Hari itu, air hujan membasahi seluruh tubuhku. Aku berguling-guling di atas lumpur sehingga mereka menghiasi pakaianku dengan sangat buruk. Lemah dan tidak berdaya, aku melihat adik kembar perempuanku diambil dari genggaman tanganku.
Umurku hanyalah dua belas tahun Ras Ahli Sihir kala itu.
Wajahku membiru, tanganku patah, dan kakiku mati rasa. Aku merangkak dengan satu tanganku dibantu dengan kedua tulang paha bawahku. Mengikuti jejak para bajingan yang berani-beraninya merebut adikku dari genggamanku.
Jejak kaki itu pun berhenti di sebuah gubuk kecil remang-remang. Aku mendengar tawa puas para lelaki bajingan itu dan teriakkan adik kembarku kesakitan. Disitulah pertama kalinya aku melihat sebuah pemandangan yang sangat buruk. Saking buruknya aku ingin sekali menghancurkan dan membakar pemandangan itu.
Disanalah adik kembar perempuanku di perkosa oleh tiga orang pria.
Kami berdua menjerit kesakitan. Aku menjerit dengan kuat di dalam hatiku karena aku tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara itu adikku menjerit dengan desahan sakit sedang diperkosa. Dan saat itulah senyuman itu terukir besar di wajah adikku. Senyuman kesakitan dan senang ketika dia melihatku datang untuk menjemputnya.
"HENTIKAN ! HENTIKAN ! HENTIKAN ! HENTIKAN ! HENTIKAN !" teriakku di dalam hati. Aku tidak punya lagi suara untuk aku keluarkan. Pemandangan ini begitu menyedihkan untuk aku lihat.
Saat itulah segumpalan roh berwarna hitam datang menghampiriku. Dia memberikanku pedang yang dipenuhi oleh aura kegelapan. Seketika tubuhku bergerak sendiri menyesuaikan dengan keinginanku. Akupun dapat berdiri kembali dengan kedua kakiku dan menggenggam pedang kegelapan dengan tangan kananku yang patah.
Dengan seluruh kemampuanku, aku muncul dihadapan mereka dengan mengerikan. Aura kegelapan mengelilingiku seperti api yang membakar tubuhku. Warna mataku berubah menjadi merah dan menatap mereka yang berbuat jahat terhadap adikku.
"Kau telah menjadi orang terpilih untuk memegang senjata itu. Salah satu senjata suci terlarang yang ditempa dengan sihir hitam, Dark Sword of Artemis, Sang Pelindung yang Terkutuk." suara itu menggema dalam pikiranku yang masih muda.
Aku tenggelam ke suatu dimensi yang gelap. Tidak ada cahaya yang menyinari selain makhluk itu dan obor-obor berapi biru di sekelilingnya. Dia adalah makhluk yang berbicara di dalam pikiranku sebelum aku masuk ke sini. Sebuah entitas gelap yang duduk di sebuah singgasana seperti seorang raja.
Tanpa aku sadari, tubuhku telah berada di hadapannya. Menatap entitas gelap itu bagaikan seorang pelayan setiaku. Aku tidak tahu apa yang terjadi namun dia membungkuk di hadapanku.
"Oh wahai tuan baru ku, maukah kau menerima bantuan dariku ? Aku akan menawarkan dirimu sebuah kekuatan untuk melindungi orang-orang tercinta di sekitarmu." ujar entitas gelap tersebut.
"Maksudmu..... aku dapat mengendalikan pedang suci itu sepenuhnya ?"
"Bahkan lebih dari itu... Seluruh kekuatannya akan menjadi milikmu apabila kau bersedia menerima diriku... Demi adikmu tercinta itu." makhluk itu mempersembahkan pedang itu kepadaku.
Mataku terbelalak. Aku langsung menyetujuinya dan menerima segala resiko hanya untuk melindungi saudara-saudaraku. Terutama adikku yang ternodai ini. Aku pasti akan melakukan segalanya demi melindungi dirinya.
Aku mengambil pedang yang dia persembahkan dengan tangan kananku. Saat itulah kontrakku dengannya terbentuk. Lensa mataku berubah warna menjadi merah, tanda aku menyetujui permintaannya.
Setelah aku menerima tawarannya dan dia bersumpah setia kepadaku, tubuhku langsung tertarik kembali ke dalam kenyataan. Sebuah kenyataan dimana aku telah menyelamatkan adikku. Sebuah kenyataan dimana aku menggenggam pedang ini yang berlumuran darah.
Ternyata aku sebelumnya tidak sadarkan diri. Dan selama aku tidak sadarkan diri itu, aku telah berjuang menyelamatkan adikku dan membunuh semua yang berani menyentuhnya. Kini dia berada di dalam pangkuanku sekali lagi.
Diantara hujan yang membasahi kami. Aku berdiri di atas puing-puing bilik yang terbakar dahsyat ini sambil memangku adikku. Tanganku masih patah dan aku berdiri dengan kedua kakiku yang mati rasa. Aku merasa seperti monster yang baru terbangun dari jurang kegelapan.
Dan dari sinilah senyumanku mulai terukir di wajahku.
+---+---+---+---+
"Nikmatilah cahayamu sepuasnya. Sebelum kegelapanku melahapmu." ujar Niku.
Niku kemudian berdiri sambil menancapkan pedangnya ke tanah. Semakin dia berdiri, tanah yang ia pijak semakin dibanjiri oleh aura kegelapan yang mengalir di tubuhnya. Jeanne terpaku melihat aura-aura gelap di sekitar Niku.
Para penonton merinding melihat lawan Jeanne yang bercucuran aura berwarna hitam legam. Mereka dan seluruh penduduk di bumi sangat tidak bersahabat dengan sihir hitam. Seketika mereka melihatnya dalam arena pertarungan, para penonton langsung heboh dan panik. Meskipun ini bukan yang pertama kalinya.
Sebagian orang ricuh melihatnya. Sebagian lagi dari mereka langsung menghujat habis-habisan dan langsung mendukung Jeanne untuk mengalahkannya. Namun ada juga segelintir orang yang diam-diam mempelajari ilmu sihir hitam dari area penonton.
"Orang-orang awam itu sungguh kampungan. Apakah ini pertama kali mereka melihatnya ? Yah ini juga pertama kalinya aku melihat yang seperti ini." ujar Jeanne sambil bersiaga dan mengambil kuda-kudanya.
Niku tampaknya semakin bersemangat untuk bertarung menghadapi Jeanne. Dia langsung memeragakan etiket bertarungnya. Etiket yang dia peragakan merupakan etiket kuno orang-orang zaman sebelum terjadinya Bencana Besar yang mulai dilupakan. Dan kini dia membawa etiket itu kembali dari kepunahan.
Jeanne kejut melihat ada seseorang selain dirinya yang mengetahui etiket tersebut. Sudah lama sekali dia tidak melihat etiket tersebut. Karena Jeanne Abigail dulu sangat senang melihat duel dengan ibunya. Sampai-sampai Ia hafal dengan semua etiket yang ia lihat.
Untuk membalas etiketnya dengan etiket yang lain, Jeanne hanya membungkukkan badannya seperti orang yang ingin mengajak berdansa. Dia menarik kain bajunya, menekuk kakinya, dan menundukkan kepala dengan gerakan yang mulus tanpa jeda. Dia terlihat seperti putri dari seorang bangsawan.
Para penonton kemudian bersorak melihat Jeanne yang luar biasa tenang menghadapai seseorang dengan sihir hitam. Namun kebalikannya, Jeanne sangat gundah dalam hatinya karena melihat ilmu sihir hitam yang dahulu menjadi mimpi buruknya.
"Kamu sangat tenang... Sang Malapetaka. Aku tidak akan mengampunimu loh." ujar Niku dengan nada sombong.
"Mana mungkin aku takut bodoh ! Akulah Jeanne Abigail The High Priestess. Seorang penyihir terkuat ditandai dengan kartu High Priestess yang memilihku." balas Jeanne.
Tanpa jeda sedikitpun, setelah Niku menyelesaikan kata-katanya, Jeanne langsung meluncur dan tiba satu meter di depannya. Dengan sabit raksasanya yang besar juga panjang, dia berhasil mengalungi leher Niku dengan bilah sabitnya yang melengkung. Aura ancaman kematian yang sangat besar langsung terasa mengelilingi seluruh tubuh Niku.
Jeanne menatapnya dengan tatapan marah. Matanya tajam menusuk jiwa Niku.
Refleks, Niku dengan sangat cepat menahan bilah sabit raksasa Jeanne yang akan memenggal kepalanya dari belakang dengan tangan pedang kegelapannya. Dia langsung mencekik leher Jeanne begitu dia masuk jangkauan lengannya. Seketika pergerakan mereka terhenti sejenak.
"Amarah... Itukah yang engkau rasakan ?" tanya Niku dengan santai.
"Memangnya apalagi ? Mules ?" jawab Jeanne.
Suasana dalam pertarungan yang asalnya meledak kemudian saja mendadak sunyi. Mereka saling menatap dalam-dalam. August cemas melihat mereka saling menatap seperti itu. Dia merasakan suatu firasat buruk dalam hatinya.
"Jeanne... apa yang kau pikirkan ?" ujarnya menggumam.
Tak lama kemudian, muka Jeanne terlihat seperti menahan tawa. Wajahnyapun memerah seperti tomat karena menahan tawa. Tak kuasa menahannya, akhirnya dia lepas dan tertawa terbahak-bahak sembarangan.
"AHAHAHAHAHAHA... Amarahahaha... Ungkapan yang benar-benar buruk... Ahahahaha." ujar Jeanne sambil tertawa terbahak-bahak.
Melihat Jeanne yang tertawa, Niku pun ikut tertawa dengan bebas. Dia tertawa bagaikan melihat hal yang teramat lucu. Saking terbawa suasana, Niku melepas cekikannya dan tangan yang menahan sabit Jeanne.
Tidak jauh bedanya dengan Jeanne, dia terlalu asyik tertawa dan akhirnya melepaskan cengkramannya yang berada di leher Niku. Mereka akhirnya tertawa bersama-sama seperti seorang sahabat yang sudah lama tidak berjumpa.
Para penonton yang melihatnya kebingungan. Mereka tidak pernah menyangka akan ada adegan seperti ini di dalam sebuah arena bertarung. Namun sementara itu, August memegang topinya erat-erat sambil ketakutan, "Bahaya... Sungguh bahaya. Tapi aku tidak bisa menghentikannya.". Anak kecil yang duduk di kursi penonton terdekat dengannya, melihatnya dengan tatapan yang super bingung.
Jeanne memegang pundak Niku, memutar kepalanya, kemudian menatapnya dengan tajam sambil berkata, "Amarah itu..... benar-benar kumpulan kata yang buruk ya..."
Seketika mereka berdua kemudian saling meledakkan auranya dengan dahsyat. Niku meledakan aura kegelapan sementara Jeanne meledakkan aura cahaya. Ledakkan aura mereka sangat bertentangan sehingga menciptakan ledakkan baru yang bahkan dapat melukai mereka sendiri.
Konon katanya, apabila kekuatan dari kegelapan dan cahaya bersatu maka akan terjadi suatu gesekan yang kuat seperti halnya pada mesiu dengan percikan api. Elemen-elemen itu akan menjadi tidak stabil sehingga melukai penggunanya sendiri.
"Amarah itu hanya penghambat seseorang untuk mengetahui kebenaran yang tersembunyi. Karena itu aku tidak akan marah." ujar Jeanne sambil membenarkan posisinya.
"Hei hei... Bukankah kau baru saja marah sebelumnya ?!" jawab Niku dengan nada angkuh.
Jeanne kemudian melompat ke arahnya dengan bantuan sihir angin. Dia terang-terangan meluncurkan serangannya dari langit. Sabitnya terayun dan mengincar kepala Niku. "Kau tidak tahu apapun tentang amarah."
Niku menangkisnya menggunakan pedang katana besar miliknya. Dia dapat menangkis serangan barusan hanya dengan satu tangan. Jeannepun menyerangnya kembali bertubi-tubi. Sabitnya ia ayun-ayunkan ringan seperti bulu burung. Akan tetapi, Niku dapat menangkis semua serangannya dengan cepat hanya dengan satu tangan memegang pedang.
Setelah puluhan ayunan yang ia kerahkan, Jeanne menyerah kemudian menjauh darinya sedikit. Tak kehabisan akal, Jeanne melemparkan sabit raksasanya ke arah Niku. Namun sayang, dia melemparnya dengan sembrono. Sabit raksasa itu hanya melayang ke arah Niku.
"Hehe....." senyum Jeanne sambil mengetuk kepalanya.
Para penonton panik melihat tingkahnya. Sementara itu August malah tertarik dan fokus melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Anak kecil yang sama seperti sebelumnya kini menekuk alisnya saking bingungnya akan apa yang sebenarnya yang dilakukan August.
Dengan percaya diri, Niku mengangkat tangannya untuk menangkap sabit raksasa milik Jeanne dengan satu tangan. August semakin tenggelam dalam pikirannya hanya karena melihat apa yang dia ingin lihat. Jeanne kemudian tersenyum tajam ketika dia tahu bahwa Niku akan mengambil sabitnya.
"Sesuai rencana... ehehe..." guman Jeanne.
Tangan Niku berhasil menahan sabit raksasanya. Sabit itu mendarat dengan mulus di tangan Niku. "Kemenangan akan menjadi milikku..." ujar Niku sombong. Namun lama kelamaan, tangan Niku menurun, menurun, semakin menuruh, dan akhirnya jatuh ke tanah. Sabit raksasa itu terlalu berat untuk dipegangnya.
"Apa-apaan dengan sabit ini ? Beratnya bukan main."
Badan Niku terbawa oleh sabit itu sehingga dia terbungkuk. Dia sama sekali tidak bisa menggerakkan tangannya karena terjepit oleh sabit raksasa itu. Sabit itu menjepitnya bagaikan batu raksasa yang jatuh dari atas gunung dan menjepit tangan Niku.
Niku berusaha sekuat tenaga untuk menarik tangannya kembali. Namun usaha yang dilakukannya itu sia-sia karena tangannya tidak bergerak sama sekali. Sementara itu, Jeanne berjalan dengan anggun perlahan mendekatinya. Dia tersenyum puas saat melihat Niku sengsara karena telah berusaha mengambil sabitnya.
"Menyakitkan bukan ? Aku penasaran... Bagaimana rasanya ketika kau merasa terancam namun tidak bisa berbuat apa-apa... Ahahaha." Jeanne tertawa terbahak-bahak lagi. Kemudian dia menginjak kepala Niku dan memandangnya seperti serangga. "Kau seharusnya tunduk kepadaku lebih awal..."
Niku belum menyerah. Dia langsung mengambil pedangnya kembali untuk menyingkirkan Jeanne dari kepalanya. Namun sayang, Jeanne telah memprediksinya. Sebelum dia berhasil menyerangnya kembali, Jeanne menedang muka Niku tepat di hidungnya.
"... Dasar serangga murahan !" ujar Jeanne sambil menendang wajah Niku. Nike terpental sejauh dua puluh meter dari Jeanne sambil memegang pedangnya. Tangannya berhasil lepas dari sabit itu namun wajahnya yang menjadi korbannya.
Jeanne mengambil kembali sabit raksasanya kemudian memutar-mutarnya bagaikan bendera pawai. Diapun hendak melemparnya ke udara dan memutarkannya persis seperti bendera pawai. Untuk terakhiran, dia menancapkannya ke tanah.
"Ieros Prosopiko telah memilihku. Karena itulah orang lain tidak bisa menggunakannya bahkan memindahkannya kecuali atas perintah dariku. Kami berdua... Telah ditakdikan untuk bersama." ujar Jeanne sambil memeluk sabitnya.
Niku tidaklah tumbang. Dia bangkit kembali dengan seluruh tubuhnya yang ditutupi oleh aura hitam. Pedang katana besar yang dipegangnya kini menunjukkan sosok aslinya yang mengerikan. Banyak sekali komponen-komponen sihir gelap melekat di pedangnya seperti daging kotor yang berwarna hitam.
Seekor hewan ganas terlihat di balik Niku. Dia ditutupi kabut-kabut hitam seperti aura milik Niku. Tidak jelas makhluk kegelapan seperti apa yang akan menolong Niku. Tangan Jeanne sampai dibuat gemetar hanya dengan melihatnya saja.
"Jangan-jangan itu..." gumamnya sambil menjentik-jentikkan jari di tangannya yang gemetar.
Perasaan Jeanne kemudian memburuk kembali. Kepalanya tiba-tiba sakit dan tubuhnya hendak lemas untuk digunakan. Kondisi yang dialaminya sama persis ketika dia jatuh dari tongkat sihirnya.
Jeanne melihat Niku berdiri dengan pedangnya yang diselimuti aura gelap. Jeanne melihat Niku berlari mendekatinya sekuat tenaga. Tanpa banyak bicara lagi, Niku mengayunkan pedangnya ke arah Jeanne. Jeanne pun menangkisnya. Akan tetapi pergerakan Niku tidak berhenti. Dia mengalirkan tangannya seperti air kemudian menyerang samping kiri perut Jeanne. Darahpun bercucuran dari luka yang diterima Jeanne. Ia kemudian terduduk sambil menahan rasa sakitnya.
"Kenapa aku tidak menyadarinya sialan ! Tubuhku... sulit untuk digerakkan."
Niku kemudian menghalangi seluruh cahaya matahari yang diterima Jeanne. Dia melayang di atas tubuh Jeanne dan mengarahkan bagian tajam pedangnya ke arah Jeanne. Meskipun sakit, Jeanne berhasil menendang tanah yang Ia pijak kemudian melompat menghindari serangannya. Akan tetapi Jeanne tidak bisa lari lagi, seekor serigala raksasa yang diselimuti aura kegelapan sudah berada di dekatnya dan siap untuk melahapnya.
Gigi yang besar nan tajam itu menggigit perut Jeanne. Serigala itu mengigit-gigit perut Jeanne dengan sekuat tenaga. Jeanne sangat kesakitan. Akan tetapi perut Jeanne tidak kunjung putus. Hanya darah-darah saja yang bercucuran dari perut Jeanne.
Serigala itu terus-terusan mengoyak-ngoyak perutnya namun tidak pernah kunjung hancur bahkan putus. Akan tetapi, Jeanne terus merasakan rasa sakitnya. Dia menjerit-jerit kesakitan karena perutnya terus-terusan ditusuk oleh gigi serigala yang besar dan tajam.
Jeanne tidak tahan lagi atas rasa sakitnya itu. Dia kemudian mengamuk dan menghantamkan bagian tajam sabit raksasa itu ke arah serigala kegelapan yang terus-terusan mengoyak dirinya. Namun sebelum sabit raksasa itu mengenai serigala tersebut, makhluk itu langsung melempar Jeanne dari mulutnya.
Dengan kedua kakinya, Jeanne menahan dirinya agar tidak terjatuh. Akan tetapi, serangan Niku masih berlanjut. Dia berhasil menembus perut Jeanne dengan pedangnya satu kali lagi. Kali ini dia menembusnya tepat masuk ke pusarnya hingga menembus tulang ekornya.
Dengan satu tarikan yang cepat, Niku menarik pedangnya kembali kemudian mengayunkan pedangnya ke kepala Jeanne. Tidak sempat menghindar, Jeanne tersenyum dengan indah sambil berlumuran darah.
"Niku... Apakah kamu bodoh ?"
*splash* Kepala Jeanne pecah terbelah. Tubuhnya kemudian terjatuh dan tangannya melepaskan sabit raksasa yang selalu ia gunakan pada akhirnya. Jeanne tergeletak di tanah dengan setengah kepala. Darahnya mengalir ke kaki Niku hingga membasahinya.
Emosi Niku meluap-luap. Dia sangat bahagia ketika melihat darah Jeanne mengalir di kakinya. Saking bahagianya, dia menginjak-injakkan kakinya pada darah tersebut.
"Berhasil ! Aku berhasil ! Aku berhasil membalaskan dendammu wahai ibuku. Ahahahaha..." ujarnya dengan sangat bahagia. "Dark Sword of Artemis memanglah luar biasa ! Aku bisa menembus baju sihirnya dengan mudah. Suara perut yang aku tusuk itu sangatlah luar biasa... Ahahaha."
Saat Niku asyik tertawa, dia tiba-tiba merasakan suatu firasat aneh di dinding dekat Sang Juri. Diapun menghentikan gelak tawanya kemudian menatap balik firasat aneh itu. Jauh disana ada seseorang yang memperhatikan dengan saksama.
"Apakah kau sudah sadar..... Niku ?"
bersambung