Pagi-pagi sekali Lulla sudah mandi, ia akan segera pergi ke perpustakaan untuk mencari bahan tugas. Tapi kegiatannya berganti baju terhenti saat Fena melongok ke dalam kamarnya. Lulla bisa saja pura-pura tidak melihat, tapi anak ini nampak ingin mencari tahu sesuatu lewat tatapan mencurigainya.
"Ada apa?"
"Mau kemana kak pagi-pagi begini?"
"Perpustakaan."
"Memangnya paman dan bibi mengijinkanmu pergi sebelum sarapan?" Fena sudah melenggang masuk, duduk di pinggiran ranjang.
"Tenang saja, aku nanti bisa makan di luar."
Fena memandangi kakak sepupunya ini tanpa henti. "Jadi kau benar-benar akan ke perpustakaan?"
Lulla mengangguk. "Seperti yang ku bilang."
"Bukan untuk kencan dengan Vincent, kan?"
Lulla berbalik badannya menatap Fena yang sedang cengengesan seperti bocah.
"Kau..."
"Aku hanya dengar suara teleponmu tadi malam. Hari ini mau bertemu Vincent, kan? Wah, apa Audy tahu tentang ini?"
Lulla buru-buru membekap mulut Fena yang remnya blong. "Jangan keras-keras, nanti Audy dengar."
Fena kembali cengengesan. "Audy masih tidur kok, dia tidak akan bangun sebelum jam delapan, kecuali ada kelas pagi."
Bekapan tangannya pada mulut Fena terlepas. Lulla kini memutuskan untuk ikut duduk di samping sepupunya.
"Aku tidak berkencan dengan Vincent, Fen. Justru karena aku tidak suka dia, aku berniat mengenalkannya pada yang lebih membutuhkan."
"Lalu kenapa harus Audy?"
"Karena mereka sama-sama single."
Detik jarum jam memenuhi ruangan yang mendadak hening. Lulla agaknya khawatir kalau sampai Fena mengira ia punya niat buruk pada Vincent dan Audy.
"Kau bertanya seperti ini, memangnya kau mau berdiri di pihak siapa?"
Ditanyai seperti itu, Fena dengan sigap menaruh telapak tangannya di atas tangan Lulla. "Aku tidak tahu seberapa besar masalahmu kak, tapi aku akan selalu berada di pihakmu."
"Tapi aku akan lebih senang lagi kalau kau tidak punya maksud buruk pada Audy, karena dia sahabatku." Fena menambahkan.
Lulla mengusak surai sebahu sepupunya itu. Mungkin belum waktunya anak kecil untuk tahu, belum juga saatnya bagi Lulla untuk memberitahu. Persoalan hatinya ini cukup dirinya saja yang memahami, entah dijalani dengan jalan yang lurus atau berkelok-kelok.
---
Fena memang mendengar yang sebenarnya. Tadi malam Vincent memang menelepon, tapi nada bicaranya sedih sekali. Jadi malam tadi Lulla begadang hanya untuk menghibur si adik tingkat. Anak itu minta bertemu siang ini di cafe agak jauh dari kampus, ia bilang ada yang ingin disampaikan. Berita bagusnya, ketika waktu sudah lewat 15 menit, Vincent mulai menampakkan diri. Ia membuka topi hitamnya dan langsung duduk di depan Lulla tanpa banyak bicara.
"Vincent..."
"Aku minta maaf sudah membentakmu saat di bioskop. Sungguh, aku tidak berniat seperti itu sebenarnya kak. Aku bahkan tidak terpikir kalau hal itu akan jadi bumerang bagi diriku sendiri."
Lulla menggigiti bibir bawahnya, sedang mencari cara agar Vincent tidak mengatakan menyukainya lagi.
"Aku semakin memikirkanmu."
Lulla menghela napas pendek, sudah ia duga hal seperti ini akan terjadi.
"Dengar Vincent, orang yang ingin ku kenalkan pada-"
"Aku sudah memikirkannya seharian ini kak." Ucapnya memotong kalimat Lulla yang belum berakhir.
"Seperti yang ku katakan tadi, aku masih memikirkanmu. Tapi kalau menurutmu dengan mengenalkanku ke temanmu bisa membuat perasaanmu lebih baik, aku akan mengabulkannya."
Lulla jadi tidak bisa berkata-kata.
---
Lulla sedang sibuk menyuapkan makan siang ke mulutnya. Di kantin kampus, ditemani Miya dan Mey, Lulla makan dalam diam. Berbeda dengan dua orang kelebihan energi yang tidak ada henti-hentinya bicara sambil makan.
"Siang, Lulla?"
Suara itu muncul kembali. Suara yang sudah beberapa hari ini ingin Lulla dengar. Lulla mendongak saat matanya bertabrakan dengan mata Oktano. Mereka bertatapan agak lama. Tapi Oktano sendiri memutus kontak mata mereka dengan sibuk meletakkan nampan makan siang ke meja.
"Beberapa hari ini aku tidak bertemu denganmu, kemana saja?"
Lulla diam tidak menjawab. Tapi meski begitu, Mey tidak berhenti menyenggolnya sejak tadi.
"Kau tidak menyapaku, Oktano? Sudah lupa dengan tetanggamu sendiri?"
Oktano justru hampir berjingkat saat mendapati Miya ada persis di sebelahnya. Kenapa tidak lihat ya tadi?
"Sejak kapan kau di situ?"
"Sejak kau mengajak Lulla bicara."
Oktano menggaruk tengkuknya. "Tapi Lulla sepertinya tidak mau membalas sapaanku."
"Tenang saja, dia memang tidak bicara seharian ini. Mungkin sedang sakit." Balas Mey sok kenal sedikit.
Lulla meletakkan sendok yang sedari tadi ia genggam dengan agak kasar, menimbulkan bunyi yang mirip gebrakan. Meski perempuan itu hanya melakukannya satu kali, namun hal itu mampu menarik perhatian semua orang di meja.
"Soal Vincent, aku sudah berusaha seperti yang kau minta. Tapi nyatanya beberapa hal tidak bisa berjalan dengan semestinya."
Lulla hanya berharap Oktano mau setidaknya bersimpati padanya yang sedang melewati masa-masa sulit.