Hana.
Lulla sudah mencari seluk beluk orang itu dari mulai asal, jurusan, dan rumahnya. Ia ingin tahu masalah apalagi yang akan perempuan itu sebabkan hingga sebelumnya harus menyeret nama Oktano. Ketika berhasil mengendap-endap memakai masker hitam di sekitar gang rumah Hana, Lulla menunggu. Ia menunggu si penghuni rumah pulang. Ada satu hal yang harus ia lakukan ketika orangnya sudah berada di rumah dengan selamat.
Sibuk berpikir, Lulla melewatkan mobil putih yang baru saja melintas di sampingnya. Tapi ketika mobil itu sudah terparkir di depan rumah, Lulla menyadarinya. Lulla langsung sadar kalau dua orang yang baru saja keluar dari mobil bukanlah Hana dan kekasihnya.
Melainkan dengan Oktano.
Emosinya meluap saat itu juga. Ia sudah hampir hilang kendali, ingin rasanya menghajar Oktano sekarang juga. Hadiah yang ia berikan pada Oktano memuat isi hatinya, dan sudah ia berikan langsung pada yang bersangkutan. Tapi ini balasannya?
Kalau mau menolak yang sopan sedikit, bangsat.
"Ayo lakukan," Mata Lulla kembali berkilat marah.
Mengendap-endap ke arah mobil yang terparkir di depan rumah, Lulla segera menancapkan paku yang ia bawa dari rumah ke ban mobil putih tadi. Tak lupa Lulla memotret plat mobil milik Oktano itu. Ia akan melakukannya lagi nanti, mungkin tiap hari.
Benar, ia mengempeskan ban mobil Oktano. Ia tidak mencelakai Hana barang segores pun. Karena yang menyakiti perasaannya adalah Oktano. Hanya itu yang sanggup ia percayai agar tidak melukai lebih banyak orang lagi.
"Hei, siapa di sana?"
Lulla merapatkan jaket di atas kepalanya dan lari secepat kilat.
---
Hari yang ditunggu Audy pun tiba, ia akan segera bertemu Vincent nanti sore. Kak Lulla memang pintar dalam memilihkan hari, karena nyatanya malam minggu memang waktu yang tepat untuk menghabiskan waktu bersama orang yang spesial. Tapi lamat-lamat Audy melihat seseorang yang baru saja akan berkenalan dengannya sedang menyeret lengan orang lain.
Orang itu....
"Kak Lulla?"
Dua orang yang sedang berjalan tak jauh dari tempat Audy berdiri kini menoleh bersamaan.
"Audy?"
"Kalian sedang apa?" Mata Audy tidak bisa lepas dari tangan dua orang itu yang saling bertaut.
"Oh, kau yang namanya Audy?" Vincent refleks melepaskan cengkeramannya dari lengan Lulla, beralih menatap Audy.
Audy mengangguk.
"Kalian mau kemana?"
"Oh, kau Audy rupanya." Vincent mengulangi ucapannya, kali ini sambil sedikit tersenyum.
"Iya, sudah ku bilang aku ini Audy. Jadi, tolong jelaskan kenapa kalian tiba-tiba berjalan bersamaan? Kalian darimana?"
Lulla hanya diam saja, ia sedang dalam mood sangat yang tidak bagus untuk bicara apapun saat ini. Sementara Vincent sama saja, ia terus menerus mengalihkan topik pembicaraaan sedari tadi.
"Kenalkan, aku Vincent. Ayo kita bicara di tempat yang lebih layak, Audy." Vincent menggandeng lembut lengan Audy, menjauh dari tepi jalan raya.
"Eh, tapi kak Lulla?" Audy berkali-kali menoleh ke arah Lulla yang tidak beranjak dari tempatnya sama sekali.
Sementara itu, Lulla hanya menyaksikan Vincent yang melenggang bersama Audy dalam diam. Dia akan sangat senang seandainya Vincent bisa langsung tertarik pada Audy dalam waktu singkat.
Tring!
Ponselnya berdering singkat, menandakan ada sebuah pesan masuk di line.
Vincentius : Jangan pernah mengempeskan ban mobil orang lagi. Itu tidak benar, kak. Kau bisa dilaporkan ke polisi.
Vincent sialan.
Adik tingkat sialan.
Siapa dia sampai berani menghancurkan rencana suci yang sudah ia susun berhari-hari tanpa tidur.