Pagi ini aku terbangun tiba-tiba. Terbesit kilas ingatan tentang mimpiku semalam. Entah itu mimpi indah atau mimpi buruk, tetapi aku rasa itu adalah mimpi yang aneh. Entah kenapa mimpi itu terasa sangat nyata. Aku bisa meraba tanah yang becek dengan kakiku, bisa merasakan tanah itu berubah menjadi tandus, juga bisa merasakan angin yang menerpa tubuhku dengan kencang hingga mataku terasa pedih. Tapi yang sebenarnya lebih aku perhatikan adalah sesuatu yang bercahaya dalam mimpiku semalam. Entah kenapa aku merasakan ada energi yang begitu kuat. Aku juga merasa angin kencang yang menerpa tubuhku berasal dari benda itu. Aku juga mendengarkan suara dengan wujud kibasan warna biru yang banyak terbang rendah menuju benda bercahaya itu. Apakah mungkin suara yang aku dengar berasal dari benda itu? Entah semua itu benar atau tidak, namun yang perlu aku yakini saat ini adalah bahwa itu semua hanyalah mimpi. Tidak perlu terlalu dipikirkan lebih lanjut.
Aku berjalan keluar kamar, melangkah melewati lantai kayu. Aku terkejut ketika melihat hari masih gelap. Sebegitu terpikirkah diriku akan mimpiku sampai-sampai aku tidak menyadari kalau aku terbangun tengah malam?
Aduh! Tiba-tiba saja kepalaku pusing, pandanganku terasa kabur. Aku memejamkan mata sejenak. Entah kenapa tiba-tiba saja angin sepoi-sepoi sejuk menerpa tubuhku. Kakiku menginjak sesuatu yang sangat dingin. Aku masih memegangi kepalaku dan tetap menjaga keseimbangan agar tidak jatuh. Aku berusaha membuka mata. Meskipun aku hanya berhasil membuka separuh kelopak mataku, aku bisa melihat segalanya berubah. Lantai kayu, atap rumah, dinding, seketika berubah menjadi sekumpulan salju. Angin sepoi-sepoi yang tadi sedikit menenangkanku sekarang berubah menjadi angin dingin yang menusuk hingga ke tulang. Semua itu terjadi hingga aku benar-benar sadar dan berhasil membuka mata. Betapa terkejut sekaligus bingungnya aku melihat diriku tengah berdiri di atas salju layaknya di kutub. Butiran salju turun dari langit malam yang gelap. Belum terbesit apa pun dalam pikiranku.
Aku berjalan di atas salju, di antara udara dingin yang menusuk bagai sengatan lebah. Semua kelihatan nyata, bahkan ketika aku bernapas, asap keluar dari hidungku. Waduh, aku bisa terkena flu jika berada di tempat ini terus. Aku harus menemukan jalan pulang. Aku terus berjalan lurus meski sebenarnya aku masih tidak mengerti apa-apa. Apakah ini semua hanya mimpi? Belum sempat aku memikirkan semua itu, di pertengahan jalan aku melihat sesuatu yang bercahaya, terlihat sama dengan yang ada di mimpiku sebelumnya. Cahayanya tampak kian membesar, bersinar terang dalam kegelapan. Cahaya itu kian mendekat, menghampiriku yang hanya bisa memejamkan mata.
πππ
DUAR! Suara petir berhasil membangunkanku. Ketika menyadari kondisiku saat bangun yakni dengan napas terengah-engah, pikiran yang benar-benar kacau, tubuh berkeringat dan terasa sedikit nyeri, aku dengan cepat langsung mencubit pipiku, memastikan semua ini bukanlah mimpi. Aku membuka jendela, memastikan saat ini benar-benar sudah pagi. Aku melihat awan berwarna hitam pekat yang sangat banyak mengepul di cakrawala, sepertinya hujan akan turun. Aku memastikannya lagi dengan mengambil gadget yang aku letakkan di atas nakas, menyalakannya, lantas melihat angka yang tertera di sana. 07.30. Syukurlah, kali ini benar-benar sudah pagi.
Belum pernah aku mengalami mimpi seperti itu. Rasanya sangat nyata sampai-sampai aku tidak bisa membedakan mimpi dan kenyataan.
"Nia, Ayah, bangun! Sarapan sudah siap!" Ibu memanggil aku dan Ayah dari lantai bawah, membuatku semakin yakin lagi bahwa semua ini bukan mimpi. Setiap pagi Ibu memang selalu bangun lebih awal ketika hari masih subuh. Banyak hal yang dapat dikerjakannya, mulai dari menyelesaikan jahitan, memasak, dan mencuci kain. Biasanya Ibu membersihkan rumah pada pagi hari.
Aku langsung merapikan kamar, turun, lalu menjumpai Ibu yang sudah siap dengan hidangan buatannya, dibarengi Ayah yang keluar dari kamar sambil menguap dan merenggangkan badan sedikit.
"Ayah tumben bangunnya selama ini? Biasanya sudah nonton TV," tanya Ibu.
"Jam weker Ayah sepertinya habis baterai, Bu. Nanti Ayah beli yang baru," ucap Ayah lantas menghampiri meja makan selepas perenggangan kecilnya.
Setelah Ibu ber-oh sebentar, Ayah langsung duduk di meja makan. Dibarengi aku yang langsung terpancing ketika mencium aroma sedap makanan. Aku mengambil piring, lalu dua sendok nasi, dan lauk. Pagi ini, Ibu memasak ayam sambal. Sebenarnya hidangan ini terlihat berat untuk dijadikan sarapan, tapi tampaknya keluarga kami sudah terbiasa.
"Hujan lagi, ya?" tanya Ayah sedikit mengeluh. Aku mengangguk.
"Semoga hujan flee ini bisa berhenti secepatnya ya. Biar Ayah bisa kembali bekerja," ucap Ayah penuh harap.
Aku merasa sedikit kasihan pada Ayah. Bukan apa-apa, hujan flee biasanya akan berlangsung dua sampai tiga bulan, sedangkan sampai sekarang hujan flee masih berjalan tiga minggu. Walau pun nanti musim hujan flee ini selesai, Ayah pasti akan membutuhkan biaya dan tenaga yang cukup besar untuk memperbaiki ladangnya. Iya kalau pagarnya masih utuh, kadang-kadang bisa saja roboh. Tapi aku rasa pengeluaran tahun ini bisa berkurang, karena tidak seperti tahun kemarin, Ayah tidak sempat menanami lahan jagungnya, kerugiannya juga pasti tidak akan teralu besar seperti tahun lalu.
Ayah beranjak dari tempat duduk. Dia seperti mencari-cari sesuatu.
"Ayah sedang cari apa?" tanya Ibu ketika melihat Ayah semakin bingung saja. Dia sampai mencari jauh ke dapur.
"Remot TV, Bu," ucap Ayah.
"Itu," Ibu langsung menunjuk sebuah kursi yang letaknya tidak terlalu jauh dengan televisi sambil tersenyum tipis, begitu pula denganku. Ayah mencari jauh-jauh sampai ke dapur, padahal remotnya ada di atas kursi dekat televisi. Jaraknya sangat dekat dengan meja makan yang sedang kami gunakan. Ayah menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lantas mengangguk kemudian mengambil remot tersebut. Setelah itu, Ayah menekan tombol power. Layar televisi yang tadinya hitam sekarang sudah menampilkan tayangan audiovisual yang memadukan gambar bergerak dan suara. Seketika muncul siaran berita. Seorang wartawan yang aku kenal, yaitu Luppy Doo, sedang membawakan berita, "Menurut hasil observasi Badan Pengawas Iklim yang berpusat di Kota Brizland menyatakan bahwa hujan flee tahun ini akan berakhir lebih cepat.
"Mereka menyatakan bahwa hujan flee kira-kira akan berakhir kurang dari dua minggu ke depan. Ketua Badan Pengawas Iklim Kota Brizland menyatakan meskipun masih merasa sedikit bingung dengan fenomena percepatan masa hujan flee, tetapi mereka bersyukur karena penduduk bisa beraktivitas lagi. Badan Pengawas Iklim akan memberi informasi lebih lanjut secepatnya, serta akan melakukan pengecekan ulang dengan teknologi yang lebih mutakhir untuk memastikannya. Saya Luppy Doo, kembali ke studio."
Aku sempat takjub dengan berita tersebut. Hujan flee akan berakhir kurang dari dua minggu ke depan? Bagaimana bisa? Hujan flee biasanya akan berhenti dalam waktu dua sampai tiga bulan, sedangkan kali ini hanya sebulan lebih. Artinya sekolah akan aktif lagi dong? Sebel, ah. Aku cemberut sendiri.
Berbalik dariku, meskipun Ayah hanya diam sambil memperhatikan, aku bisa melihat senyum di bibir Ayah. Tentu saja karena Ayah bisa melanjutkan usaha ladang jagungnya secepatnya. Ibu terlihat biasa saja. Sepertinya tak lama lagi semua akan berjalan normal seperti biasa. Sekolah akan dibuka dan aku akan belajar seperti biasa. Meskipun hal itu belum ada kepastian, tapi aku yakin Badan Pengawas Iklim pasti sudah melakukan observasi dengan tingkat keakuratan yang sulit untuk diragukan.
"Yes! Artinya Ayah bisa melanjutkan ladang jagung secepatnya," kali ini Ayah langsung mengungkapkan perasaan senangnya, mengepalkan tangan kanan. Aku dan Ibu tentu ikut senang, tersenyum. Ekonomi keluarga akan terbangun kembali dalam waktu dekat. Ayah akan kembali bekerja, aku kembali bersekolah, pokoknya semua akan berjalan semestinya.
"Sebaiknya kita mempersiapkan kebutuhan sekolah Nia untuk ajaran baru nanti secepatnya, oke?" ucap Ayah, dia tampak bersemangat.
Ayah langsung mengambil gadgetnya, menyalakannya. Sepertinya dia akan langsung menghubungi semua karyawannya untuk menyampaikan kabar bahagia itu. Dan benar saja ketika Ayah mengklik layar gadgetnya, lantas menelpon karyawan dan teman-temannya. Seprtinya Ayah benar-benar bersemangat, wajahnya tampak lebih ceria. Aku dan Ibu turut senang melihatnya.
πππ
Selepas sarapan, aku menunggu hujan berhenti. Aku ingin keluar sebentar, ingin bertemu teman-teman yang mana tau juga keluar rumah. Tapi sebenarnya tujuan utamaku hanya ingin mengurangi rasa bosan karena diam di rumah terus.
Setelah lama menunggu, akhirnya hujan berhenti juga. Aku lekas berpamitan dengan Ayah yang kebetulan sedang menonton televisi. Sepertinya Ayah tidak mau ketinggalan berita tentang hujan flee yang katanya akan berakhir sebentar lagi. Ayah mengangguk dan menyuruhku berhati-hati.
Aku membuka pintu rumah. Aroma udara sehabis hujan langsung tercium seketika. Aku berjalan melalui gang kecil, memandang sekitar. Langit masih kelabu, awan mendung masih terlihat mengepul. Bekas hujan masih terlihat di atap-atap rumah dan dedaunan pohon yang masih basah, menjatuhkan beberapa tetes air. Sayangnya pemandangan istana tidak kelihatan karena tertutup rumah di perumahan yang ukurannya cukup tinggi, paling rendah saja dua lantai.
"Nia?" Aku mendengar suara dari kejauhan. Itu adalah suara teman satu sekolahku yang bernama Elisa.
"Hai, Lisa!" aku menyapa balik. Kami berjalan mendekat satu sama lain, saling melemparkan senyuman.
"Kamu mau ke mana?" Lisa bertanya duluan.
"Nggak ke mana-mana, hanya mau jalan-jalan saja. Kalau kamu?" aku bertanya balik.
"Aku mau membeli beberapa bahan-bahan kue. Kamu tahu sendiri kan pekerjaan Mamaku?" ucapnya. Aku mengangguk paham. Pekerjaan ibu Elisa adalah penjual kue.
"Mau aku temani?" tawarku.
"Boleh."
Lantas aku dan Elisa pergi bersama ke pasar. Pasarnya tidak jauh, hanya beberapa blok dari rumahku. Di tengah perjalanan, Elisa membuka perbincangan, "Kamu sudah mendengar berita tentang hujan flee, Nia?"
"Sudah. Katanya sebentar lagi hujan flee ini akan selesai, bukan?" ucapku.
"Iya. Tapi kata Papaku hujan flee adalah hujan sakral," ucap Elisa.
"Jadi?" aku bertanya, bingung.
"Aku juga tidak tahu pasti, sih. Tapi maksud Papaku itu mungkin kalau hujan flee sudah ada aturannya. Dengan kata lain, kalau hujan flee tiba-tiba berhenti tanpa alasan logis artinya ada sebuah kesalahan atau sesuatu yang ganjil. Kayak gitu deh," Elisa menjelaskan.
Aku sebenarnya paham apa yang dimaksud Elisa. Tapi yang aku tidak mengerti adalah kata 'sakral' itu sendiri.
"Ngomong-ngomong nih, kabarnya hujan flee akan berakhir. Kamu sudah mempersiapkan peralatan untuk tahun ajaran baru?" tanya Elisa ketika aku masih tengah berpikir. Aku jadi teringat ucapan Ayah tadi pagi, tersenyum sebentar.
"Oh, belum sih. Lagi pula belum ada kepastian bahwa hujan flee akan benar-benar berakhir, bukan?" ucapku.
"Iya, tapi kan bagaimana pun kita harus mempersiapkan semua secepatnya. Mana kala ada sesuatu yang mengganggu?" ucap Elisa yang langsung membuatku mempertanyakan maksud ucapannya itu.
"Ya, gangguan dalam bentuk apa pun. Untuk berjaga-jaga saja," jawabnya simpel. Aku mengangguk.
Tak terasa kami sudah tiba di pasar kami yang ramaiβralat, sebenarnya sepi. Aku terkejut ketika melihat banyak kios yang hanya berpondasi kayu semuanya hancur. Kayu-kayu yang membangun kios semua ambruk karena badai, berserakan di atas tanah. Malang sekali nasib pemilik kios-kios itu. Mereka harus merenovasi ulang kios mereka. Aku hanya melihat kios yang di dalam yang sudah menggunakan bata, semen, dan atap seng saja yang masih buka. Pantas saja pasar sepi.
Aku dan Elisa berjalan melewati kios yang buka, mencari kios yang menjual bahan-bahan untuk membuat kue. Meskipun aku sudah banyak melihat toko sembako yang menjual telur, terigu, dan bahan pembuat kue lainnya, Elisa berjalan melewatinya. Sepertinya dia dan ibunya sudah punya langganan.
Dan benar saja, aku dan Elisa berhenti di sebuah kios yang cukup besar. Ternyata itu adalah toko yang memang khusus menjual alat dan bahan untuk membuat kue. Ketika masuk, aku melihat banyak sekali alat dan bahan untuk membuat kue. Bahkan oven, pencetak, mixer, kismis, selai, dan lain semacamnya dijual. Aku melihat seorang wanita tua berdiri di belakang sebuah meja. Dia menyambut kami dengan ramah.
"Hei, Elisa, lama tidak berjumpa!" ucap wanita itu. "Mau beli apa hari ini?"
Dari semua barang yang telah aku lihat, Elisa hanya membeli bahan utama saja seperti terigu, telur, gula, dan masih ada beberapa barang yang tidak aku kenali.
Ketika Elisa ingin membayar pesanan, wanita tua itu bertanya kepada Elisa, "Siapa itu yang sedang berdiri di belakangmu, Elisa?"
"Dia Nia, teman sekelasku, Chole," jawab Elisa. Aku lantas menunduk memberi salam. Chole, itulah nama wanita tua itu, tersenyum ramah.
"Ini Chole," Elisa menyodorkan sejumlah uang. Chole mengambil uang tersebut, menghitung sejenak, lalu memberikan uang kembalian kepada Elisa.
Tepat ketika kami sudah memberi salam dan ingin beranjak keluar kios, tiba-tiba Chole memanggil namaku.
"Nia Akasia, berhati-hatilah. Aku merasakan ada sesuatu yang berbeda padamu. Aku merasa kamu memiliki sesuatu yang spesial. Tapi aku juga merasakan ada sesuatu yang mencoba memanggilmu, menguasaimu, memaksamu, dan menggunakanmu. Ingat ini baik-baik!" Chole mempertegas ucapannya, "kamu harus mengendalikan semua itu, Nia. Jangan biarkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab menggunakannya untuk hal yang salah. Jika tidak, hal itu bisa berdampak buruk bagimu, dan bagi semua makhluk di negeri ini!"
Tepat ketika ucapan Chole berakhir, Elisa memberikan salam, lalu lekas mengajakku pergi. Hal pertama yang paling aku bingungkan adalah mengapa Chole bisa mengetahui nama lengkapku dan hal itu yang pertama kali aku pertanyakan kepada Elisa.
"Kamu memberi tahu nama lengkapku kepada Chole?" tanyaku.
Elisa menggeleng, "Aku hanya memberi tahu nama panggilanmu. Lagi pula, kamu belum pernah kemari, kan?"
Aku mengangguk. Berdasarkan pendengaranku tadi, Elisa memang hanya memberi tahu nama depanku.
"Lalu bagaimana dia tahu nama lengkapku? Dan apa maksud ucapannya tadi?" aku langsung melontarkan dua pertanyaan itu kepada Elisa.
"Aku tidak tahu Nia. Tapi, aku pernah dengar bahwa Chole memiliki kemampuan spesial, yaitu menerawang. Entah itu benar atau tidak," jelas Elisa.
Sesuatu yang spesial? Memanggil, menguasai, memaksa? Terbesit dalam pikiranku satu per satu potongan kata yang Nichole ucapkan. Aku sama sekali tidak mengerti apa-apa. Tapi aku mengingat sebuah nasehat, 'apapun itu, jangan pernah melewatkannnya, jangan pernah melupakannya, atau kau akan menyesalinya.'
πππ