Chereads / Arcadian Crusader : Great Flower Plain / Chapter 10 - Three Pierrot #3

Chapter 10 - Three Pierrot #3

"Akhirnya kau berdiri... Malapetaka."

Realita kegelapan membuatku sadar siapakah diriku ini. Dia adalah salah satu roh yang aku jadikan pelayan sama seperti roh-roh yang lain. Kini aku merasa segar kembali, darahku mendidih di dalam tubuhku.

"Bersiaplah untuk terbakar." ujar wanita tersebut.

Wanita dengan senyuman lebar itu menyiapkan api di kedua tangannya dan membakar tongkat sihir yang ia gunakan hingga menjadi abu. Bagaikan atlet bela diri yang profesional, dia menyiapkan kuda-kudanya terlebih dahulu sebelum bertarung.

Tidak kalah persiapan, aku pun merubah kostumku menjadi sebuah pakaian sihir yang sangat tangguh. Tongkat sihir Ieros Prosopiko yang aku pegang, berubah menjadi sabit raksasa. Bukan hanya dia saja yang bisa tersenyum lebar seperti itu. Bahkan senyumanku jauh lebih mengerikan darinya.

"Kau masih ingin bermain ? Kalau begitu, mari selesaikan ini." ujarku sambil menunjuknya menggunakan sabit raksasaku ini.

"Demi kedamaian dunia dan dendam ibu kami, aku akan melenyapkanmu sebelum kakakku datang." dia mengeluarkan pedang api dari kedua tangannya sebagai ganti tongkatnya yang hangus terbakar.

"Teruslah bermimpi anak muda."

Kami pun maju saling menyerang dan mengadukan seberapa kuat senjata kami. Sabitku terhenti begitu salah satu pedangnya menangkis bilahnya. Pedang yang satu lagi ia coba hunuskan ke dadaku namun sayang aku langsung menghindar dan menarik kembali sabitku.

Sabitku tidak sepenuhnya aku tarik kembali. Dengan cepat aku langsung mengayun-ayunkannya kepada wanita tersebut. Kali ini wanita bermulut lebar itu sudah bertambah kuat. Dia dapat menangkis ayunan-ayunan sabitku yang dulu tidak pernah salah satu anggotanya menahannya.

"Kau telah tumbuh, gadis muda." ujarku sambil menyeringai.

"Aku, Jagaimo, tak pernah menunjukkan kelemahanku terhadap siapapun."

"Lalu apa yang aku lawan sebelumnya ? Bayangan ?"

"Itu bukanlah aku. Tapi ini... ! Shadow Art : Magical Pierrot ! "

Seorang badut dengan baju merah keunguan dan tongkat sihir di tangannya tiba-tiba muncul di belakang Jagaimo. Badut itu dipenuhi dengan cahaya dan corak hati dengan berlian. Dia mulai merapal sihir untuk memperkuat sihir yang dikendalikan Jagaimo, wanita bermulut lebar.

"Wahai api yang mengalir di tanganku... Mengamuklah !"

Api yang berada di pedang api Jagaimo kemudian membesar. Dia langsung mengayun-ayunkan pedang itu tanpa ampun kepadaku. Beruntungnya aku memiliki daya tahan terhadap api yang kuat dengan pakaian ini.

Aku menghindari semua serangannya dengan melompat ke sana dan ke sini. Untuk terakhiran, aku menangkis kedua pedangnya dengan cepat menggunakan satu sabit raksasaku. Jagaimo tergoyahkan, dia membuka celah untuk diserang. Sabitku kemudian melesat dengan cepat menuju dadanya. Tanpa sedikitpun waktu yang aku sia-siakan, sabitku berhasil menusuk dadanya. Darah-darah kemudian mengucur dan membasahi tanganku yang sedang menggenggam sabit raksasa ini.

"Hanya begini ? Api-apimu tidak ada berguna sama sekali."

Tak lama kemudian, api membakar permukaan yang aku pijaki. Segera aku lepaskan tubuh yang aku serang dengan sabitku. Ternyata aku hanya menyerang bayangannya saja yang mencoba untuk melindungi Jagaimo.

"Terkejut ? Kau tidak seperti Sang Malapetaka yang diceritakan banyak orang." ujarnya sambil tersenyum kasihan kepadaku. Dia tiba-tiba muncul di belakangku.

Sungguh sial, aku tertipu oleh serangan murahannya. Aliran-aliran sihirku tak bisa aku kerahkan semaksimal mungkin. Dan mana mungkin juga aku harus mengerahkan semuanya hanya untuk menghadapi serangga rendahan sepertinya.

"Bagaimana Sang Malapetaka ? Apa kau sudah cukup dengan pemanasannya ?"

"Aku bahkan tidak serius, bodoh."

"Lalu TANGGAPI AKU SERIUS !"

Jagaimo kemudian menyerangku dengan serangan menyilangnya. Aku dapat menahan serangannya namun saat aku kembali dan menyerangnya, dia dapat menangkisku dengan mudah. Seketika tubuhku tergoyahkan dan aku kehilangan keseimbanganku.

"Sekarang giliranku, dasar penyihir terkutuk !"

Begitu dia akan melukaiku dengan kedua pedangnya, kekuatanku kembali pulih dan aku berhasil menangkisnya balik. Dengan cepat aku menendangnya dan membuat jarak diantara kami.

Jagaimo tidak hilang keseimbangan, dia langsung menembakkan sihir bola apinya kepadaku begitu aku menendangnya. Tanganku menepis tembakan bola apinya dengan mudah namun yang menjadi masalah bukanlah itu. Melainkan, banyaknya bola api yang mengarah kepadaku begitu aku selesai menepis yang pertama.

Dengan ringannya, aku menggerakkan sabit raksasaku untuk menepis bola api yang lain. Akan tetapi, pandanganku menjadi terbatas. Bola-bola itu meledakkan apiya begitu aku tepis seperti abu. Aku tidak bisa melihat benda apapun selain sabit dan api-api ini. Kemudian, aku menggunakan penerawangan sihir agar bisa melihat dimana posisi musuhku Jagaimo.

Tanpa jeda atau celah sedikitpun, begitu aku menggunakan sihir untuk memperiksa keberadaannya, bilah tajam Jagaimo telah berada tepat di depanku. Langsung aku tangkis kedua pedangnya itu namun salah satu bola apinya malah mengenaiku. Dia sedikit terpental dan begitu juga aku. Keseimbanganku kacau dalam beberapa detik terakhir ini. Salah satu bagian tubuhku pasti akan terluka.

Senyuman Jagaimo terlihat begitu jelas saat dia meluncurkan serangannya. Kedua pedang itu mengincar kedua paru-paruku dalam jarak yang begitu dekat. Kalau sudah begini, aku terpaksa melakukannya. Aku terpaksa untuk mengeluarkan sihir yang kuat untuk bisa selamat. Entah mengapa dengan cepat, dia bisa hadir di depan mataku.

Tiba-tiba sekelebat angin mendorongku menjauh dari terkaman pedang api Jagaimo. Sesaat sebelum aku menggunakan sihirku, aku terdorong jauh dan berakhir di pangkuan seorang laki-laki.

Iya lelaki itu. Seorang anak laki-laki yang pernah muncul dari terangnya sinar matahari dan menarikku dari gelapnya masa laluku. Seorang laki-laki yang ditakdirkan untuk menyelamatkan dunia. West August kini telah menyelamatkanku dua kali.

"Seorang pengganggu ? Apakah kakakku gagal menahannya ?"

"Tidak ! Aku tidak gagal kok. Aku hanya membiarkannya begitu saja."

Seorang laki-laki yang memiliki mulut lebar kemudian muncul dan mendarat di dahan pohon. Tidak salah lagi, mereka berdua adalah anak kembar dari salah satu roh pelayanku. Mereka ternyata masih hidup dan tumbuh menjadi lebih kuat.

August kemudian melepaskanku dan membiarkan aku berdiri untuk berbicara dengan mereka. Dia menyeringai tersenyum bagai ada sesuatu yang ia rencanakan.

"Kenapa kau membiarkannya, Kakak ? Padahal nyawa Sang Malapetaka sebentar lagi ada di tangan kita."

"Tunggu saja, lelaki itu akan mengatakan sesuatu yang menarik."

Kedua saudara kembar itu menatap August dengan senyumannya yang lebar. Mereka terlihat bergairah untuk menunggu apa yang akan diucapkan August. Namun lama kelamaan, mereka membuatku muak.

"Aku datang untuk bernegosiasi. Bertarung dengan kondisi sebebas ini tidak akan ada tantangannya. Bagaimana kalau kita adakan saja Arcadian Crusader disini... Satu lawan dua."

Kedua saudara kembar itu kemudian tertawa terbahak-bahak saat mendengar perkataannya. Mereka terdengar meremehkan sekali. Namun aku tidak bisa protes, kenyataannya bila August sendiri melawan mereka bertiga itu akan sangat ceroboh.

"Jangan bercanda, Koboi Pasir. Mana mungkin kau sendiri akan menang melawan kami berdua." ujar kembaran lelakinya.

"Siapa bilang akulah yang menjadi lawan kalian. Tentu saja kalian akan melawan si malapetaka yang kalian damba-dambakan. Dan dengan sukarela aku menyerahkan nyawanya apabila kalian bisa mengalahkan gadis cilik ini."

"Siapa yang kau sebut GADIS CILIK !" ujarku sambil menendang kakinya.

August kesakitan sambil memegangi kakinya. Namun dia tidak lemah, lelaki itu langsung tegar kembali dan berbicara seperti biasa, "Kalau kau memang bukan, tunjukkanlah pada mereka siapa dirimu."

Aku menatap tajam wajah August. Dia terlihat sangat serius tentang pertarungan ini. Bukannya aku takut atau semacamnya tapi mereka jauh lebih lemah dariku. Kematian anak-anak ini mungkin saja akan membuat sedih salah satu roh dalam diriku.

Tapi aku sudah memutuskan. Aku akan tetap melawan mereka demi martabat dan harga diriku yang telah menjinakkan ratusan roh. Tidak bisa aku memperlihatkan sisi lemahku lagi kepada bawahanku. Karena pertarungan satu lawan satu yang barusan memanglah mengecewakan.

"Terserah kau saja, August. Kalau kau memang ingin melihat mayat kedua badut ini."

"Aku bertaruh bahkan kau tidak ingin melukai mereka."

"Kenapa kau sangat yakin."

"Karena kau itu orang yang baik."

Mataku menghindari wajahnya. Setelah semua yang aku alami dalam seratus dua belas tahun ini aku tidak pantas disebut seperti itu. Namun, di lain sisi orang ini dapat melihat kebaikan dalam diriku. Aku sangat iri kepadanya.

"Aku tidak akan membiarkannya..." seorang lelaki berambut panjang kemudian jatuh dan mendarat dari atas langit. Dia membawa palu yang besar dan memanggulnya di bahu kanannya. Duri-duri di jaketnya yang serba hitam membuat dia menjadi lebih menyeramkan. "Biarkan pertandingan ini menjadi tiga lawan satu." satu matanya menatapku.

"Pan !" ujarku kaget.

"Kau tahu orang ini ? Kalau begitu pertandingan akan semakin lebih menarik." ujar August sambil menyilangkan kedua tangannya.

"Anak pertama dan terkuat, Pan, bergabung dalam pertarungan." ujar lelaki berambut panjang dengan satu mata.

"Kedua anak kembar pengendali api, Niku dan Jagaimo, bergabung dalam pertarungan." ujar kedua anak kembar yang memiliki senyuman lebar bersamaan.

Mereka bertiga mengeluarkan senjatanya dan mengarahkannya kepadaku. Seolah-olah mereka menantangku dan mengharapkan aku untuk menjadi lawan mereka. Aku tidak bisa berkata tidak untuk yang satu ini. Apalagi setelah aku dikalahkan begitu saja oleh salah satu dari mereka.

Akankah tubuhku berguguran dalam satu pertarungan ini. Akankah darahku bercucuran saat menghadapi mereka. Dadaku seolah-olah telah siap menerima tusukan lagi setelah sekian lama.

Luka-luka itu memberikan berbagai kenangan bagiku. Kenangan sedih, kenangan bahagia, semua aku lalui dengan darah-darah yang mengalir ke seluruh tubuhku. Di dalam maupun di luar. Perasaan yang hilang ini baru kurasakan kembali setelah sembilan puluh tahun lamanya.

Aku..... Sangat bergairah !

bersambung