Hari ini adalah hari yang paling berbeda. Aku harus mulai bersekolah lebih cepat, Ayah mulai bekerja lebih cepat, musim hujan flee yang juga berjalan lebih cepat, aku rasa semua berjalan lebih cepat. Padahal tahun lalu, seingatku aku saat ini aku masih diam di rumah, memandangi langit yang dipenuhi awan kelabu melalui jendela, hingga tiba-tiba petir dan hujan datang bersamaan tanpa disadari.
Sama seperti hari-hari sebelumnya, aku sarapan bersama Ayah dan Ibu. Tidak ada hal yang cukup menarik untuk diperbincangkan. Ayah hanya ber-yes ria karena terlanjur senang, Ibu yang hanya membicarakan mengenai ekonomi keluarga. Setelah selesai sarapan, aku dan Ayah bersiap untuk berangkat. Kami berdua pergi dari rumah setelah berpamitan dengan Ibu.
Sekolahku terletak tidak jauh dari rumah. Kalau dibandingkan dengan pasar, sekolahku jaraknya hanya lebih jauh sedikit. Kira-kira berjalan kaki selama sepuluh menit, aku dan Ayah sampai di sekolahku. Sekilas memandang, sekolahku tidak beda jauh dengan sebelumnya. Gedung bercat hijau itu dikelilingi pagar berwarna hijau tua. Di atasnya terdapat tulisan besar 'Tree School 01'. Inilah sekolahku. Murid-murid tampak ramai memenuhi hampir seluruh bagian sekolah dengan beragam kegiatan yang dilakukan.
Setelah menyalam Ayahku dan berpamitan kepadanya, aku pun masuk. Begitu pula dengan Ayah yang pergi menuju ladang jagungnya. Ladang jagung Ayah terletak jauh dari sekolah, aku sempat merasa kasihan karena mengira Ayah harus berjalan kaki sampai ke sana. Eh, ternyata setelah aku dengar-dengar ternyata Ayah menumpang sama temannya untuk pergi ke sana menaiki sepeda.
"Hai, Nia!" seseorang menyapaku dari kejauhan. Setelah melihat sumber suara, aku pun tahu ternyata itu adalah Elisa. Tanpa membalas sapaannya, aku berjalan cepat menghampirinya.
"Gimana kabarmu?" tanya Elisa. Kami berjalan beriringan. Ngomong-ngomong kami berada di kelas yang sama.
"Baik-baik saja, kok," ucapku sembari melukis senyum di bibir.
"Kamu sekelas sama aku loh!" ucap Elisa. Dia terlihat senang, begitu pula denganku. Kami pun melanjutkan perjalanan.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba saja Elisa berhenti. Spontan aku ikut berhenti pula. "Eh, Nia, sudah dengar kabar kalau ada anak baru yang datang ke sekolah kita?"
"Apa?" tanyaku memastikan aku tidak salah dengar.
"Iya. Di kelas kita pula. Katanya dia pindahan dari sekolah di Kota Brizland," ucap Elisa.
"Benarkah?" tanyaku tidak percaya.
"Iya," ucap Elisa sembari mengangguk.
"Laki-laki atau perempuan?" tanyaku lagi.
"Kalau aku lihat di daftar kelas, dia perempuan," jawab Elisa. Aku ber-oh sebentar.
Tapi aku bingung, kenapa anak dari Brizland yang merupakan kota maju pindah ke sekolah kuno kami ini? Aku penasaran. Aku juga penasaran siapa dan seperti apa anak itu?
Sesampainya kami di dalam kelas, Elisa langsung berjalan ke salah satu kursi. "Nia, duduk sini. Aku sudah booking kamu duduk di sebelahku."
Aku mengangguk, lalu meletakkan tasku di atas kursi tersebut.
"Makasih, ya," ucapku kepada teman baikku itu sambil tersenyum.
🎆🎆🎆
Bel berbunyi nyaring. Aku, Elisa, dan murid lainnya berbaris di lapangan. Sesampainya di sana, aku dan Elisa mengambil barisan sesuai kelas. Aku berbaris tepat di depan Elisa karena aku lebih pendek. Guru-guru juga ikut berbaris, mereka mengambil sebuah pengeras suara.
"Selamat pagi Anak-Anak!" sapa seorang guru yang tak lain adalah Mr. Vale.
"Selamat pagi!" sapa kami balik.
Setelah memberikan beberapa pengumuman serta pengarahan, kami disuruh masuk ke kelas masing-masing. Aku dan Elisa berjalan menaiki tangga. Namun di pertengahan jalan, tepatnya di salah satu kursi teras, aku melihat seorang perempuan yang tengah duduk bersama seorang wanita.
"Itu anak baru di kelas kita," bisik Elisa.
Aku sempat terkejut dan ikut membalas, "Benarkah? Dari mana kamu tahu?"
"Lihat saja name tag di seragamnya. Itulah nama murid baru di kelas kita," bisik Elisa. aku melihat ke arah name tag perempuan itu. Dea Fransiska.
"Dea? Tapi," aku melihat wajah perempuan bernama Dea itu lekat-lekat, "wajahnya terlihat familiar. Sepertinya aku pernah bertemu dengannya."
Elisa mengerutkan dahi. "Mana mungkin? Memangnya kamu pernah ke Kota Brizland?"
"Nggak sih. Tapi, kan, bisa saja. Nengok di sosmed gitu," ucapku mengutarakan argumen meski aku merasa belum yakin.
Elisa ber-oh sejenak.
Aku dan Elisa akhirnya sampai di tangga. Kami menaiki tangga itu dan langsung menuju ke kelas, melupakan perihal mengenai anak baru itu sejenak.
🎆🎆🎆
Ketukan suara sepatu terdengar dari kejauhan. Suasana kelas hening sekali. Saking heningnya, mungkin suara sekecil jarum jatuh masih dapat terdengar. Di dalam kelas hanya terdengar suara kipas angin yang sedang memutarkan baling-balingnya, memberikan kesejukan bagi teman-temanku dan aku yang sedang duduk di depan kelas, serta beberapa murid yang tengah berbisik-bisik.
Pintu kelas terbuka. Seorang wanita masuk sembari membawa beberapa buku. Dia berjalan ke arah meja guru, meletakkan buku-buku itu, lalu melangkah ke depan kelas. Ya, namanya Miss Athena. Dia adalah guru IPA di sekolah kami yang mengajar di kelas tujuh sampai sembilan. Pada kondisi kali ini, dia juga berperan sebagai wali kelas 9-4 ini.
"Selamat pagi Anak-Anak. Perkenalkan nama saya Miss Athena. Ingat jangan panggil saya Antena ya?" ucap Miss Athena melontarkan lelucon garingnya kepada kami. Beberapa murid sempat tertawa kecil. Namun tampaknya mereka bukannya tertawa karena kelucuannya, itu tampak hanya sebagai bentuk apresiasi kecil kepada Miss Athena yang sudah berusaha membuat lelucon untuk menghibur kami.
Miss Athena memang nggak bisa membuat suasana melted. Buktinya hanya kelas kami yang dipenuhi keheningan, sedangkan di kelas lain suara tertawa pecah beberapa murid terdengar.
"Pada tahun ajaran kali ini saya akan menjadi wali kelas sekaligus guru IPA kalian. Saya rasa tidak perlu banyak adaptasi karena kalian semua sudah lama bersekolah di sini, bukan?" ucap Miss Athena sambil tersenyum. Kami hanya membalas dengan senyuman yang sama. Suasana kelas masih hening.
"Nah, apakah kalian sudah mendengar berita mengenai murid baru yang akan menghuni kelas kita ini?" tanya Miss Athena.
Aku, Elisa, dan beberapa murid lain mengangguk, sedangkan yang lainnya menggeleng.
"Baiklah semua, ini teman baru kalian," ucap Miss Athena. Seorang perempuan masuk-perempuan yang aku lihat bersama Elisa beberapa menit yang lalu. Dia tersenyum polos.
"Perkenalkan nama saya Dea Fransiska, saya adalah pindahan dari Brizzle School 001 di Kota Brizland. Saya harap teman-teman bisa akrab dengan saya. Senang bertemu dengan kalian," ucap perempuan itu memperkenalkan diri.
Tunggu sebentar. Brizzle School 001? Sepertinya terdengar familiar.
🎆🎆🎆
Kali ini aku dan Elisa tengah berjalan pulang. Karena masih hari pertama, sekolah usai lebih cepat yakni pukul 10.
"Elisa, kamu tahu kabar Chole?" tanyaku di tengah jalan.
"Oh, Chole. Kemarin dia pulang kampung karena ayahnya meninggal," jawab Elisa.
"Tapi Chole kan sudah cukup tua, apakah ayahnya masih hidup sampai tahun ini?" tanyaku. Chole saja sudah terbilang tua. Kalau tahun ini ayahnya masih hidup hingga akhirnya meninggal kemarin, kira-kira umur ayahnya berapa.
"Itu dia yang membuat aku bingung," ucap Elisa.
"Kenapa?" tanyaku.
"Chole itu orangnya misterius, Nia. Sebenarnya aku belum pernah bertemu kerabatnya, tetapi yang aku dengar meski Chole disebut-sebut sebagai orang yang istimewa, tapi tidak dengan keluarganya. Keluarga Chole sangatlah misterius. Bayangkan saja, katanya ibunya hingga seluruh kerabatnya meninggal dengan cepat pada umur yang masih terbilang muda, sedangkan ayahnya bisa berumur sangat panjang," jelas Elisa.
"Benarkah?" ujarku tak percaya.
"Yang aku dengar begitu, sih. Aku mah percaya tidak percaya saja," ucap Elisa simpel.
Aku memang merasa ada yang aneh dengan Chole. Meski ucapan Elisa terdengar layaknya omong kosong, tapi satu perkataan Elisa yang aku percaya, yaitu bahwa Chole memang memiliki kemampuan menerawang.
Sebagai bukti pertama adalah gelagat dan ucapan Chole. Entah kenapa semua ucapan Chole mengarah ke masa depan. Namun ketika aku mengingat ucapannya yakni suatu hari ketika kamu merasa tersesat ada satu hal yang perlu kamu lakukan. Ingatlah di mana seharusnya tempatmu berpijak, maka kau akan menemukan jalan pulang.
Entah kenapa ketika aku mengingat perkataan itu, ingatan lain mengikuti. Aku menghubungkan ucapan Chole satu demi satu, hingga akhirnya aku berhasil mengingat sesuatu. Ya, mimpiku lusa kemarin.
🎆🎆🎆
Malam ini entah kenapa aku merasa sedikit takut. Namun rasa antusias juga memenuhi pikiran hormonalku. Aku merasa penasaran akan mimpi aneh yang aku jalani tiap hari meski aku hanya mengingat berkas-berkasnya saja. Malam ini sebelum aku tidur, aku memusatkan pikiranku, mengatakan bahwa aku harus mengingat semua mimpiku atau setidaknya mengetahui bahwa aku tengah bermimpi. Aku juga penasaran bagaimana kondisi tubuhku ketika aku mengalami mimpi-mimpi aneh itu. Lantas aku mengambil gadgetku, membuka kamera video, dan meletakkannya di atas lemari.
Kali ini aku hanya perlu tidur, menurunkan gelombang otakku perlahan, mempersiapkan diriku masuk ke dalam dunia mimpi.
🎆🎆🎆
"Athena, ayo bangun!" Ayah memanggil dari lantai bawah.
Aku membuka mata perlahan, melihat jam yang terletak di atas pintu. Jarum pendeknya menunjuk bagian pertengahan antara angka tujuh dan delapan, sedangkan jarum panjangnya menunjuk tepat di angka enam.
Sudah pukul setengah delapan? Batinku dalam hati. Sontak aku melompat dari tempat tidur, membuka lemari, mengambil handuk, keluar dari kamar, lalu menuruni tangga dengan kecepatan tinggi. Kenapa aku bisa bangun telat? Bukankah kemarin aku sengaja tidur pukul tujuh malam supaya waktuku untuk bermimpi lebih banyak. Tiba-tiba aku teringat tentang misiku semalam. Namun sepertinya aku tidak bermimpi apa-apa. Aku berpikir untuk mengambil gadget dan mengecek video rekaman semalam. Tapi setelah aku pikir-pikir nanti sajalah. Ini kan sudah telat banget.
"Ayah, kenapa tidak membangunkanku lebih awal? Jadi telat kan?" omelku.
Ayah mengernyitkan dahi. "Rajin sekali kamu sampai-sampai mau dibangunin lebih cepat."
"Rajin? Maksudnya?" tanyaku balik.
"Sekarang baru jam enam loh, kamu nggak nengok? Percuma di kamarmu dipasang jam," jawab Ayah.
"Jam enam?" ucapku tak percaya. Bukankah tadi sudah jam setengah delapan?
Aku mengecek jam di kamarku kembali, mana tahu aku yang salah lihat. Setelah aku cek, apa yang aku lihat tadi tidak salah. Jam di kamarku menunjukkan pukul setengah delapan. Tapi tunggu dulu, kenapa rasanya jarum pendeknya berhenti, dari tadi tetap menunjuk angka enam.
"Lah, tadi kata kamu banguninnya lebih cepat. Sekarang Ayah bangunin cepat kok ngomel, sih?" balas Ayah.
"Bukan kayak gitu, Yah," cetusku.
"Iya, iya, Ayah tahu. Sengaja, soalnya masih banyak yang harus dikerjakan di ladang, jadi berangkatnya harus lebih cepat. Lagi pula semalam Ayah lihat kamu masuk kamar cepat banget. Kamu nggak keberatan, kan?" tanya Ayah.
"Sebenarnya enggak sih. Tadi cuma sedikit terkejut saja," ucapku.
Ayah tersenyum puas lalu berseru, "Baiklah, cepat mandi sana supaya setelah sarapan bisa langsung berangkat!"
Aku mengiyakan dan dengan cepat melesat menuju ke kamar mandi.
🎆🎆🎆
Hari ini aku ke sekolah bukan hanya untuk belajar atau menuntut ilmu. Ada tujuan lain yang secepatnya harus aku utarakan langsung ke orangnya. Setelah bertemu dengan Elisa lalu pergi ke kelas bersamanya, aku langsung menemui orang itu setelah melihatnya sudah datang ke sekolah lebih dulu. Aku melihat seorang wanita yang menemaninya baru saja pergi. Saat ini orang itu sedang mengambil tasnya, bersiap masuk ke kelas.
Aku datang menghampiri, menghadangnya. "Kamu Dea?"
Dia mengangguk.
"Perkenalkan namaku Nia Akasia. Panggil saja Nia," ucapku sambil tersenyum dan menawarkan jabatan tangan.
Perempuan itu menerima jabatan tanganku. "Dea," ucapnya ramah.
"Dea, boleh aku bicara sebentar denganmu?" tanyaku to-the-point.
Dea mengangguk namun masih menyimpan keraguan. "Boleh, memangnya ada apa?"
"Oh, sebenarnya nggak terlalu penting. Aku hanya ingin memberi tahu sesuatu yang berhubungan denganmu. Boleh, kan?" tanyaku sekali lagi.
"Oh, boleh. Tapi di mana?" tanyanya.
"Di sini saja. Nggak perlu jauh-jauh," ucapku sambil menunjuk sebuah kursi teras yang ada di dekatku.
Dea mengangguk. Dia langsung mengambil posisi duduk dilanjutkan aku dan Elisa yang dari tadi hanya diam. Sepertinya dia tidak mengerti apa tujuanku mengajak Dea mengobrol.
"Ada apa?" Dea mempertanyakan maksudku.
Sebenarnya agak sulit untuk langsung mengutarakan maksud berhubung aku belum memikirkan semuanya matang-matang. Hal yang aku pertanyakan ini mungkin akan termasuk dalam privasi perempuan ini dan mungkin akan membuatnya tersinggung bahkan sebelum aku menjelaskan semuanya.
Dea. Aku mengingatnya sejak kemarin. Bukan karena dia telah memperkenalkan dirinya di depan kelas, namun aku sudah pernah melihatnya di mimpiku lusa lalu. Dialah wanita yang berbungkus lapisan warna pelangi yang aku kejar hingga masuk ke kelas 9-4 di Brizzle School 001, tempat di mana aku tidak terlihat oleh siapa pun. Mungkin itu hanya bunga tidur alias mimpi. Namun wajah Dea terlihat sama dengan wajah perempuan itu.
"Oke. Apa kamu benar dulunya bersekolah di Brizzle School 001?" tanyaku.
Dea mengangguk. "Ya benar. Memang kenapa?"
"Oke. Meski sulit untuk dipercaya, namun sepertinya aku pernah melihatmu atau lebih tepatnya menemuimu secara langsung sebelum kau pindah ke sini," ucapku.
"Benarkah? Apa kita satu sekolah? Aku tidak tahu kalau ada murid bernama Nia di sekolahku," ucap Dea.
"Bukan. Aku seperti ... aduh, sulit untuk menjelaskannya, Dea. Tapi aku ingin mempertanyakan sesuatu," ucapku.
"Apa?" tanya Dea berkernyit dahi.
"Oke. Apakah sewaktu di sekolahmu dulu kau duduk di kelas 9-4 di baris ketiga dari depan? Apakah lusa kemarin seorang guru bernama Mr. Robert menggantikan Mr. Marph yang mengajar mapel matematika?"
Tepat ketika aku menanyakan hal itu, lipatan kulit di dahi Dea terlihat semakin banyak hingga akhirnya lipatan itu hilang tepat ketika Dea melontarkan pertanyaan, "Dari mana kau tahu semua itu?"
Mungkin kalau dipikir-pikir, jika hal itu benar adanya, lusa kemarin Dea duduk di kelas 9 dan sekarang dia pindah ke sekolah kami juga di kelas 9. Artinya Dea pindah kemari ketika dia sudah terdaftar di sekolah lamanya.
"Kenapa kamu pindah ke sini? Bukankah seharusnya sejak lusa kemarin kamu sudah terdaftar di Brizzle School 001?" tanyaku.
Dea menggeleng kuat. "Maaf, untuk itu aku nggak bisa jawab."
"Maaf jika membuatmu tersinggung, tapi apakah ini karena Mr. Steven Murphy, ayahmu yang juga berprofesi sebagai guru di sana meninggal karena dibunuh?" ucapku.
Tanpa aku sadari, air mata langsung keluar dari kedua kelopak mata Dea. Dia beranjak dari kursi tempat kami duduk, berlari menuju kelas.
🎆🎆🎆