Chereads / RATNA BELANTARA / Chapter 5 - 4. Penjelajahan

Chapter 5 - 4. Penjelajahan

"Nia, kamu nggak apa-apa? Kamu sakit? Kenapa wajahmu pucat sekali?"

Itulah kata-kata yang terakhir kali aku dengar dari Elisa, teman baikku, tepat sebelum aku pingsan di ambang pintu. Sampai saat aku terbangun dari pingsanku, aku sudah melihatnya duduk bersama ayah dan ibuku. Mereka terlihat prihatin. Tanganku dipegang erat-erat. Tapi yang membuatku bingung adalah ketika aku melihat orang lain ada di sana, seorang wanita yang belum terlalu aku kenal.

"Chole?" tanyaku. Aku masih terbaring lemah di atas sofa, belum bertenaga. Suaraku terdengar lemah, mulutku bergetar saat aku berbicara.

Chole mengangguk pelan. "Kenapa, Nia?"

"Mengapa kamu bisa sampai di sini?" tanyaku.

"Ta-ta-tadi aku hanya jalan-jalan sebentar di sekitaran sini saja. Tiba-tiba aku melihatmu pingsan. Aku juga melihat Elisa yang menahanmu, jadi aku membantunya dan menunggu hingga ayah dan ibumu datang," jelas Chole sedikit terbata-bata. Aku mengangguk lemah.

Tak lama kemudian, tenagaku terasa sudah mulai pulih. Aku memberanikan diri untuk duduk. Meski awalnya terasa berat sampai-sampai Ibu menyarankanku untuk berbaring saja, namun akhirnya aku berhasil. Aku berusaha menarik napas dalam-dalam. Ayah mengambil jaket dan memakaikannya padaku, menutupi tubuhku yang tengah kedinginan. Ibu menyuguhkanku teh hangat. Aku meminumnya perlahan.

"Kenapa kamu tidak bilang sama Ibu kalau kamu sedang tidak enak badan? Kita kan bisa pergi ke dokter bersama-sama tadi?" Ibu bertanya dengan tatapan khawatir.

"Tadi Nia memang merasa nggak enak badan, tapi nggak separah ini. Nia tadi lagi searching di internet. Habis baca satu artikel, tiba-tiba kepala Nia pusing berat sampai pingsan ketika Elisa datang ke rumah untuk memberikan sesuatu," jelasku. Ibu dan Ayah saling bertatapan. Mereka menatapku kasihan.

"Sebaiknya kamu banyak istirahat, Nia," Chole memberi saran. Aku mengangguk setuju.

"Ya sudah. Kamu masuk ke kamar. Nanti Ibu buatkan sup hangat, oke?" ucap Ibu sambil menyunggingkan senyum. Aku mengangguk, lantas beranjak dari sofa, menaiki tangga dan pergi ke kamarku.

Aku mendengar Elisa dan Chole berpamitan kepada Ayah dan Ibu. "Kami berdua pergi dulu, ya."

Ketika mereka berdua sudah beranjak dari sofa, tiba-tiba aku teringat akan sesuatu. Teringat akan semua hal yang membuat keadaanku menjadi seperti saat ini. Lantas aku memanggil Chole.

Chole yang sudah berada di ambang pintu langsung mendongak ke arahku, memandang ke dalam mataku.

"Kapan-kapan bolehkan kita bicara?" tanyaku.

Chole sempat bingung meski akhirnya dia mengangguk sambil tersenyum, "Baiklah. Mampir saja ke tokoku, oke?"

Aku yang merasa senang mendengarnya langsung tersenyum lebar.

"Tapi aku ingin mengatakan satu hal kepadamu," tiba-tiba saja Chole memanggilku lantas melanjutkan ucapannya, "suatu hari ketika kamu merasa tersesat ada satu hal yang perlu kamu lakukan. Ingatlah di mana seharusnya tempatmu berpijak, maka kau akan menemukan jalan pulang."

Meski sedikit bingung, aku tetap mengangguk, menyerap semua kata-kata Chole di dalam otakku. Aku kembali tersenyum sebelum akhirnya aku berbalik dan pergi menuju kamar di saat Elisa dan Chole juga pergi keluar dari rumah.

Sesampainya di kamar, aku tidak langsung tidur. Aku memandangi Elisa da Chole yang berjalan beriringan sambil berbincang-bincang di tengah gang yang mulai ramai sekaligus memandangi pemandangan siang istana kerajaan yang berlatar air terjun yang indah. Setelah menghirup udara segar sejenak, aku menutup jendela berteralis itu dengan gorden, lantas berbaring di atas tempat tidurku yang empuk. Aroma lezat masuk ke hidung. Sepertinya Ibu sedang memasak sup sesuai dengan yang dijanjikannya. Angin sepoi-sepoi masuk melalui jendela, membuat gorden jendela bergerak-gerak. Suasana begitu hening, berhasil membuatku relaks. Hanya suara berita televisi yang masih terdengar pelan. Aku mulai menutup mataku dan tidur.

πŸŽ†πŸŽ†πŸŽ†

Sinar matahari menembus kelopak mataku yang tertutup, menyilaukan mata. Namun betapa terkejutnya aku melihat diriku berdiri di tengah-tengah orang ramai. Suara kendaraan bermotor terdengar. Aku juga melihat beberapa gedung-gedung tinggi berdiri kokoh dengan berbagai macam bentuk. Aku melihat layar besar yang tertempel pada dinding luar beberapa gedung, salah satunya gedung yang tidak jauh dari tempatku berpijak. Layar itu menampilkan berita-berita secara live. Aku juga bisa melihat pesawat terbang di atas langit, menghiasi langit bagai burung-burung. Semua pemandangan ini layaknya hiruk pikuk perkotaan. Bukan perkotaan biasa, tetapi kota maju dengan segala kecanggihan teknologi yang dimilikinya.

Aku melihat gedung di dekatku, mendekat, lantas melihat tulisan besar yang tertera di bagian atas. Brizzle School 001. Apakah aku sedang bermimpi? Bukankah Brizzle School adalah nama utama sekolah di Kota Brizzland, salah satu kota maju di negeri ini. Astaga! Aku begitu senang sampai aku melupakan apa yang sebelumnya terjadi padaku.

Tiba-tiba angin bertiup kencang, sangat kencang seperti angin itu ingin mendorongku masuk ke gedung itu. Aku pun menurutinya. Toh, tidak apa-apa, kan, kalau aku masuk. Lagi pula aku ingin melihat-lihat bagaimana sekolah di kota maju seperti Kota Brizzland ini. Apakah ada perbedaan? Atau malah sama saja dengan sekolah yang ada di kotaku?

Aku berjalan melewati lapangan yang cukup luas menuju gerbang depan sekolah. Aku masuk ke dalam gerbang yang terbuka lebar itu. Ketika aku masuk lebih dalam, aku dapat melihat lapangan dan teras-teras kelas dipenuhi murid-murid. Ada yang sedang bermain bola basket, ada yang duduk-duduk sambil bercerita di teras kelas, adapula yang bermain gadget mereka. Aku masuk lebih dalam tepat ketika bel tiba-tiba berbunyi.

"Istirahat siang sudah selesai. Semua murid diharapkan masuk kelas," toa besar yang ada di sudut atas dinding berbunyi. Semua murid terlihat masuk ke dalam kelas beramai-ramai. Namun aku terpaku pada seorang siswi yang sedang berjalan masuk dengan tenang ke dalam kelas. Dia terlihat sama dengan murid lainnya, yang membedakan adalah aku melihat ada sesuatu seperti dispersi warna yang mengelilingi tubuhnya. Terlihat seperti warna pelangi yang melapisi tubuhnya.

Aku mengikuti perempuan itu, berlari melewati kerumunan. Aku melewati beberapa anak, yang pertama kali aku lewati adalah seorang siswa dilanjutkan beberapa siswa lainnya. Namun aku merasakan ada sesuatu yang aneh. Aku seperti benar-benar melewati mereka. Ya, aku seperti melewati tubuh mereka. Atau lebih tepatnya aku menembusnya. Hei, kenapa ini? Apa mungkin aku tidak terlihat? Rasanya mustahil mengerti segalanya.

Lantas aku mencobanya lagi. Aku kembali mengejar perempuan itu, perempuan dengan lapisan berwarna pelangi. Aku berlari ke arah seseorang siswa laki-laki yang berperawakan tinggi. Sesaat aku melihat tatapan matanya, sama sekali tidak melihat ke arahku. Bahkan ketika jaraknya denganku kurang dari tiga puluh sentimeter, dia sama sekali tidak memperhatikanku. Dia tidak menghindar, tetap fokus pada tujuannya yakni ke dalam kelasnya. Dan bahkan ketika jarakku benar-benar dekat dengannya, aku tetap berlari.

WOOSH! Aku memejamkan mata, berhenti, lalu membuka mata lagi. Betapa terkejutnya diriku ketika melihat lelaki itu hilang. Lebih-lebih lagi ketika aku menyadari bahwa saat ini dia sudah ada di belakangku. Artinya aku benar-benar tidak terlihat. Tetapi aku masih bisa melihat seluruh tubuhku, lengkap tanpa kurang suatu apa pun. Ini benar-benar membingungkan. Aku pernah menonton film dimana salah satu tokohnya memiliki kemampuan untuk menghilang. Dia bisa menjadi tidak terlihat serta menembus benda dan manusia. Namun di film tersebut, tokoh itu juga sama sekali tidak bisa melihat tubuhnya, hanya bisa merasakan tubuhnya bergerak. Bahkan dia juga tidak bisa melihat dirinya di cermin. Tapi kali ini, sesuatu yang berbeda terjadi padaku. Aku masih bisa melihat tubuhku. Bahkan ketika aku melihat kaca yang terbingkai di pintu, aku masih bisa melihat diriku dengan jelas.

Aduh, hampir saja aku lupa! Tujuan utamaku saat ini adalah mengejar siswa perempuan itu. Aku mencari di sekitar tempat saat pertama kali aku melihatnya. Ternyata dia tidak jauh dari sana. Dia masuk ke dalam sebuah kelas. Meskipun jaraknya sangat jauh, aku masih bisa melihat label kelas yang ditunjukkan oleh sebuah layar komputer tepat di atas pintu masuk kelas tersebut. 9-4. Perempuan itu masuk ke sana.

Aku langsung berlari menembus beberapa siswa juga guru. Ketika aku sampai di tempat tadi, aku langsung mencari kelas 9-4. Tak lama mencari, aku langsung menemukannya dengan cepat. Aku menghampiri ruangan itu, ingin masuk. Ketika aku ingin mengetuk pintu kelasnya, tak disangka tanganku menembus kaca yang terbingkai pada pintu tersebut. Karena terkejut, keseimbanganku langsung rusak, tubuhku masuk menembus pintu kelas. Aku menemukan diriku tengah jatuh di atas lantai kelas yang sudah dipenuhi murid. Berhubung aku tidak terlihat, aku tidak merasa malu karena murid-murid di kelas ini sama sekali tidak melihat atau memperhatikanku. Mereka sibuk mempersiapkan buku dan alat tulis untuk mata pelajaran berikutnya.

Aku pun berdiri lalu mencari perempuan itu. Ternyata dia duduk di salah satu kursi yang terletak diurutan ketiga dari depan. Kombinasi warna pelangi yang aku lihat tadi masih melapisi tubuhnya dari kepala hingga kaki. Aku mendekatinya. Dia sama sekali tidak melihatku.

Tiba-tiba aku mendengar ada suara pintu yang sedang dibuka. Seorang wanita yang tampaknya terlihat sudah tua membuka pintu kelas, masuk bersama seorang pria. Mereka berjalan ke depan para muridβ€”juga aku yang tidak terlihat ini.

"Anak-anak, perkenalkan ini adalah Mr. Robert. Dia adalah pengganti Mr. Steven Marph yang akan mengajar Matematika di kelas ini," ucap wanita tua itu sambil tersenyum. Pria yang berdiri di sampingnya ikut tersenyum ramah. Tapi entah kenapa aku merasakan ada sesuatu yang aneh pada pria itu. Gelagatnya aneh dan mencurigakan. Matanya tampak sedang menyelidik, mengawasi setiap gerak-gerik.

Aduh! Entah kenapa tiba-tiba aku mencium aroma tidak sedap seperti bau bangkai di kelas ini. Aromanya seperti memenuhi seluruh ruangan. Tapi yang membuat aku bingung adalah kenapa murid-murid yang ada di kelas ini tampak biasa saja.

"Baiklah Mr. Robert, anda bisa mulai mengajar. Anak-anak semua baik-baik sama Mr. Robert, ya," ucap wanita tua tadi. Setelah para murid mengiyakan ucapannya, dia pun berjalan keluar kelas, meninggalkan guru yang mencurigakan ini, Mr. Robert, bersamaku dan murid-murid lainya.

Suasana hening sesaat setelah wanita tua tadi keluar. Hingga akhirnya Mr. Robert membuka pembicaraan.

"Selamat siang, Anak-Anak! Perkenalkan nama saya Reyn Robert, panggil saja saya Mr. Robert. Saya akan menggantikan guru matematika kalian, Mr. Marph. Semoga kita bisa cepat terbiasa, oke?"

"Oke, Sir," balas para murid.

Akhirnya kelas berjalan seperti biasanya. Mr. Robert menjelaskan mata pelajaran seperti biasa, memanfaatkan segala kecanggihan yang ada sebagai bahan pembelajaran. Aku mulai bosan, lalu duduk di lantai dekat kursi perempuan yang menjadi target awalku.

Namun tak lama pelajaran berlangsung, aku melihat Mr. Robert kembali bertindak mencurigakan, matanya kembali menyelidik. Tiba-tiba, aroma busuk itu mulai tercium lagi. Malah lebih tajam dari pada yang sebelumnya. Aku merasakan ada kejanggalan. Aroma busuk itu keluar bertepatan dengan sikap mencurigakan Mr. Robert. Apa mungkin aroma busuk ini dibuat oleh Mr. Robert? Tapi apakah itu mungkin? Kalau pun mungkin, untuk apa dia melakukannya? Semua murid di sini tampak biasa saja, sama sekali tidak terlihat sedang mencium bebauan apa pun. Hanya aku yang menciumnya.

Makin lama, aroma itu terasa semakin busuk, semakin menyiksa seperti ada bangkai tikus mati disekelilingku. Aku mual, serasa mau muntah. Kepalaku terasa pusing. Lebih pusing dari keadaanku yang sebelumnya. Dengan langkah tersendat-sendat, aku berjalan menuju pintu kelas. Aku ingin keluar dari tempat ini secepatnya. Tapi keanehan terjadi ketika aku sudah di ambang pintu. Aku tidak bisa menembus kacanya. Aduh! Aku bergumam sendiri.

Aku menoleh ke belakang. Alangkah terkejutnya aku ketika melihat Mr. Robert tengah menatapku. Kenapa dia bisa melihatku? Aku bertanya-tanya dalam hati.

"Hei, siapa kau?" ucapnya. Matanya melotot ke arahku, mengeluarkan sinar merah. Murid yang lain melihat Mr. Robert dengan tatapan bingung. Apakah mungkin hanya Mr. Robert yang bisa melihatku? Namun bagaimana bisa? Apa spesialnya dia? Seiring aku berpikir, sinar itu semakin menyala, terasa menusuk ke dalam mataku, menembus saraf-saraf mata hingga ke otak. Kepalaku terasa pusing. Aku terduduk, mencakar keramik lantai dengan kuku-kuku jemari tanganku.

Aww! Aku menjerit kesakitan, semakin kuat mencakari keramik lantai. Namun tak lama kemudian, sesuatu terngiang di kepalaku. Sesuatu yang berhasil membuat pikiranku terbuka, sesuatu yang bisa menolongku jika aku memikirkannya baik-baik. Ya, ucapan pendek Chole di rumah tadi.

"Suatu hari ketika kamu merasa tersesat ada satu hal yang perlu kamu lakukan. Ingatlah di mana seharusnya tempatmu berpijak, maka kau akan menemukan jalan pulang."

Aku mulai mencerna kata-kata itu. Tempat seharusnya aku berpijak? Ya, aku hanya harus memikirkan tempat tidurku, tempat terakhir sebelum aku sampai di sini. Itulah maksud perkataan Chole. Tanpa memikirkan apa pun lagi, dalam keadaan genting ini, aku langsung memikirkannya, memikirkan tempat tidur yang terakhir kali aku tiduri, serta mengingat potongan kilas balik sebelum aku sampai di tempat mengerikan ini. Hingga semuanya terasa senyap.

πŸŽ†πŸŽ†πŸŽ†

Aku membuka mata. Sinar siang mentari masih menembus jendela kamar, menerangi dinding kamarku. Semuanya masih terasa sama dengan sebelumnya. Senyap. Hanya terdengar suara televisi yang menyiarkan berita. Aku bangkit dari tempat tidur, beranjak dari sana. Aku keluar kamar lalu menuruni tangga. Aku melihat semua tidak beda jauh. Ayah masih sibuk menonton berita di televisi, sedangkan Ibu sedang memasak di dapur.

Mendengar bunyi tangga, Ayah menoleh ke belakang, melihatku berdiri di belakangnya. "Eh, kamu sudah bangun?"

Aku mengangguk pelan.

"Nia sudah bangun, ya. Sini duduk dulu, minum sup ini. Baru saja Ibu mau nganterin ke kamarmu," ajak Ibu. Aku menurut, duduk di atas sofa bersama Ayah. Ibu membawakan sup hangat dari dapur, meletakkannya di atas meja di hadapanku. Asapnya masih mengepul, membawa aroma lezat, berbeda jauh dengan aroma busuk tadi. Eh! Kenapa tiba-tiba aku jadi mikirin aroma busuk?

Aku mengambil sesendok sup hangat itu, menyeruputnya masuk melalui sela bibir. Ketika sup itu aku cicip lalu masuk ke tenggorokan, aku merasa lebih baik. Aku mengalihkan pandangan ke layar televisi yang sedang menyiarkan berita.

"Terjadi sebuah kasus yang diduga sebagai kasus pembunuhan di Kota Brizzland. Seorang pria ditemukan tewas tak bernyawa di sebuah gang. Berdasarkan kartu identitasnya, pria berinisial SM itu diduga merupakan seorang guru yang mengajar di salah satu sekolah di Kota Brizzland yakni di Brizzle School nomor 001. Kematiannya tampak janggal. Mayatnya dibungkus karung dan ditemukan pisau menancap tepat di dahinya. Di duga kematiannya sudah beberapa minggu yang lalu. Setelah menghubungi keluarga korban, mayat korban langsung dikuburkan. Polisi menyegel TKP dan menjadikan pisau yang menancap di dahi korban sebagai bahan bukti utama. Pisau itu telah dibawa ke ahli forensik untuk pengecekan sidik jari."

"Aduh kasihan sekali guru itu. Sudah banyak kasus pembunuhan akhir-akhir ini, sepertinya kita harus lebih berhati-hati jika keluar rumah," Ayah berkomentar.

Tiba-tiba aku terdiam, teringat akan sesuatu. Brizzle School 001? Guru yang dibunuh? Meninggal? Inisial SM? Apakah mungkin orang yang tewas mengenaskan itu adalah Mr. Steven Marph?

Ini semua terasa membingungkan. Pikiranku berkecamuk. Apakah mimpi itu nyata? Apakah aku memang ada di sekolah itu? Melihat semua kejadian yang ada?

Lantas sesuatu muncul di kepalaku. Teringat sebuah kalimat yang diucapkan Chole. Kalimat yang langsung terngiang di kepalaku, kalimat yang menolongku kalau dipikirkan baik-baik, dan kalimat yang berhasil membawaku kembali tertidur di ranjangku, lantas aku bangun dan mengira semua itu hanyalah mimpi. Sampai saat ini aku masih belum mengerti apa-apa. Semuanya masih terlihat samar. Ucapan Chole, aku mengingat semuanya. Mulai dari saat pertama kali kami berjumpa, hingga kedua kalinya. Sepertinya ini memanglah keputusan yang sangat tepat. Aku akan pergi ke tempat Chole, menanyakan segala sesuatu yang belum bahkan tidak akan pernah aku pahami.

πŸŽ†πŸŽ†πŸŽ†