Aku mengikuti Dea hingga ke kelas. Aku melihatnya duduk sambil membungkuk, meletakkan kepalanya tertunduk di atas meja, menyembunyikan kepala itu di dalam lipatan kedua tangannya dan rumbaian rambut panjangnya. Hal pertama yang aku pikirkan adalah fakta bahwa sebenarnya ketika aku mengatakan kalimat 'nyentrik' itu kepada Dea, aku sama sekali tidak bermaksud mengatakannya secara terang-terangan. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk menyakiti hati maupun perasaannya. Aku hanya bingung ingin memulai dari mana.
Aku harus minta maaf, setidaknya untuk membuat kondisi Dea seperti ini. Bagaimana tidak? Saat pertama kali aku lihat, dia sangat ceria. Namun sejak dia mendengar ucapanku, kondisinya berubah drastis. Tunggu, kalau begitu apakah semua pernyataan yang aku lontarkan itu benar hingga Dea menjadi sangat emosional? Kalau memang benar, apakah mimpiku itu benar-benar nyata?
"Maafkan aku, ya, Dea. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya—" ucapku tertahan.
"Nggak perlu Nia," Dea mengangkat kepalanya, "Kamu nggak salah. Lagi pula apa yang kamu katakan itu adalah kebenarannya, bukan?"
Aku sama sekali tidak menganggap ucapan Dea sebagai suatu penerimaan atau semacamnya. Itu seperti ledekan secara halus bagiku. Meski aku merasa takjub karena dari mulut Dea sendiri menyatakan bahwa ucapanku benar, namun aku tidak benar-benar yakin untuk senang akan itu.
"Dea, apa kamu marah?" tanyaku sekali lagi. Dan ngomong-ngomong, aku melihat Dea adalah orang yang sama dengan mimpiku lusa lalu semenjak aku mengingat segalanya. Aku yakin sekali dia adalah orang berbungkus kibasan warna pelangi yang aku kejar-kejar. Aku yakin dia adalah murid yang dipindahkan karena ayahnya yang juga merupakan guru di sekolah itu meninggal. Kalau dipikir-pikir semua ini masuk akal. Biasanya anak seorang guru akan diberikan sebuah kelonggaran mengenai uang sekolah. Kalau ayah Dea meninggal artinya kelonggaran itu akan dicabut. Mungkin karena uang ibunya tidak cukup untuk membayar uang sekolah—berhubung Brizzle School 001 merupakan salah satu sekolah dengan ketenaran tingkat tinggi—makanya dia pindah ke sini karena uang sekolah di sini lebih murah.
Aku tidak mendengar respon apa pun dari Dea. Sepertinya dia adalah orang yang sangat sensitif. Tak lama kemudian, tiba-tiba saja Elisa menyenggol sikuku, lalu menyambar tanganku dengan cepat, menariknya, membawaku pergi menuju teras.
"Sebenarnya ada apa sih?" tanya Elisa sesampainya kami di teras kelas.
Aku menghela napas, memutar otak untuk menyusun rangkaian kata-kata yang sulit untuk dijelaskan. Sebelumnya aku bertanya, "Kamu pasti tidak akan percaya kepadaku kalau aku menjawabnya."
Elisa menggeleng. "Kamu sahabatku, Nia, dari kecil malah. Aku pasti akan percaya kepadamu."
Aku mengajak Elisa duduk di kursi teras. Keheningan menyelimuti kami sejenak, hingga akhirnya aku pun membuka suara, "Baik, aku mulai dari mimpiku lusa lalu. Kau ingat sewaktu aku pingsan di ambang pintu yang mana pada saat itu kau dan Chole menolongku?"
Elisa mengangguk. "Iya, memang kenapa?"
"Oke, waktu itu setelah Chole mengucapkan sesuatu seperti sebuah pesan kepadaku," lanjutku.
"Pesan?" tanya Elisa mengerutkan dahi.
"Iya. Seingatku waktu itu Chole mengucapkan apabila suatu saat kau tersesat, ingatlah tempatmu berpijak maka kau akan menemukan jalan pulang. Kau ingat?" tanyaku.
"Enggak sih. Hanya saja aku ingat Chole memang mengucapkan sesuatu saat itu meski aku tidak mendengar sepenuhnya kata-katanya," jawab Elisa.
"Nah, waktu itu, tepat setelah kalian pergi dari rumah, aku pergi ke kamar dan beristirahat. Sewaktu aku tidur, aku mengalami mimpi aneh. Saat itu aku sedang berdiri di sebuah sekolah yang megah. Sekitarannya dipenuhi gedung-gedung tinggi, pokoknya canggih, deh. Ternyata aku berdiri di halaman depan Brizzle School 001, ...."
"Brizzle School 001?" tanya Elisa keheranan.
"Iya. Mungkin kamu nggak akan percaya, tapi waktu itu, ketika aku masuk, aku melihat seorang perempuan. Dan aku yakin perempuan itu adalah Dea. Namun dia tampak berbeda, tubuhnya seperti dibungkus oleh kibasan warna pelangi. Aku mengikutinya sampai ke kelas 9-4. Waktu itu ada guru baru yang bernama Mr. Robert. Dia menggantikan guru mapel matematika yaitu Mr. Steven Murphy yang katanya meninggal. Waktu itu terjadi keanehan."
Belum sempat aku menjelaskan semuanya, Elisa langsung memotong, "Tapi bagaimana kamu bisa menjelajah seleluasa itu. Bukankah aneh jika murid lain melihat orang asing berkeliaran?"
"Oh, iya. Pada saat itu aku seperti invisible man. Aku bisa menembus benda maupun manusia."
"Sumpah? Kalau hal itu memang benar-benar terjadi pasti keren banget!" seru Elisa.
"Nah, ketika aku masuk ke dalam kelas ada yang aneh. Aroma busuk tiba-tiba tercium. Ketika aku ingin keluar dari kelas itu, entah kenapa Mr. Robert terlihat bisa melihatku. Kayak hanya dia yang bisa melihat diriku yang tidak terlihat saat itu," aku terus melanjutkan.
"Benarkah?"
"Nah waktu itu aku sempat terjebak. Hingga akhirnya aku teringat pesan Chole yaitu untuk kembali dan benar-benar keluar dari tempat itu, aku harus mengingat di mana seharusnya aku berada. Setelah berpikir cukup keras, akhirnya aku ingat di mana terakhir kali aku berada dan akhirnya aku kembali."
"Jadi?" Elisa menanyakan kesimpulan.
"Yang mengejutkan adalah ketika aku bangun, keluar dari kamar, lalu tak sengaja ada berita yang menyatakan bahwa ada seorang guru di Kota Brizland yang meninggal karena dibunuh yang berinisial SM. Setelah aku hubungkan dengan mimpiku, inisial SM itu mungkin memang benar adalah Steven Murphy, guru matematika yang mengajar di Brizzle School 001," ucapku dengan ekspresi menggugah.
"Tunggu. Tadi kamu bilang ada Chole yang memberi nasihat kepadamu dan nasihat itu memang berguna di mimpimu itu, artinya Chole ...?"
Kali ini aku yang memotong ucapan Elisa, "Nah, kamu sepemikirankan denganku? Aku juga berpikir demikian Elisa, bahkan aku semakin yakin bahwa Chole adalah seorang penerawang seperti yang pernah kamu ucapkan kepadaku ketika pergi ke toko Chole pertama kali."
"Tapi semua yang kamu ucapkan ini benar, kan? Kamu nggak lagi halu, kan?" tanya Elisa.
Dengan ketus aku membalas, "Tuh kan, sudah aku bilang, kamu pasti nggak akan percaya."
"E-eh, bukan begitu Nia, aku hanya ingin memastikan saja," ucap Elisa berusaha membujukku yang sedang cemberut. "Sensitif amat, sih."
"Tapi bagaimana kamu tahu bahwa Dea adalah anak Steven Murphy?" tanya Elisa.
Masih menyisakan rasa kesalku, aku bergeming sejenak. Setelah berpikir sebentar lantas aku menjawab, "Nggak tahu."
Elisa berkernyit dahi. "Lah, jadi bagaimana bisa kamu menyimpulkan bahwa Dea adalah anak Steven Murphy?"
Lagi-lagi aku bergeming lantas mengalihkan pembicaraan, "Aku nengok Dea dulu, ya?"
Meski Elisa terlihat sangat bingung, aku sama sekali tidak peduli. Namun aku yakin Elisa bukanlah orang yang kepo-an. Aku yakin rasa antusiasmenya tidak akan setinggi itu. Sebenarnya aku tidak ingin merahasiakan apa pun dari Elisa, namun melihat raut wajahnya yang mulai terlihat tidak percaya, aku pun mengurungkan niat untuk menjelaskan lebih jauh lagi.
Aku pun kembali masuk ke kelas. Di sana aku melihat Dea yang masih dalam kondisi kesal. Dia bertopang dahi, sambil menarik-narik rambutnya. Aduh, kenapa bisa jadi seperti ini? Betul kata orang, berpikirlah dahulu sebelum berbicara. Aku rasa Dea adalah orang yang sangat sensitif dan aku tidak memikirkan hal itu sebelumnya.
Aku menghela napas, menghapus segala pikiran buruk yang sempat menyerang pikiran. Aku juga mempersiapkan diri dengan tekad akan siap atas apa pun yang terjadi berikutnya. Aku pun menghampiri Dea.
"Dea, sekali lagi maafkan aku ya," ucapku untuk kedua kalinya.
Dea tetap membisu, dia sama sekali tidak mengucapkan apa-apa atau lebih tepatnya dia tidak mengacuhkanku. Namun aku belum menyerah, sekali lagi aku berbicara lebih serius, "Dea, aku sama sekali tidak bermaksud menyinggungmu atau pun ayahmu. Sebenarnya aku hanya ingin memastikan perkiraanku ini benar. Maafkan aku, please."
Tidak seperti sebelumnya, kali ini Dea langsung melontarkan pertanyaan di tengah isaknya, "Tapi, dari mana kamu tahu bahwa Steven Murphy yang dibunuh itu adalah ayahku. Kamu punya kemampuan?"
Aku bergeming untuk dua hal. Yang pertama adalah kalimat pertama yang dia ucapkan yakni pernyataan bahwa ucapanku tadi benar. Apakah ini artinya mimpiku itu benar-benar terjadi? Kalau memang benar, kemampuan apa yang aku miliki ini? Hal kedua yaitu pertanyaan bahwa aku ini punya kemampuan atau tidak.
"Oh, nggak kok. Aku nggak punya kemampuan apa-apa," ucapku meski aku sempat berpikir bahwa diriku ini punya kemampuan spesial.
"Lalu kenapa kau bisa tahu. Padahal aku dan ibuku menyuruh media untuk merahasiakannya. Seharusnya cukup keluarga dan pihak sekolah lamaku yang mengetahui hal itu. Lalu bagaimana kau bisa tahu?"
Ini pertanyaan yang sama dengan pertanyaan Elisa tadi. Sebenarnya aku agak malas menjelaskan hal yang sama dua kali, jadi aku mengurungkan diri untuk menjawab.
"Ah, nggak ada. Hanya ekspektasi saja," jawabku sedikit tersendat-sendat.
"Oh," Dea berdiri, "tapi nggak seharusnya kamu membicarakan hal itu kepadaku yang masih berkabung. Lagi pula belum ada kepastian, jadi jangan langsung menyimpulkan. Kamu tahu kamu bisa menyakiti perasaan orang lain dengan itu."
Aku hanya bisa menunduk sambil menghela napas ketika Dea mulai memenuhi telingaku dengan ceramahnya. Aku akui aku yang salah dan aku berhak mendapatkannya. Namun dari lubuk hati yang paling dalam, sebenarnya aku tidak bermaksud seperti itu. Tapi ya sudahlah, mungkin ini akibat aku yang tidak memikirkan hal ini matang-matang.
"Ya sudah. Aku maafin deh, tapi kamu harus ingat untuk merahasiakan semua ini, oke?" ucap Dea.
Aku menghela napas lega, mengangkat kepala yang tadinya tertunduk, lalu tersenyum. "Makasih," ucapku.
🎆🎆🎆
"Aku pulang!" ucapku sesampainya di rumah. Namun aku tidak mendengar balasan. Apa mungkin Ibu sedang keluar rumah.
Untuk memastikan, aku pun menyusuri seisi rumah mulai dari dapur—tempat umum bagi Ibu sore-sore begini—kamar—tempat Ibu biasanya menjahit baju—halaman belakang—tempat Ibu biasanya menjemur kain—kamar mandi—sebuah peluang yang masih bisa diandalkan—tetapi hasilnya nihil. Aku tidak menemukan Ibu di dalam rumah. Ayah masih bekerja. Biasanya dia akan pulang sore menjelang magrib.
Melihat Ibu tidak ada di dalam rumah, aku langsung mengunci pintu dan pergi ke kamar. Sesampainya di kamar, aku meletakkan tasku di atas kursi belajar, melangkah ke tempat tidur, lalu merebah diri di atas kasur. Aku menghela napas, memikirkan hal yang terjadi di sekolah. Aku terpikir pertanyaan yang dilontarkan Elisa. Bagaimana kau bisa tahu bahwa Steven Murphy adalah ayah Dea? Kurang lebih seperti itu. Sebenarnya pertanyaan itu bisa aku jawab dengan mudah, tetapi tentu saja aku tidak ingin dibilang aneh sama sahabatku sendiri. Ya, aku bisa mengetahui bahwa Steven Murphy adalah ayah Dea karena aku mendengar sebuah bisikan yang entah dari mana datangnya. Hal itu terjadi tepat ketika aku secara tidak sengaja menonton berita bahwa seorang guru berinisial SM—yang aku anggap 'Steven Murphy'—dibunuh.
Atau mungkin, Steven Murpy sendirikah yang membisikkannya kepadaku? Ah, membayangkannya saja sudah membuatku takut. Masa sih orang yang sudah meninggal bisa berbicara kepadaku? Kan seram. Namun anggapanku itu aku tangkis dengan ucapan Dea, tapi jangan beri tahu siapa pun, ya? Bukankah secara tidak langsung Dea memberi tahu bahwa ucapanku benar. Kalau begitu apakah bisikan yang aku dengan mungkin benar-benar dari Steven Murphy. Waduh, kenapa aku jadi takut begini? Aku bangkit dari posisi rebahku, lantas menggeleng-gelengkan kepala sambil memejam mata, menghapus segalanya mengenai semua itu. Apa pun yang telah berlalu, biarlah berlalu.
TOK TOK TOK! Suara ketukan pintu terdengar. Beranggapan bahwa ketukan itu berasal dari Ibu yang sudah pulang, dengan semangat aku keluar dari kamar, menuruni tangga, lalu membukakan pintu. Namun, ketika pintu itu terbuka, ketika aku sudah menyiapkan senyuman manis untuk menyambut Ibu, aku terkejut ketika tidak ada siapa-siapa di luar. Rasa takut turut serta memenuhi pikiranku. Bulu kudukku merinding, aku meneguk ludah.
DOR! Aku terlonjak kaget. Jantung serasa mau copot. Sambil memegang dada, melihat bahwa orang yang mengejutkanku adalah ibuku sendiri, aku memasang wajah kesal. Meski begitu, rasa tenang juga ikut muncul seiring helaan napas.
"Ibu!" aku merajuk.
Ibu tersenyum jahil. "Lah, baru dikejutin gitu saja sudah sepucat itu?" goda Ibu.
"Nggak lucu, ah!" balasku memajukan bibir.
"Sudah, sudah. Ayo masuk, bantu Ibu bawa barang belanjaan," suruh Ibu. Aku mengangguk, lantas mengambil tas belanjaan berisi persediaan makanan yang Ibu bawa.
🎆🎆🎆
"Ayah pulang!"
Suara khas yang sangat aku kenali secara spesifik itu muncul mengisi keheningan rumah yang sepi. Aku bergegas menuju pintu, membukanya, lalu melihat Ayah yang sedang memakai kemeja yang agak lusuh dan penuh peluh. Aku sangat yakin dia pasti bekerja keras untuk memperbaiki ladang jagung berhubung Ayahlah yang memiliki kebun jagung itu.
Tanpa basa-basi, sembari mempersilakan Ayah masuk, aku menyalamnya, mengecup tangannya. Ayah tersenyum.
"Ayah, ayo makan," seru Ibu. Sepertinya amaranthus yang ingin Ibu masak bersama gallus, sejenis daging hewan, sudah jadi.
Ayah menggeleng. "Kalian duluan saja. Ayah mau mandi dulu," ucap Ayah.
Meski sempat kecewa, tapi aku mengangguk maklum. Ayah terlihat sangat capai dan lesu dan aku yakin dia butuh penyegar. Ibu juga berpikiran sama.
"Oke. Tapi jangan lama-lama, Ibu dan Nia bakalan nunggu," ucap Ibu dibalas anggukan Ayah.
"Baik," jawab Ayah simpel.
Tak lama kemudian, selepas Ayah mandi, akhirnya kami sekeluarga pun makan.
"Tahu nggak berita menarik hari ini?" Ayah membuka perbincangan.
Jelas-jelas aku menggeleng karena dari tadi pagi aku sekolah. Aku memandang Ibu.
"Nggak. Memangnya apa?" tanya Ibu balik.
"Katanya ada penemuan makhluk aneh di pinggir Pantai Zavrh. Ayah baru tahu sejak tadi siang," jawab Ayah.
Mendengar kata 'makhluk aneh', lantas aku pun bingung. Oleh karena itu, sebuah pertanyaan aku ajukan singkat dan jelas, "Apa itu?"
"Makhluk setengah ikan," jawab Ayah. Spontan aku terkejut. Bahkan aku hampir tersedak ketika mendengar jawaban Ayah yang begitu mengejutkan. Setahuku makhluk setengah ikan itu hanyalah mitos belaka.
"Benarkah?" tanyaku belum percaya.
Tepat saat itu juga, Ayah pun mengambil gadgetnya, menyalakannya, menekan-nekan layar beserta beberapa tombol fungsional yang ada di sana, kemudian menyodorkan sebuah gambar ke arahku dan Ibu.
Dari pancaran cahaya layar gadget ayahku yang cukup besar, aku dapat melihat dengan jelas ada makhluk yang sudah tak bernyawa tergeletak di tepi pantai berpasir putih. Aku dapat melihat desiran ombak di sekitar makhluk itu. Namun hal yang membuatku tercegang adalah ketika aku melihat sesuatu yang menjadi pembenaran ucapan Ayahku. Dia adalah makhluk berekor ikan. Bentuk tubuh bagian atas hampir mirip dengan kaumku, tetapi dari dada hingga ke bawah, semuanya menyerupai ikan. Aku bisa melihat tulang belakang yang memanjang dari leher sampai ke ujung ekornya. Aku rasa makhluk itu sudah mati berminggu-minggu sampai beberapa bagian tubuhnya sudah membusuk dan hilang. Namun hal yang masih dapat aku lihat dengan jelas adalah ekornya yang berwarna hijau bercampur abu-abu, membentuk kombinasi warna yang unik menurutku. Aku juga masih bisa melihat secara utuh sisik yang menutupi tubuhnya meski banyak yang telah hilang.
"Aduh, tragis sekali kondisinya. Kenapa nggak disensor?" tanya Ibu bergidik ngeri.
"Jadi ada salah satu teman Ayah yang saudaranya bertugas untuk mengurusi hal-hal beginian. Nah, jadi khusus buat kami-kami saja, dia mengirimkan gambar ini no sensor. Berita ini belum dikonfirmasi oleh media massa. Dan kalau pun dijadikan berita, gambarnya pasti disensor," jawab Ayah.
"Siapa?" tanya Ibu.
"Itu si Reza. Ibu kenal, kan? Orang yang pernah kolaborasi sama Ayah dulu. Saudaranya itu berprofesi sebagai seorang polisi," jawab Ayah. Ibu ber-oh singkat.
Tapi bukan masalah disensor atau tidak, masalahnya apakah makhluk yang ada di foto itu asli? Kalau benar begitu, apakah manusia setengah ikan yang selama ini dikira sebagai mitos publik itu nyata alias benar-benar ada?
🎆🎆🎆
Selepas makan siang,sebenarnya aku berencana untuk mempersiapkan buku yang akan dibawa besok. Namun, ketika aku baru saja ingin mengerjakannya, gadgetku berdering. Aku pun mengambilnya dari nakas—tempat biasa aku meletakkannya setiap hari—lalu melihat tulisan yang tertera besar di dalam layar. Melihat nama itu, awalnya aku merasa bingung dan berpikir mengapa orang ini menelponku. Karena penasaran, aku pun menekan bulatan hijau yang berada tak jauh di bawahnya.
"Elisa? Kenapa kamu nelpon aku?" tanyaku.
"Nia, aku mau kamu ke rumahku sekarang," jawabnya dengan nada cepat dan lugas.
"Kenapa Elisa?" tanyaku lagi.
"Udah cepet, kamu harus datang ke rumahku!" serunya lebih tegas.
"Iya, iya," jawabku masih dalam keadaan penuh tanya.
Aku pun pergi mandi dan berganti baju secepatnya, berpamitan dengan Ayah dan Ibu, memberi tahu mereka bahwa aku ditelpon Elisa, lalu pergi tergesa-gesa, berjalan cepat di gang yang tidak terlalu luas. Rumah Elisa sama sekali tidak jauh, hanya berbeda satu blok dengan rumahku. Aku bernapas lega ketika melihat rumah bercat hijau tak jauh di depan mata ketika sudah cukup lama berjalan.
TOK TOK TOK! Aku mengetuk pintu. Tak lama kemudian, akhirnya seorang wanita membukakan pintu. Namun yang kali ini membukakan pintu untukku bukanlah wanita berpostur ramping dengan rambut lurus berwarna pirang yang aku kenal maupun ibunya, melainkan seseorang yang sangat tidak aku duga sama sekali.
"Dea? Mengapa kamu di sini? Di mana Elisa?" ucapku penuh tanya.
"Masuk dulu, biar aku ceritakan," ucap Dea mempersilakan. Aku mengangguk, lalu melangkahkan kakiku masuk ke atas keramik lantai rumah Elisa.
"Duduk," ucap Dea.
Sesuai dengan instruksi Dea, aku pun duduk di atas keramik bersuhu rendah. Dea juga ikut duduk di hadapanku. Keadaan hening seketika hingga akhirnya aku pun membuka pembicaraan, "Kenapa kamu ada di sini? Di mana Elisa? Tadi dia yang nelpon aku."
"Maafkan aku, Nia."
Belum sempat aku mendengar keseluruhan ucapan Dea, belum sempat aku memikirkan apa pun, tiba-tiba segalanya menjadi gelap.
🎆🎆🎆
Biru. Tepat setelah aku membuka mata, segalanya berwarna biru. Mulutku terkatup, pandanganku kabur. Hingga akhirnya aku menyadari sesuatu tepatnya ketika aku ingin membuang napas, gelembung yang begitu banyak muncul, melewatiku begitu saja menuju ke atas. Aku ada di dalam air? Aku terkejut setengah mati, menyadari diriku adalah makhluk yang tidak dapat bernapas dalam air. Mataku sontak terbuka lebar.
Aku berusaha berenang menuju permukaan, menggerakkan tangan dan kakiku sedemikian rupa. Aku sedikit pandai berenang, tapi kalau masalah bernapas dalam air, perenang sehebat mana pun pasti ada batas maksimal. Apalagi diriku yang hanya penduduk kota biasa.
Aku terus berenang ke atas, tapi aku sama sekali tidak melihat cahaya atau pun tanda-tanda yang menandakan diriku hampir sampai di tujuan. Tak sampai tiga puluh detik, napasku sudah mulai habis. Seluruh tubuhku membutuhkan oksigen.
Kepalaku mulai pusing, perut mulai terasa sakit, tenaga juga mulai habis terkuras untuk berenang mencari permukaan di dalam lautan luas tak berujung. Semakin lama, kondisiku semakin buruk. Kepalaku menjadi sangat pusing, mukaku memerah. Aku sudah tidak kuat, aku menyerah, pasrah.
Tiba-tiba, entah kenapa rasa sakit merangsang dari leherku, tepatnya pada bagian bawah telinga. Sontak aku memegang sumber rasa sakit itu. Perih. Rasa sakit itu kian lama kian parah. Tanganku semakin kuat mencekramnya, hingga puncak rasa sakit yang begitu menyiksa muncul.
CREK! Suara pelan itu muncul bersamaan dengan puncak rasa sakit itu tepatnya ketika kali itu aku benar-benar menyerah. Refleks aku menghirup napas dalam-dalam hingga saat di mana mataku tertutup, segalanya gelap.
Tunggu dulu! Aku bisa bernapas? Pertanyaan itu terlintas di pikiranku tepat ketika mataku terbuka sempurna. Aku melihat diriku. Tubuhku terasa baik-baik saja. Masih lengkap dan sama seperti saat pertama kali aku di sini. Tidak ada perubahan sedikit pun. Namun ketika aku merasa ada sesuatu yang aneh di bagian bawah telinga, tanganku refleks menyentuhnya. Aku merasakan ada sobekan sejajar di sana.
Apa ini? Gumamku dalam hati. Apakah benda ini yang membuatku bisa bernapas di dalam air? Ah, seperti ikan saja.
Entah kenapa semua udara yang aku dapatkan membuat pikiranku kembali jernih, berhasil membuat aku mengingat ucapan Ayah sewaktu di meja makan mengenai makhluk setengah ikan. Aku mulai berpikir pelan-pelan. Hingga akhirnya aku pun mengingat kalau aku ada di rumah Elisa sebelum aku sampai di sini. Apa ini hanya mimpi?
Aku mulai berenang menuju kedalaman. Hidungku terasa mati sebab tidak ada sepeser pun udara yang keluar masuk dari sana. Semakin dalam, terasa semakin gelap, suram, hening. Tunggu dulu. Ada hal yang belum aku coba yaitu berbicara. Mungkin ada sesuatu di sini yang dapat menolongku. Meski kalau dipikir-pikir itu mustahil, aku tetap mencobanya. Kemungkinan tetaplah kemungkinan.
Aku mencoba membuka mulut. Perlahan, namun pada akhirnya berhasil juga. Lalu aku mencoba bersuara, "Halo!"
Itu berhasil. Mungkin hal ini bisa terjadi karena tidak ada udara yang bersirkulasi dari mulut, melainkan dari sobekan di bawah telingaku itu.
Aku mencoba sekali lagi, "Halo!"
Hening. Tidak ada jawaban sama sekali. Suaraku seolah-olah hanya menggema begitu saja di tempat tidak berpenghuni. Namun anggapanku itu terbantahkan sebab aku melihat sesuatu bergerak kencang di bawahku. Karena penasaran, aku pun mencoba mengikuti sosok bergerak itu.
"Halo!"
Lagi-lagi suaraku bergema, tetapi aku melihat sosok itu lagi. Kali ini dia berada di depanku, bergerak ke arah samping. Aku mengikutinya. Di bawah sini begitu gelap, aku tidak bisa melihat dengan jelas. Aku berbelok, berharap menemukan sosok itu. Mana tahu sosok itu bisa menolongku.
"Halo!" panggilku sekali lagi.
Kali ini aku bisa melihat sosok itu bergerak cepat ke arah kanan. Dengan sekuat tenaga, aku berusaha mengikutinya. Dan kali ini aku bisa melihat sosok itu sekali lagi ketika dia pergi ke tempat yang lebih rendah. Ketika mengeceknya, betapa terkejutnya diriku kala melihat sebuah jurang yang terjal dan dalam. Tidak terlihat apa-apa di bawah sana, kecuali setitik cahaya kecil.
Meski awalnya merasa takut, namun ketika rasa penasaranku akan cahaya itu muncul, aku memberanikan diri untuk berenang ke bawah. Di sepanjang perjalanan, hanya ada kegelapan serta suara-suara yang sesekali membuatku sedikit curiga dan berjaga-jaga. Hingga akhirnya aku melihat cahaya itu terlihat lebih besar. Itu menandakan aku sudah dekat.
JANGAN NIA! Tiba-tiba aku mendengar suara yang sangat keras dari bawah. Tepat pada saat itu, sesuatu mendorongku ke atas. Namun pada saat itu juga, sebuah teriakan mengerikan muncul dari atas. Tekanan lain muncul, mendorongku kembali ke bawah.
JANGAN NIA! Suara itu kembali muncul, menghempaskanku ke atas. Namun pada saat itu juga teriakan dari atas muncul dan mendorongku kembali ke bawah.
Tubuhku naik turun. Suara-suara yang tadi muncul kian membesar, menggema di sekelilingku. Suara-suara itu seperti memperebutkanku. Sepertinya aku harus memutuskan karena aku merasa diriku ini bukan mainan. Aku adalah makhluk berakal yang mampu memutuskan sesuatu.
Aku melihat ke atas. Entah kenapa tiba-tiba ada sebuah lingkaran seperti portal di sana. Aku merasa portal itu akan membawaku keluar dari sini dan suara yang berasal dari bawah sana memintaku untuk masuk ke portal itu. Aku pun mengalihkan pandangan ke bawah, melihat kembali cahaya yang tadinya hanya sebuah titik cahaya kecil sekarang terlihat lebih terang dan dekat. Aku memandangi kedua pilihan itu, hingga akhirnya aku memilih ....
🎆🎆🎆