Chereads / RATNA BELANTARA / Chapter 2 - 1. Mimpi

Chapter 2 - 1. Mimpi

Kemarin aku bermimpi aneh, serius. Saat itu gelap sekali. Aku tidak melihat apa pun. Hanya ada suara-suara yang muncul. Datanglah kemari, ikuti aku. Terus begitu hingga aku terbangun pagi ini.

Rasanya pagi ini lebih mendung dari sebelumnya. Hujan turun lebih sering, orang-orang memilih untuk diam di rumah, sambil menikmati liburan panjang. Namaku Nia Akasia. Umurku empat belas tahun. Aku tinggal di Kota Pohon. Aku rasa itulah sebab nama belakangku 'akasia' yang diambil dari salah satu nama pohon yang ada di kota kami ini. Namun jika aku menanyakan nama salah satu tetanggaku, tidak ada yang nama belakangnya jenis pohon atau apa pun yang merujuk ke sana. Anggapan mengenai nama belakangku pun hilang. Awalnya, aku mengira aku dari keluarga yang spesial karena hal itu. Hingga sampai saat ini aku sadar, aku sama sekali tidak merasa spesial. Tiga belas tahun hidupku aku jalankan biasa saja. Hidupku berkecukupan, keluarga yang bahagia, lalu anggapan itu hilang. Meski begitu, sebenarnya semua itu sudah lebih dari yang aku harapkan. Ayahku adalah pemilik kebun jagung yang cukup luas-untung saja bukan 'akasia'-sedangkan ibuku adalah seorang penjahit. Kata Ayah, Ibu berprofesi sebagai penjahit bahkan sejak sebelum mereka menikah. Katanya itu sudah pekerjaan turun-temurun dari keluarga Ibu. Aku disekolahkan di sebuah sekolah yang tidak jauh dari rumah, yaitu Tree School 01, tepatnya di kelas sembilan. Ya, semua orang tahu nama Tree School yang artinya Sekolah Pohon berasal dari nama kota kami yaitu Kota Pohon. Semua sekolah di sini bernama Tree School, setiap sekolah dibedakan berdasarkan nomor belakangnya saja.

Pagi ini rasanya bosan sekali. Aku hanya duduk diam di kamar, membaca, sambil sesekali melihat rintik hujan yang turun tidak terduga melalui jendela. Hujan yang turun bukan hujan biasa, tetapi hujan lebat badai flee, hujan musiman yang turun setiap tahun dalam kurun waktu yang cukup lama. Dampak yang ditimbulkan hujan ini sangat hebat, seperti banjir, longsor, mati lampu-hal yang paling aku benci-bahkan saat aku mempelajari ilmu klimatologi, apabila cuaca dingin, hujan ini bisa berubah menjadi hujan es-benar-benar berbentuk seperti es-sepertinya hal ini terjadi karena suhu air hujan yang begitu dingin.

Kamarku terletak di lantai dua. Aku memilihnya sendiri saat pertama kali pindah ke sini. Alasannya karena pemandangan lantai atas yang begitu indah. Aku bisa melihat jalanan yang dipenuhi orang-orang setiap pagi-meskipun sekarang tidak lagi-aku bisa melihat jejeran rumah, memanggil teman-teman seperumahanku dari atas, dan yang tidak pernah membuatku bosan sampai saat ini adalah aku bisa melihat pemandangan istana dengan air terjun di belakangnya. Sangat indah. Istana megah yang menjadi rumah pemimpin Kota Pohon dari tahun ke tahun.

"Nia, ayo turun, sarapan sudah siap nih!" Ayah memanggil dari lantai bawah. Seiring dengan itu, aroma sedap makanan menghampiri saraf pembau di dalam hidungku, membuat otakku terangsang, lantas melompat dari tempat tidur, keluar dari kamar, lalu turun melalui tangga sampai tangganya berbunyi yang sangat keras.

"Aduh, pelan-pelan dong jalannya, Nia," ujar Ibu yang mendengar suara itu. Saat itu aku melihat Ibu sedang menjajakan hidangan di meja makan. Aku hanya tersenyum malu kemudian berjalan mendekat, melihat hidangan yang dijajakan Ibu. Aku merasa begitu senang ketika melihat makanan favoritku disajikan.

"Nih, Ibu masak makanan favoritmu pagi ini. Sup ikan jagung pedas," ucap Ibu. Ketika Ibu meletakkan sebuah mangkuk berisi sup dengan ikan pangasius dan jagung, aku merasa begitu senang, bersemangat untuk makan. Seketika rasa bosan yang tadinya hampir menguasai jiwa dan raga, sekarang sudah hilang.

Aku duduk di meja makan, diiringi Ayah dan Ibu yang bersiap mengambil makanan. Aku mengambil piring makanku, mengambil nasi kira-kira dua sendok, dan mengambil sup pedas, ikan, beberapa potong jagung muda, kemudian sedikit sayur yang juga ada dalam sup ke dalam mangkuk yang sudah disediakan. Aku mengambil semua itu dengan cepat sampai-sampai Ayah dan Ibu tidak dapat ikut mengambil. Mereka tersenyum melihat tingkah rakusku.

"Pelan-pelan dong," ucap Ayah. Aku tersenyum malu untuk kedua kalinya.

"Nggak apa-apa, Yah. Sesekali, mumpung makanan kesukaan Nia," ucap Ibu.

Aku mengangguk setuju. Aku menyukai makanan ini sejak berumur tujuh tahun. Saat itu, tanteku datang berkunjung. Suatu hari, Tante dan Ibu memasak bersama. Mereka memasak makanan yang sama dengan yang dimasak Ibu untuk sarapan pagi ini, yakni sup ikan jagung pedas. Di dalam sup yang diberi sambal dan rempah-rempah, ada ikan, jagung yang rasanya sangat manis, dan sayur seperti sayur carota, sayur chinensis, serta variasi sayuran lainnya. Karena rasanya yang menggugah selera, aku jadi sangat menyukainya.

Akhirnya kami sekeluarga pun makan. Sambil makan, perbincangan pun terjadi.

"Eh, Ibu sudah baca koran hari ini. Katanya ada beberapa kerajaan yang melaporkan bahwa permata neutron hilang alias dicuri," Ayah memulai perbincangan.

"Iya. Kerajaan kita juga ikut melaporkan. Katanya ada dua permata yang hilang. Bahkan ada yang bilang sampai tiga permata," Ibu membalas.

Aku tahu sedikit tentang permata neutron. Tujuh buah permata yang terletak pada tujuh dimensi berbeda. Warna permata-permata itu seperti warna pelangi, yaitu merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Cahayanya menembus dimensi yang ada hingga ke negeri ini dan bertemu di Sungai Pelangi. Ketujuh warna pelangi itu bergabung menjadi warna putih yang sangat terang, kemudian didispersikan kembali oleh air terjun yang ada di Sungai Pelangi membentuk busur pelangi yanng indah. Katanya permata itulah yang menjaga kedaulatan negeri ini. Kota kami hanya salah satu bagiannya. Setiap kota dipimpin oleh kerajaan. Kerajaan kami adalah kerajaan yang kecil. Teknologi kota kami masih kalah dibandingkan kerajaan besar lainnya yang selalu mengasah teknologi mereka. Sebenarnya bukan hanya kota kami saja yang kerajaannya tergolong kecil, masih ada kota lain seperti Kota Rumput, Kota Lumpur, dan sebagainya. Tiga kota yang menjadi pusat kemajuan teknologi negeri kami ini adalah Kota Api, Kota Brizland, dan Kota Refleksa. Kota yang lain berusaha mengimbangi.

Permata neutron yang ada menjadi sumber penggerak kehidupan di negeri kami. Katanya ketujuh permata itulah yang membuat tanah subur, tumbuh-tumbuhan tumbuh, air jernih yang selalu tersedia, hukum alam bekerja dengan baik, bahkan listrik yang kami gunakan berasal dari cahaya pelangi yang dihasilkan oleh tujuh permata neutron. Energi yang dihasilkan oleh ketujuh permata sangat besar, makanya bisa digunakan sebagai pembangkit listrik. Bahkan dari buku yang pernah aku baca, dua cahaya dari tujuh permata saja sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan listrik untuk negeri besar kami yang terdiri atas puluhan kerajaan ini. Tetapi aku tidak tahu adanya hubungan cahaya dari tujuh permata neutron ini dengan kesuburan tanah, air jernih, hukum alam. Apakah itu sihir atau semacamnya? Aku tidak pernah mengerti bahkan ketika aku berniat untuk mempelajarinya.

"Tetapi menurut observasi kerajaan yang menguasai kota-kota maju di luar sana, ketujuh permata neutron masih berada persis di tempatnya. Mereka bahkan sudah menciptakan alat baru yang lebih mutakhir sehingga hasilnya akan lebih akurat," ucap Ayah.

"Sebaiknya hal ini tidak boleh diremehkan. Apalagi hal ini juga menyangkut sumber penggerak negeri kita. Di negeri ini, tentu belum ada berita atau rumor tentang hilangnya permata neutron, kan?" ucap Ibu. Ayah mengangguk setuju sembari memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut.

Tiba-tiba saja hujan lebat turun seketika, kilat menyambar disertai suara petir yang sangat kuat. Kami sekeluarga terkejut. Begitulah suasana pada masa hujan flee. Hujan lebat datang tiba-tiba tanpa tanda-tanda seperti gerimis, badai, dan semacamnya. Petir dan kilat juga tak ada bedanya. Hujan flee disebabkan oleh awan stracto yang katanya merupakan awan dari dimensi lain yang menembus lapisan antar dimensi hingga kemari. Aku percaya tidak percaya akan hal itu. Gejala alam ini sudah sangat sering bahkan rutin terjadi. Biasanya ramalam cuaca akan memperingatkan jauh-jauh hari sebelum hujan flee terjadi melalui siaran televisi atau melalui koran, sehingga semua orang mempersiapkan diri. Bahkan Ayah batal menanam bibit jagungnya setelah panen beberapa minggu yang lalu ketika mendengar berita tentang hujan flee yang akan turun. Soalnya kemungkinan besar lahan jagung Ayah akan kebanjiran. Setelah itu, Ayah langsung menjual hasil panen secepatnya supaya mendapatkan uang. Setidaknya begitulah cara kami untuk bertahan hidup pada masa hujan flee ini.

"Yah, hujan lagi. Gimana kain bisa kering, nih?" Ibu mengeluh.

"Jemuran sudah Ibu angkat?" tanya Ayah.

"Ibu sudah menduga hujan akan turun dalam waktu dekat. Jadi kain yang baru selesai dicuci langsung Ibu jemur di dekat perapian," jawab Ibu.

"Untung sekolah sudah libur. Ayah juga sudah panen jagung. Kalau tidak, bisa repot seperti tahun lalu," ucap Ayah. Ibu mengangguk, kembali menyantap makanan buatannya.

Aku paham sekali apa yang diucapkan Ayah. Tahun lalu memang begitu merepotkan. Kota Pohon terletak di dataran rendah. Karena hujan flee tahun lalu muncul ketika sekolah aktif, banjir di mana-mana, merendam sekolah, termasuk sekolahku, aku pun kerepotan dan ketinggalan pelajaran. Pembelajaran secara daring belum bisa dilakukan karena ada beberapa murid yang tidak memiliki fasilitas apalagi di kota kami yang belum maju alias masih berkembang. Palingan hanya kota-kota maju tadi yang menggunakan sistem mudah ini. Akhirnya, guru-gurulah yang langsung berkunjung ke rumah, memberi kami tugas, dan menjemputnya lagi ke rumah. Belum lagi lahan ayah yang belum siap panen sudah kebanjiran. Ayah rugi besar. Untung masih ada tabungan sehingga biaya kami sehari-hari masih ada, meskipun akhirnya juga kewalahan. Hujan flee ini biasanya terjadi dua sampai tiga bulan. Masih enak kalau orang tuanya pekerja kantoran, masih bisa kerja dan cari uang. Kalau mata pencahariannya berhubungan langsung dengan iklim seperti kebun ayahku? Untung masih ada Ibu yang bekerja sebagai penjahit. Jahitannya bagus-bagus semua. Banyak yang pesan. Sepertinya pekerjaan ibu sebagai penjahit memang sudah turun-temurun seperti kata Ayah. Bahkan baju yang aku pakai di rumah beberapa dijahit Ibu untuk menghemat pengeluaran. Penghasilan Ibu setidaknya pas untuk memenuhi biaya sehari-hari pada masa genting seperti ini saat itu.

Perbincangan pun berhenti ketika makanan yang ada di piring kami sudah habis. Aku membantu Ibu mencuci piring kotor, sedangkan Ayah menonton berita. Sepertinya dia tidak ingin kehabisan update berita baru.

🎆🎆🎆

Aku terbangun di suatu tempat yang tampak familiar. Aku berdiri di sebuah kebun yang luas. Tanahnya basah seperti habis kebanjiran. Tidak ada tanaman di sana, namun masih tampak gembur, seperti lahan yang sengaja tidak ditanami. Tunggu. Sepertinya aku tahu tempat ini. Ini adalah kebun jagung ayahku. Ya, aku ingat sekali ketika terakhir kali aku diajak Ayah ke sini. Bentuk lahannya masih sama, dikelilingi pagar kayu yang sekarang sudah tampak tua dan lapuk. Luasnya juga masih sama. Hanya saja tanahnya tampak becek, sangat, sepertinya karena hujan flee yang berlangsung dari pagi hingga sore. Pada musim hujan flee, hujan datang cukup lama dan deras, berhenti sejenak tak sampai lima menit, lalu hujan lagi. Begitulah sampai Ibu terpaksa harus menjemur pakaian di dekat perapian.

Tapi tunggu dulu! Mengapa aku terbangun di sini? Belum sempat aku memikirkan apa pun yang sedang terjadi, tiba-tiba sesuatu yang ajaib muncul. Perlahan langit berubah menjadi terang, menghasilkan kibasan cahaya panjang berwarna-warni. Tidak ada satu pun benda langit, awan juga tidak ada. Aku sama sekali tidak tahu apa-apa. Tiba-tiba terjadi goncangan hebat, goncangan yang membuat tanah berputar ke samping. Aku hampir terjatuh. Sesuatu yang aneh terjadi. Tanah becek yang tadi aku pijak hilang seketika, berganti menjadi tanah kering tandus yang sangat luas bak tiada batas. Yang aku lihat bukan lagi kebun ayahku yang dibatasi pagar, tetapi tanah yang sangat luas terhampar.

Tak lama kemudian, suara-suara datang menyerbu telingaku. Suara-suara yang kedengaran tidak beraturan, saling menggaungi dan menutupi, tetapi anehnya aku bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan suara itu. Datanglah kemari, ikuti aku. Kelihatannya itu bukan suara biasa. Suara itu seperti berwujud. Aku melihat sebuah kibasan warna biru berukuran kecil-warna yang aku sukai. Suara itu berhasil menggerogoti telingaku dan sepertinya juga mempengaruhi pikiranku yang saat ini tengah dipenuhi pertanyaan. Aku melangkah perlahan. Tepat ketika aku menginjakkan kaki kanan ke atas tanah, tiba-tiba angin bertiup deras, berusaha mendorong tubuhku ke belakang. Datanglah kemari, ikuti aku. Suara itu muncul lagi, terngiang di pikiranku. Aku mendorong kakiku yang satunya ke depan, berusaha melawan angin kencang ini. Tepat ketika aku menghentakkan kakiku itu ke tanah, angin bertiup lebih kencang. Aku menyipitkan mata, memandang objek yang berada jauh di depanku. Itu seperti sesuatu yang bercahaya. Apa itu? Aku bergumam dalam hati.

Tunggu dulu! Aku ingat suara ini. Kalau tidak salah suara ini sama dengan mimpiku semalam. Pikiranku semakin dipenuhi pertanyaan. Apakah mungkin aku berada di mimpiku? Ini terasa sangat nyata. Begitu nyata hingga aku menyaksikan apa yang menunggu esok hari.

🎆🎆🎆