, jadi bertemu Audy yang anak ilmu komunikasi masih mungkin terjadi beberapa kali.
Tanpa mengatakan apapun sebelumnya, tahu-tahu Audy sudah menghambur ke pelukan Lulla, mengeratkan tangannya di punggung perempuan yang lebih tua. Selesai dengan pelukan panjangnya, Audy menatap Lulla dengan cengiran yang jelas terpatri di sudut bibirnya.
"Kak Lulla,"
"Ada apa Audy? Kau kelihatan senang sekali."
"Aku ingin berterima kasih padamu kak."
"Hah?" Lulla mengernyitkan dahinya.
"Vincent dan aku sudah berkencan."
Ngomong-ngomong, sudah 1 bulan ini Lulla tidak bertemu Vincent, dan selama itu juga ia tidak tahu perkembangan hubungannya dengan Audy. Tapi kalau sudah berkencan, ya baguslah.
"Serius? Pantas kau kelihatan bahagia sejak tadi? Dia bagaimana? Baik padamu?"
Audy mengangguk semangat. "Sangat baik."
"Ku bilang juga apa, aku tidak akan salah memilihkan orang untukmu. Sejak awal aku sudah tahu kalian ini sangat cocok."
Lulla mengelus puncak kepala Audy, membuat yang lebih muda makin tertawa riang. Ya, biarkan saja semuanya seperti ini. Semoga saja Vincent memang ditakdirkan untuk Audy, bukan karena memacari manusia polos ini karena masih dendam pada Lulla.
"Kak Lulla sendiri pacarnya mana?"