Chereads / RATNA BELANTARA / Chapter 6 - 5. Rencana

Chapter 6 - 5. Rencana

Hari ini adalah hari terakhir libur. Besok aku akan pergi ke sekolah, begitu pula dengan Ayah yang juga akan melanjutkan proyek ladang jagungnya. Sepertinya hari ini adalah hari yang tepat. Hari yang tepat untuk melakukan hal yang telah aku putuskan sejak kemarin. Tapi ngomong-ngomong, tadi malam aku tidak bermimpi yang aneh-aneh. Aku bisa tidur dengan lelap.

Selepas berpikir sejenak, aku membuka tirai jendela, ingin melihat keadaan di luar rumah. Lihat! Jalanan gang sudah ramai. Orang-orang sepertinya sudah mulai bersiap untuk hari baru esok. Melihat cuaca yang cerah, aku langsung turun, mengambil handuk, lalu mandi secepat mungkin.

"Kamu mau ke mana, Nia?" tanya Ibu ketika melihatku terburu-buru.

"Mau ke tokonya Chole. Ada yang mau Nia bicarakan dengannya," ucapku jujur.

Setelah meng-oh-kan ucapanku, Ibu bertanya lagi, "Chole, wanita tua yang kemarin sempat nolongin kamu sama Elisa, kan?"

"Iya," ucapku sembari mengangguk. "Ayah di mana, Bu?"

"Masih tidur. Ibu segan membangunkan," ucap Ibu. Aku mengangguk maklum. Besok Ayah sudah mulai bekerja lagi, mengurus ladang jagung bersama pekerja-pekerjanya. Dia harus banyak istirahat.

"Nggak sarapan dulu?" tanya Ibu ketika aku sudah berada di ambang pintu, ingin membukanya.

"Nggak, Nia belum lapar. Lagi pula Nia hanya sebentar kok, Bu," ucapku.

Ibu mengangguk, memperbolehkanku pergi. "Ya, sudah. Hati-hati, ya!"

Aku pun berangkat dari rumah menuju pasar dekat rumah, pasar yang sempat aku kunjungi bersama Elisa. Di tengah perjalanan, aku melihat suasana berubah. Jalanan lebih ramai dari hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi hujan yang datang tiba-tiba. Sinar matahari yang cerah menyinari kota. Aku melihat bunga-bunga kembali mekar, ikut berbahagia melihat kondisi yang mulai membaik.

Sesampainya di pasar, aku juga melihat orang-orang mulai merenovasi kios-kios mereka yang rusak diterpa badai kencang selama musim hujan flee. Mereka tampak bersemangat ingin memulai usahanya kembali. Aku masuk ke dalam pasar, melihat kios-kios yang kemarin tutup ketika aku pergi bersama Elisa, akhirnya buka.

Aku kembali fokus pada tujuan utama, toko bahan kue milik Chole. Aku ingin menemuinya, secepatnya. Setidaknya sebelum aku kembali sibuk dengan sekolahku dan semua hal yang aku lakukan di hari biasa. Aku berjalan lurus ke dalam pasar. Namun betapa terkejutnya diriku ketika melihat toko yang berspanduk Chole Cake itu tutup. Sebuah pintu besi menutup toko kecil Chole, tempat di mana aku ingin bertemu Chole dan menanyakan semua hal yang tidak aku mengerti.

Aku berjalan lemas ke luar pasar. Apa boleh buat? Ketika aku belum sadar akan apa pun, Chole berusaha membuatku mengerti. Tapi di saat aku ingin mengerti semua hal yang telah aku sadari, dia tidak ada. Tidak ada tujuan lain selain pulang. Mungkin aku harus bertanya kepada Elisa. Atau besok saja ketika sudah masuk sekolah?

Aku memutuskan akan bertanya kepada Elisa besok. Aku sudah terlanjur kecewa, berjalan lemas pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Ibu yang masih sibuk di dapur langsung melontarkan pertanyaan.

"Kok cepat amat pulangnya, Nia?" tanya Ibu.

"Toko bahan kue Chole tutup," keluhku.

Tiba-tiba raut muka Ibu berubah. Seperti ada sesuatu yang dia lupakan.

"Oh, iya, Ibu lupa bilang sama kamu kalau kemarin mamanya Elisa bilang sama Ibu kalau Chole pulang kampung. Soalnya ayahnya meninggal. Sori, ya," ucap Ibu tanpa rasa bersalah. Dia malah senyum-senyum. Kesal sendiri jadinya.

"Ibu!" ucapku mengungkapkan kekesalan. Kalau dari tadi aku tahu begitu, untuk apa aku jauh-jauh pergi ke sana? Aku bergumam-gumam sendiri.

"Sudah-sudah. Tidak usah terlalu dipikirkan. Kan masih bisa ketemu di lain hari," ucap Mama mencoba menghiburku.

"Iya deh. Ngomong-ngomong, Ayah belum bangun juga?" tanyaku mulai mengalihkan pembicaraan.

"Belum. Lihat aja sendiri," jawab Ibu simpel.

"Nggak usah. Nanti Ayah malah kebangun. Kan kasihan," ucapku sembari menggeleng.

"Ya sudah. Besok kamu kan sudah mulai masuk sekolah, sebaiknya kamu susun peralatan kamu sekarang. Biar nanti malam cepat tidur," ucap Ibu. Menurutku itu bukan ide yang buruk untuk mengisi kekosongan hari ini. Aku mengangguk.

"Di mana peralatan sekolah yang sudah Ibu beli semalam?" tanyaku.

"Itu di dekat lemari televisi," jawab Ibu.

Setelah mengambil sebuah plastik besar dengan bobot yang terbilang berat, aku pergi ke kamar dengan susah payah, terutama ketika di tangga, punggungku serasa mau encok.

"Baterai jam weker Ayah sudah dibeli?" tanyaku kepada Ibu ketika menaiki tangga, sekedar mengingatkan.

"Sudah. Ibu beli sekali banyak untuk cadangan," jawab Ibu. Aku ber-oh sambil mengangguk.

Sesampainya di kamar, aku langsung membuka lemari yang terletak di sudut kamar. Aku mengambil tas berwarna merah. Aku juga mengeluarkan peralatan yang dibeli Ibu kemarin dari dalam plastik. Di dalam sana ada tiga pak buku tulis, dua pak pena dan dua pak pensil, beberapa penghapus, dua buah penggaris, name label, dan sticky notes. Pertama-tama aku ingin memberi nama dulu pada semua buku, nanti tinggal buat nama mapelnya. Aku pun membuka plastik yang menyegel semua buku, merobeknya, lalu mengambil buku-buku yang ada di sana. Aku menempelkan name label pada sudut buku, mengambil pena, lalu membubuhkan namaku. Aku melakukan hal yang sama pada semua buku. Aku selesai kira-kira lima belas menit kemudian. Aku mengambil tas merahku. Berhubung besok adalah tahun ajaran baru sehingga aku belum tahu buku apa yang harus dibawa, aku hanya memasukkan satu buku tulis, satu pena, pensil, penghapus, dan penggaris ke dalam tas.

Aku beralih ke seragam sekolah. Aku mengambil seragam sekolah di dalam lemari bagian atas. Untuk seragam utama, aku memakai seragam putih dan rompi merah sebagai atasan serta rok merah bermotif petak-petak. Aku mengambil kombinasi seragam itu dari dalam lemari, menaruhnya di atas nakas bersama tali pinggang dan kaos kaki.

Semua perlengkapan untuk sekolah besok sudah siap. Aku keluar dari kamar, turun, lalu menjumpai Ibu yang sedang menjahit baju. Bunyi mesin jahit terdengar. Aku juga melihat Ayah sudah bangun, baru saja ingin menyalakan televisi untuk menonton berita. Tepat ketika televisi itu menyala, berita membingungkan muncul.

"Seorang wanita ditemukan tewas mengenaskan terbungkus karung dengan pisau menancap di dahinya. Kasus ini diyakini sebagai satu kasus yang serupa dengan kejadian semalam. Ditambah lagi profesi wanita itu adalah seorang guru di salah satu sekolah di Kota Lumpur. Sampai sekarang identitas pembunuh belum terungkap. Petugas keamanan berusaha mencari tahu motif pembunuhan ini."

"Kenapa kasus pembunuhan menjadi beruntun seperti ini? Ditambah lagi keduanya adalah seorang guru. Kok bisa seperti itu, ya?" Ayah mulai berkomentar. Wajahnya masih lesu sehabis bangun tidur. Bahkan Ayah terlihat masih menguap sesekali.

Aku juga bingung, sekaligus penasaran. Apa kira-kira motif seorang pembunuh untuk membunuh seorang guru? Memangnya apa salah guru itu? Mungkinkah pembunuh itu adalah seorang psikopat yang dendam sama guru-guru yang pernah berbuat kasar kepadanya? Itu tidak bisa dipungkiri. Namun apa pun itu, semua orang seharusnya tahu bahwa membunuh adalah sebuah kesalahan fatal.

🎆🎆🎆

Gelap. Sejauh mata memandang, sejauh telinga mendengar, sejauh kulit meraba, aku tidak melihat, mendengar, atau pun merasakan apa-apa. Hening. Hanya ada kegelapan di mana-mana, hampa. Anehnya lagi, aku seperti tidak sedang memijak apa pun. Aku sedang mengambang seperti berada di angkasa lepas.

Aku memandang sekitar hingga aku menemukan sesuatu yang bercahaya berada tidak jauh di depanku. Aku mencoba menggerakkan kedua tangan dan kaki bersamaan, seperti berenang di dalam air, namun aku sama sekali tidak berpindah tempat. Lantas entah kenapa muncul firasat dalam benakku untuk berdiri tegap, lalu melangkah seperti biasa. Aku pun melakukannya. Betapa terkejutnya aku melihat cara simpel yang tidak terpikirkan itu berhasil membuatku berpindah. Aku melangkah beberapa kali, mendekati benda bercahaya terang itu. Benar-benar serasa seperti berjalan di bulan.

Aku terus melangkah dan benda itu terasa semakin dekat. Hingga akhirnya, tanpa perlawanan apa pun, aku berhasil mendekat. Melihat benda bersinar itu lebih jelas. Apakah benda ini sama dengan benda bercahaya yang sebelumnya pernah aku lihat? Tapi di mana, ya? Aku sama sekali tidak ingat.

Aku melihat benda itu sekali lagi. Cahayanya terang berderang, silau. Anehnya, pupil maupun iris yang telah dianugerahkan pada mataku sama sekali tidak berjalan sesuai fungsinya. Mataku sama sekali tidak menyipit, menerima pasokan cahaya yang mungkin bisa membuat aku buta dalam keadaan normal. Aku mengangkat tanganku, berusaha meraih benda bercahaya itu. Hingga sampai tanganku sudah terasa sangat dekat dengan benda itu, ketika aku sudah mulai merasakan hawa hangat yang dikeluarkannya, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Teringat bahwa seharusnya aku tidak di sini. Lantas bagaimana caranya aku ke sini?

Tanganku semakin dekat. Kali ini tangan mungilku itu telah menyentuh permukaan benda tersebut. Licin. Halus. Aku bisa merasakan tonjolan-tonjolan tiga dimensi. Hawa hangat itu masih terasa bak membungkus tangan. Aku mencoba menggenggam benda itu, kemudian menariknya perlahan. Berikan padaku. Tiba-tiba saja suara-suara muncul. Kibasan warna yang terasa familier bergerak melewatiku, mengarah pada suatu tempat yang terletak tepat di hadapanku.

Aku berjalan menuju tempat itu, mengikuti kibasan warna yang terus bergerak, mengeluarkan bebunyian yang lagi-lagi terasa familiar. Semua terasa gelap, hampa, tidak berbatas, tidak ada siapa pun di tempat ini, bahkan aku saja tidak tahu bagaimana caranya aku sampai ke tempat ini? Di sini sama sekali tidak ada tanda-tanda kehidupan. Hingga akhirnya kibasan warna itu berhenti di suatu tempat.

HA! Aku hampir menjerit ketika melihat sebuah tangan muncul di hadapanku, terbuka lebar ke arah atas seperti sedang meminta sesuatu. Berikan benda itu padaku. Suara itu melintas lagi diiringi kibasan-kibasan warna yang muncul beberapa saat kemudian sejak sempat menghilang sebentar. Kibasan warna itu mengarah ke tangan tersebut. Apa mungkin suara itu berasal dari pemilik tangan misterus ini? Aku membatin. Belum sempat aku memutar otakku untuk menjawab pertanyaan itu, entah kenapa pikiranku tiba-tiba terasa kacau. Tiba-tiba tanganku yang memegang benda bercahaya itu bergerak dengan sendirinya. Aku belum tahu pasti benda itu apa, cahaya silaunya menutupi bentuk benda itu sendiri. Tanganku terus bergerak. Bukan gerakan refleks atau semacamnya, tetapi tanganku memang bergerak sendiri, seperti dikendalikan sesuatu. Tanganku itu mulai mendekati tangan misterius itu hingga akhirnya posisinya kali ini tepat berada di atas tangan misterius itu. Benda bercahaya itu masih bergantung di tanganku. Tanpa aku sadari, jemari tanganku itu tiba-tiba membuka dengan sendirinya, satu per satu, terlihat seperti ingin melepaskan benda itu dari tanganku agar jatuh ke tangan misterius yang masih ada di hadapanku. Tangan itu masih terbuka, telapak tangannya terlihat sangat bersedia untuk memegang benda bercahaya itu.

JANGAN! Sebuah wajah misterius tiba-tiba muncul di sampingku, mengisi kehampaan di sana. Suara bergema yang sepertinya dibuat oleh wajah misterius itu selain berhasil membuatku terkejut, juga berhasil membuyarkan lamunanku, menyadarkanku, membangunkan kembali pikiranku yang tadinya seperti 'sengaja' dibuat kacau. Seketika aku merasa bahwa wajah misterius itu kelihatan sangat familiar, seperti ciri fisik seorang wanita yang benar-benar aku kenal. Tanganku sontak memegang kembali benda bercahaya tersebut erat-erat ketika jemarinya hampir terbuka semua. Masih dalam keadaan terkejut, tanpa berpikir sama sekali, aku terdorong jauh. Benda bercahaya itu terlepas dari pegangan, lantas kembali ke tempat asalnya, mengambang di tengah-tengah kegelapan tiada batas. Kini tinggal aku, tinggal aku yang sedang terlempar jauh entah kemana, ke tempat yang tidak aku kenali sama sekali. Dan selama itu, aku hanya bisa memejamkan mata.

Aku membuka kelopak mata perlahan sebelum aku sadar aku tengah berada di sebuah gua. Aku melihat sebuah lubang yang menghubungkan setiap ruangan setiap gua, lalu mengintip dari sana. Aku melihat seorang wanita berjubah hitam dan tiga sosok misterius yang tengah berdiri di hadapannya. Mereka sedang bercakap-cakap, mau tidak mau aku pun mendengarkannya.

"Sekarang jelaskan apa itu penjelajahan?"

"Kau tahu seperti orang yang bisa melihat keadaan suatu tempat ketika dia berada jauh di tempat lain."

"Maksudmu raganya berada di tempat lain, sedangkan rohnya ada di sana?"

"Bukan. Kalau yang berpindah hanya roh, mungkin dia hanya bisa melihat dan mendengar saja. Itu lebih seperti memindahkan kelima panca inderanya ke tempat lain, namun hanya orang-orang tertentu seperti kami yang bisa melihatnya."

"Ngomong-ngomong, beberapa hari lagi aku akan melakukan pengembaraan ke suatu tempat. Aku ingin mencari sesuatu di sana."

"Tempat seperti apa? Boleh kami ikut membantu?"

"Tidak perlu. Kau hanya perlu melakukan tugasmu di sini."

"Setidaknya beri tahu kami tujuanmu pergi ke sana?"

"Sekali lagi aku bertanya kepada kalian, apakah kalian tahu dongeng mengenai Naga Hitam?"

Aku menguping semua perbincangan mereka. Namun aku tidak mengerti apa pun. Bagaimana tidak? Aku sama sekali tidak tahu gua misterius tempat aku berdiri ini berada di mana? Aku juga tidak kenal siapa wanita berjubah hitam dan sosok misterius itu.

Tiba-tiba sesuatu memegang bahuku. Aku terkejut, spontan melihat ke belakang. Aku melihat sosok yang kelihatan mirip dengan tiga sosok yang sedang berdiri di hadapan wanita berjubah hitam itu tengah memergokiku.

"Hei, siapa kau? Sedang apa kau di sini?" ucapnya dengan suara berat dengan serak basah. Meski aku terkejut, namun aku merasa kata-kata itu terasa familiar. ADUH! Mengapa segalanya terasa familiar. Hanya perasaanku saja atau apa, sih?

Kali ini, tepat pada satu kedipan mata, aku tersadar aku sedang berada di kamarku.

🎆🎆🎆