Chereads / Arcadian Crusader : Great Flower Plain / Chapter 11 - Arcadian Crusader : Three Pierrot

Chapter 11 - Arcadian Crusader : Three Pierrot

"Kenapa kau melakukannya, August ?"

"Karena kamu terlihat berbeda belakangan ini. Aku ingin melihat dirimu yang dulu kembali. Tidak setiap perubahan itu baik, Jeanne Abigail."

"Kau benar, aku tiba-tiba menjadi lembek setelah aku memandang lapangan hijau yang luas itu."

"Menurutku bukan begitu."

"Lalu apa ? Kalau begitu aku bahkan tidak mengetahui apa yang berbeda dariku."

"Hatimu ! Aku merasakan suatu resonansi gelap di dalam hatimu. Saat kau melihat pemandangan itu, hatimu berdegup dengan cara yang sangat berbeda. Sebenarnya apa yang telah merasukimu itu, Jeanne ?"

"Bukan ! Bukan itu, mana mungkin kau tahu apa yang berada dalam hatiku. Kau bahkan tidak memiliki sihir yang tepat untuk mengintip hatiku."

"Kau tidak terlalu mengenal angin bukan ? Aku telah mengenal angin lebih lama darimu. Mereka lebih lembut dari yang kau pikirkan tentang mereka. Mereka dapat merasakan apa yang tidak dapat dirasakan oleh makhluk hidup seperti kita. Dan aku telah menyatu dengan mereka lama sekali."

"Tidak bisa ku percaya, tidak bisa ku percaya ! Makhluk rendahan sepertimu yang bahkan memiliki aliran sihir lemah dariku, menceramahi diriku yang jauh lebih kuat darimu !"

Jeanne pergi meninggalkan August sendirian di dalam ruang tunggu peserta Arcadian Crusader. Dia menutup pintu dengan sangat keras hingga membuat August terkejut. Jeanne pergi dalam kondisi yang sangat marah.

Seketika August tertekan melihat reaksi Jeanne yang berlebihan. Namun semua tekanan itu mengukir senyuman di wajah August. Seolah-olah dia telah berhasil melaksanakan rencananya.

"Jeanne Abigail. Apalah yang telah meracunimu, kau tidak seperti biasanya. Semoga dengan pertarungan ini, kau bisa melihat betapa berbedanya dirimu dengan saat kita pertama kali bertemu."

+---+---+---+---+

Tepat di atas lebatnya hutan, arena Arcadian Crusader terbangun dengan kekuatan sihir. Arena itu melayang megah di atas pepohonan layaknya arena pertempuran pada umumnya namun lebih kokoh. Para penghuni hutan dan orang-orang yang kebetulan melihat arena ini tiba-tiba didirikan, langsung naik, masuk, dan menjadi penonton.

Disini aku berjalan memasuki arena sambil disoraki oleh banyak penonton. Beberapa dari mereka menyoraki, beberapa dari mereka mengumpati. Memang begitulah pandangan orang-orang kepadaku. Sebagian dari mereka takut dan sebagian lagi dari mereka gembira.

Mereka takut karena mereka tidak tahu diriku yang sebenarnya. Dan mereka gembira karena mereka tahu diriku yang sebenarnya.

Tepat di sebrangku, ada tiga orang saudara yang menatap dengan tajam. Dua dari mereka tersenyum dan satu dari mereka sangat dan sangat serius. Dia lebih mengetahuiku dari siapapun. Karena akulah yang telah mengubah hidupnya.

"Akhirnya kau datang juga, Malapetaka. Aku kira kamu mengundurkan diri... Haha." hina Jagaimo, anak kembar yang perempuan.

"Tenang saja, aku tidak akan mengundurkan diri kok. Aku punya janji untuk menghibur kalian berdua, anak kembar. Benarkan, Pan ?" ujarku dengan sinis.

"Hei, Kakak ! Bukannya kau sudah berjanji tidak akan mendekatinya sebelum kami ?!" keluh Niku, anak kembar yang laki-laki

"Iya tuh, dasar Kakak payah !" ujar Jagaimo.

"Aku tidak pernah mengatakan, 'aku berjanji' seperti itu." balas Pan.

"Dasar penipu, otak udang, akal bulus, seharusnya kau cukur saja itu rambut panjangmu !" tanggap Jagaimo dengan nada kesal.

Pan kemudian menatap Jagaimo dengan tatapan mata yang seram. Seketika, Jagaimo pun ciut ditatapnya dan kemudian terduduk sambil meneteskan air mata. Pan kemudian melirik ke arah adiknya yang satu lagi. Dia langsung bersiul seperti tidak tahu apa-apa.

Melihat tingkah laku mereka bertiga, membuatku merasa nostalgia dengan teman-teman seangkatanku terdahulu. Sebelum Bencana Besar melanda dunia. Disana ada temanku yang berambut merah tua. Tatapannya sama mengerikannya dengannya. Namun sayang, mereka hanya kenangan saat ini.

Aku mengepalkan tangan kiriku.

August. Apakah kau menyuruhku untuk bertarung disini untuk menemukan kembali jati diriku. Mungkin aku memang sudah jauh dari diriku yang sebelumnya. Namun aku tidak tahu apa yang berbeda denganku. Tolong katakan kepadaku... apa yang berbeda.

Tiba-tiba suara penonton bergemuruh. Seorang juri Arcadian Crusader telah tiba. Dia memegang sebuah pedang ramping dan tajam seperti jarum. Bersetelan koboi dengan pistol revolver di pinggulnya. Dialah kenalanku sekaligus kapten perjalanan kami, West August.

Setelah apa yang dikatakannya barusan, membuatku muak melihat wajahnya. Bisa bisanya orang yang baru mengerti sihir dua bulan lalu menceramahiku tentang sihir. Dia memang tahu cara membuat orang kesal.

"Sepertinya seseorang akan berbuat curang disini ! Hei, Jeanne Abigail Sang Malapetaka !" hina Jagaimo.

"West August bukanlah orang yang seperti itu !" ujarku membela.

Entah kenapa namun hatiku merasa tidak enak mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Jagaimo. Sekesal-kesalnya aku dengan August, aku lebih kesal mendengar ocehan Jagaimo yang berbicara buruk terhadapnya. Akupun mengangkat sabit raksasaku dan menodongkannya ke arah Jagaimo. "Kau akan menyesalinya."

Sebuah palu raksasa kemudian terangkat dan menghalangi Jagaimo. Seorang kakak dari tiga bersaudara yang bernama Pan melihatku dengan serius dan berkata, "Tak akan aku biarkan."

Aku menggenggam sabit raksasaku dengan kedua tangan dan mengambil ancang-ancang untuk menyerang terlebih dahulu. Mereka bertigapun sama. Mereka berpegang teguh pada senjata suci mereka. Meski belum ada tanda-tanda pertarungan akan dimulai namun kami semua sudah mengambil ancang-ancang.

August mengangkat tinggi-tinggi pedangnya ke angkasa. Pertanda bahwa pertarungan akan segera dimulai. Para penontonpun senyap terdiam, mereka fokus melihat kami yang mengambil ancang-ancang sambil menunggu pertandingan untuk dimulai.

"Mulai !" August mengarahkan pedangnya lurus ke depan. Seketika penonton bergemuruh, pertarungan Arcadian Crusaderpun telah dimulai. Memang sudah biasa para penonton bergemuruh seperti ini. Bahkan apabila yang bertarung kelas teri sekalipun, para penonton akan bergemuruh.

Aku menghentakkan kakiku dan mendekati mereka dengan cepat. Sementara itu Pan melebarkan tangannya dan membuat kedua adiknya menembakkan api ke arahku. Api-api itu menghalangi pandanganku. Dan saat aku kibaskan api itu untuk membuka pandanganku, Pan tiba-tiba sudah berada di atas kepalaku dan siap untuk menghantam dengan palunya yang besar itu. Dengan mudah, akupun langsung membelokkan serangannya sehingga dia terpental jauh.

Pan belum selesai. Kali ini dia langsung kembali ke arahku dengan cepat dan menyerangku menggunakan palu besar yang di genggam oleh kedua tangannya. Alhasil benturan senjatapun tidak terlewatkan. Suaranya begitu nyaring hingga memenuhi arena pertarungan.

"Sudah kuduga, dia bisa menanganinya. Dengan begitu, aku tidak perlu ikut campur terlebih dahulu." ujar Niku santai.

"Ambil waktumu, kakak. Kaulah senjata terbaik kami untuk mengatasi malapetaka yang akan mengamuk nanti." jawab Jagaimo.

Kami saling mengayunkan senjata suci kami. Kedua senjata besar yang beradu membuat suara dentuman besi sangat kuat. Saking kuatnya kami mengayun-ayunkan senjata besar kami, api-api yang ditembakan berubah bagaikan badai yang mengelilingi kami berdua.

"Aku tidak akan lengah !" ujar Pan.

"Oh tidak, kau pasti akan lengah." jawabku.

Sabit yang aku gunakan dengan kedua tanganku, kini kugenggam hanya dengan satu tangan. Tanganku yang satu lagi kugunakan untuk memetik jari dan mengendalikan sihir. Sebuah putaran angin kemudian terbentuk di telapak tanganku kemudian aku menggunakannya untuk menghilangkan keseimbangan Pan. "Kena kau !"

"Apa ?!"

Sisi kanan Pan terbuka dan membuat celah. Dia tergoyahkan hanya karena kuatnya pusaran angin yang aku buat. Dengan begitu aku langsung memukulnya dengan bagian tak berbilah di sabit raksasa ini. Seketika Pan terpental lagi menjauh dariku.

"Kau melukai keluargaku, dengan begitu rasakan penderitaannya." Jagaimo membakar tongkat sihirnya lagi hingga menjadi abu. Kedua tangannya kemudian memunculkan api dan membentuk seperti pedang. Dengan artian, mereka adalah pedang api kembar yang membara di tangan Jagaimo.

Dengan cepat, Jagaimo melesat maju ke arahku. Dia menyilangkan tangannya seperti akan membelah empat bagian tubuhku. Namun aku tidaklah bodoh. Aku langsung menanamkan elemen angin ke sabit raksasaku.

Ku angkat tinggi-tinggi sabit raksasaku ke langit dan mengarahkannya ke arah serangan Jagaimo. Dia melesat terbang lurus dengan apinya yang berkecepatan tinggi ke arahku. Setelah dia sudah cukup dalam jangkauanku, aku langsung mengayunkan sabit raksasaku lurus ke arahnya. Elemen-elemen angin yang aku tanamkan dalam sabitku ini langsung membuat potongan angin yang memotong apapun yang ada di jangkauan lurusnya.

"Jagaimo !" teriak Niku.

Niku langsung melindunginya dengan cepat. Pedang katananya yang besar berhasil menahan potongan angin yang aku buat. Pedang itu sangat kuat begitu juga dengan penggunanya. Serangan sihirku dapat ditahan dengan sangat mudah seperti angin yang lewat.

Aksi heroik Niku tidak menjadi halangan bagi Jagaimo untuk terus meluncurkan serangannya. Dia membelokkan serangannya melewati Niku dan kembali menyerang ke arahku. Namun serangannya itu percuma di hadapanku. Semua yang mereka lakukan itu hanyalah permainan anak-anak saat aku kecil saja.

Pan tiba-tiba menyerangku dari belakang di atas kepalaku. Jagaimo telah berada tepat di depanku. Dan Niku... Dia masih terdiam di belakang.

Kedua badut ini menyerangku di semua titik butaku. Aku sudah terlambat untuk menggerakkan lenganku. Dan apabila aku berhasil menyingkirkan salah satu dari mereka, kemungkinan terkuatnya ialah antara hilangnya kedua lenganku atau remuknya kepalaku. Yang aku butuhkan saat ini hanyalah satu gerakkan cepat yang dapat membuat mereka berdua menjauh dariku. Dan gerakkan cepat itu adalah.....

Jentikkan sihir kedua jariku ini.

Gema muncul dari jari yang aku petik. Disusul dengan gelombang dan panah cahaya yang mengarah ke segala arah berkecepatan cahaya. Mereka berdua langsung tertusuk dan terpental mundur jauh dariku. Itu karena sihir panah yang keluar dari jariku mengenai organ vital mereka yang dapat membuat mereka lemah untuk sementara. Terutama Jagaimo.

"Kakak Pan ! Jagaimo !" teriak Niku. Dia langsung berlari dan menangkap Jagaimo ke pangkuannya.

Adik kembar Niku yang bernama Jagaimo berada di pangkuan kembarannya berdarah-darah. Panah cahaya yang mengenai tubuh Jagaimo telah membuat lubang di perutnya. Dia tidak bisa berdiri dengan normal karena panah itu melubangi tulang belakangnya.

"Apakah kau bisa berdiri ? Hei ! Jagaimo jawab aku !" panggil Niku sambil menepuk-nepuk pipi Jagaimo.

"Aku... baik-baik saja... Ternyata aku terlalu meremehkannya. Namun kenapa... Dia menjadi sangat kuat... Seharusnya kekuatan Kakak Pan, tidak bisa menandinginya." ujar Jagaimo dengan lemah.

"Tunggu saja, Jagaimo, aku akan membalasnya."

"Hati-hati... Niku... Dia sangatlah kuat."

"Tidak apa... Dengan pedang kegelapanku, Dark Reality, pasti akan mengalahkannya."

Para penonton bersorak. Mereka kagum melihat kekuatanku yang berhasil menyelamatkanku dari maut. August yang menjadi juripun tersenyum kepadaku. Dia mengisyaratkan bahwa aku sepertinya telah kembali seperti yang dahulu.

Seseorang yang lebih tinggi kemudian menutupiku dengan bayangannya. Dialah Pan, dia berdiri di belakangku dengan panah-panah cahaya yang menghiasi tubuhnya. Anehnya, panah itu tidak menembus sama sekali tubuh Pan. Mereka hanya menusuk seperti layaknya panah biasa.

"Kau ? Bagaimana bisa ?"

"Inilah kekuatan dari senjata suciku. Kekuatan untuk tahan terhadap serangan sihir dan fisik selama aku memiliki keinginan menyelamatkan orang-orang yang aku cintai. Meskipun tidak bertahan lama, efeknya akan hilang ketika aku kehilangan keinginanku atau menyerahkannya kepada seseorang."

"Kalau begitu... Masih mau di lanjut ?"

"Oh tidak usah... Aku sebentar lagi akan menyerah, seperti adik perempuanku. Lihat kesana !"

Aku berbalik dan melihat si kembar bersaudara. Jagaimo, kembaran perempuan Niku, telah hilang kesadarannya dan pergi dengan cahaya meninggalkan arena. Dia berpindah ke suatu tempat di Arcadian Crusader ini yang berfungsi sebagai ruang penyembuhan.

"Dia langsung lemah begitu saja, apakah aku benar ?"

"Itu benar. Namun bukan itu yang aku maksud, bodoh."

"Hei ! Jangan mengejekku ! Cukup katakan saja apa yang kau maksud."

"Kau sama berisiknya dengan mereka. Ehm... Yang aku maksud adalah adik laki-lakiku." ujar Pan sambil menunjuk ke arah Niku.

Pan menunjuk ke arah Niku untuk memberitahunya. Kini aku menyadarinya. Ada suatu aura yang aneh keluar dari pedangnya. Aura itu gelap, gelap sekali. Sampai-sampai aku bisa melihatnya seperti asap yang berasal dari pabrik.

Aura gelap itu, mirip sekali dengan aura yang dikeluarkan oleh salah satu roh pelayanku. Dark Reality, Realita Gelap. Itulah julukkan yang ia ingin aku sebut olehnya. Apa jangan-jangan, Niku juga memiliki sesuatu yang persis seperti diriku ? Itu bisa saja terjadi.

"Pemicunya adalah Jagaimo. Niku sangat mencintai kembarannya sehingga dia ingin terus melindunginya walau badannya harus hancur berkeping-keping. Jadi ketika kau mengalahkan atau melukai serius Jagaimo, dia akan beralih kedalam mode ini." jelas Pan dengan sangat serius.

"Lalu apa yang akan kau lakukan ?"

"Aku akan berbaring, layaknya Jagaimo dan menjaga dirinya untuknya. Untuk saat ini, tolong, Jeanne Abigail. Selamatkan jiwa adikku seperti kau menyelamatkan jiwa Ibuku terdahulu..."

"Hei ! Kau sudah tahu... Lalu kenapa kau memburuku hingga menculikku sebelumnya ?"

"Itu hanyalah umpan agar aku bisa membawa adikku untuk menemuimu. Aku ingin kau menyelamatkannya... Jadi tolong, sucikanlah dia...." pinta Pan sambil memegang tanganku dengan kuat. Tubuhnya perlahan-lahan tumbang.

Dia bersungguh-sungguh. Akupun telah merasakan sesuatu yang tidak mengenakkan tentang anak laki-laki yang bernama Niku ini. Mau tidak mau, aku pasti menerima permintaannya. Dan akan aku lakukan secepat yang aku bisa.

Tangan Pan pun melepaskan pegangannya. Dia mulai lemah dan tertidur di lantai arena Arcadian Crusader. Matanya sangat berharap banyak kepadaku. Jangan risau Pan, aku pasti akan menyelamatkannya dan membawanya kembali kepadamu.

"Kumohon, Jeanne..... Abigail..." Tubuh Pan perlahan-lahan pudar. Cahaya membawanya perlahan seperti Jagaimo sebelumnya.

Kini, tinggal kami berdua yang tersisa di arena ini. Pertarungan yang sebenarnya baru saja akan di mulai. Angin bertiup kencang dan langit berubah menjadi hitam seperti akan terjadi badai. Biasanya ini adalah pertanda bahaya.

Niku mengangkat pedangnya dengan satu tangan. Seluruh tubuhnya telah dirasuki oleh aura gelap dan matanya mengeluarkan cahaya merah. Mata itu adalah mata kesungguhan orang yang berusaha melindungi. Namun walau begitu...

Mata itu bukanlah kemurnian tekad seseorang untuk melindungi.

bersambung