Perasaan gelisah menghampiri tuan besar. Rencana ingin istirahat malah merokok depan taman. Kepalanya penuh dengan intrik mendapat Lena tapi tak ada yang dapat membuatnya tenang. Tuan besar bergegas menuju luar rumah tapi dihadang Exsclamente di depan mobilnya. "Huh! mau kemana? nyakin mau kesana, ditendang baru tau rasa".
Matanya melotot kesal. Exsclamente tertawa terkekeh-kekeh. "Dulu diminta untuk segera membereskan kelinci putih, kamu menolak. Sekarang, kebingungan setengah mati" Sebuah sindiran halus yang bikin tuan besar mengaruk kepalanya. Jika dipikirkan berkali-kali juga tak berdaya. Tapi tuan besar tak mau mengelak walaupun benar.
"Istirahatlah. Kamu ingin dilihat dengan penampilan kusam dan berantakan begini. Dimana wibawanya sebagai mantan pemimpin zai.inc , jangan bikin malu" keluhnya sengaja. "Ya... ya... astaga, sejak kapan berubah menjadi emak-emak rewel begini" kilahnya cepat berbalik kembali ke kamarnya.
Exsclamente mengelengkan kepala melihat tingkah bocah yang keluar dari tuan besar. Ia sangat mengerti, kehilangan dan mendapatkan jenis cinta yang baru, terasa sangat berbeda. Kakinya melangkah menuju kamarnya. Ada rasa dingin mendapatkan ia hanya seorang diri. Sungguh beruntung mereka yang mendapatkan kesempatan kedua karena cinta. Helaan nafasnya memburu kemudian melemah. Duduk dan memegang alat vitalnya sendiri dengan harapan bisa tuntas tetapi terjebak dalam kepalsuan.
Kepalanya pusing tujuh keliling. Tanpa daya. Hatinya kosong. Bertahun-tahun berharap memiliki seorang pengganti pendamping malah kehabisan waktu. Kesal. Exsclamente pergi keluar meninggalkan rumah membawa mobilnya menuju rumah merah maroon.
Rumah merah maroon tampak biasa saja. Tak ada aktivitas di luarnya. Kakinya turun dari mobil setelah memarkirkan di dalam halaman rumah. Salah satu penjaga datang menghampiri. "Tuan?" tanpa mengatakan panjang lebar diserahkan kunci kartu kamar ditangannya. Tak banyak yang tahu jika rumah merah maroon merupakan tempat prostitusi. Exsclamente melanjutkan langkahnya menuju nomor kamar yang tertera di kunci kartu.
klik....
Senyumnya mengembang, melihat wanita yang duduk di atas ranjangnya. Wajahnya ditutup oleh topeng sebagian, hanya menampilkan bibirnya yang dipoles lipstick berwarna merah madu. "Aku tak berniat untuk bermain. Bisakah kamu menemaniku?" Exsclamente duduk di sofa panjang yang menghadap ranjang. Matanya meneliti bak elang menyoroti penampilannya yang minim. "Tentu saja" ujarnya lembut bergerak mendekati Exsclamente. Setiap kali bergerak menyingkapkan misteri dibalik pakaian minimnya bagai godaan yang sulit ditampik.
Meletakkan pantatnya di atas paha. Exsclamente memuji keberanian dan sensual yang ditampilkan sejenak wanitanya bahkan gerakan sederhana dengan mendudukkan diri sekaligus menggeser lembut menambah drama tak terlihat. Tangannya membelai lembut bagian diri Exsclamente. Sedikit menggeliat tapi tak cukup untuk bergerak. "Siapa namamu". Mata Exsclamente menatap senang dengan gerakan kecil yang dibuat wanitanya. "Gladys" Senyumnya menawan dengan mata yang tajam. "Mengapa kamu memakai topeng?" tanyanya ingin tahu. "Tidak ada yang spesial" jawabnya setengah berbisik di depan bibir Exsclamente.
Gladys tak mengira akan berjumpa ayah Shizuru. Dunia sangat sempit. Bibir bertautan menimbulkan suara decak dan nafas yang saling memburu. Gladys kalut dalam hati. Baru kali ini merasakan sesuatu yang lain dalam dirinya. Sesuatu yang tak pernah diketemukan olehnya dari pria lainnya.
"Em..." Kabut dalam otak Gladys bertambah tebal. Awalnya hanya sekedar mencicipi tapi hanyut mengikuti derasnya gerakan halus yang berubah-ubah. Gladys mengenal Exsclamente ketika ulangtahun Shizuru saat menjadi tunangan Jordan. Ia melihat sekilas.
Exsclamente tak mengira ada sesuatu lain disetiap ia mencicipi. Ia seperti mengenali tapi dimana. Penuh sesak tak sanggup menahan, ia membaringkan di sofa, ia diatas menahan lembut Gladys supaya tak terjatuh. "Kita pernah bertemu. Kamu anak siapa" tanyanya dengan suara serak. Gladys berusaha keras tak memunculkan emosi dalam suaranya, baru kali ini ada yang bertanya ia anak siapa demi usahanya membayar hutang kepada Jordan. "Aku-- um" Benda keras menerjang masuk dengan kelembutan yang tak biasa diterimanya. Ia sering melayani banyak pria tapi baru kali ini, ia merasakan, seseorang mengunakan tubuhnya dengan perasaan dihargai dan disayangi.
Exsclamente tak ingin terburu-buru mengakhiri. Ada sesuatu yang membuatnya memperlakukan wanita di depannya dengan cara sama memperlakukan istrinya. Hatinya mendadak hangat. Wanita ini membuatnya mengingat rasa istrinya puluhan tahun lalu. Sentakan yang diberikan, lenguhan, desahannya membuat Exsclamente tak berdaya melawan desakan yang kuat untuk mengakhiri.
Tangan Gladys menarik kuat-kuat seprai dibawahnya saat sentakan terakhir yang diberikan bikin ia kehilangan jiwanya. Yah, jiwa dimana kamu tanpa menyadari telah menyerahkan seluruhnya tak tersisa. Sekali ini, Gladys membiarkan dirinya menikmati kasih sayang yang diberikan. Hanya sekali. Selanjutnya esok ia akan digantikan oleh orang lain jika laki-laki ini datang lagi ke tempat ini. Selalu ada yang lainnya. Jordan memastikan tak boleh melayani dua kali untuk orang yang sama. Air matanya jatuh menetes, Exsclamente tak tahu hal itu. Ia ambruk disampingnya berusaha Gladys tak jatuh ke sisi bawah sofa.
Nafas keduanya masih diujung. Namun, Exsclamente membopongnya hingga ke ranjang dan menutupi keduanya dengan selimut tebal. Exsclamente menyerah rasa kantuk yang muncul. Tak lama kemudian dengkuran kerasnya terdengar. Gladys menengadah kearahnya. Ia berada dalam pelukannya. Terasa nyaman.
Gladys berusaha keluar dari pelukannya. Waktunya habis. Diraihnya jubah tidur untuk menutupi tubuhnya. Tak mau repot mengunakan pakaian dalaman. Ia keluar mendapati Jordan bersandar di dinding lorong kamar.
"Apa dia puas?" tanyanya menyapu pelan anak rambut Gladys basah karena keringat. "Aku harap" jawab Gladys tak nyakin bagaimana menjawabnya. Jordan mendekat di telinga Gladys. "Tugasmu mudah, buat dia tergila-gila padamu dan menyetujui aku menikahi anaknya. Hutangmu lunas. Kamu percaya aku bisa membuatmu lebih parah dari ini kondisinya" bisiknya sedikit mengancam.
Gladys menganguk mengerti. Jordan berbalik dan tertawa terbahak-bahak bahagia. Semua sesuai dengan rencananya. Tinggal selangkah lagi, menemui nyonya besar kedua.
Wajah pucat Gladys berjalan menuju arah yang berbeda dari Jordan. Ia menyesal dulu terlalu meremehkan Jordan. Kini, ia hanya budak seks bagi kliennya. Hutang menumpuk setinggi gunung. Didalam kamar pegawai, ia masuk kedalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya sebelum pulang.
Suara-suara berisik diluar membuatnya buru-buru keluar dari kamar mandi. Ia tak mau di bully jika terlalu lama mengunakan kamar mandi. Tangannya meraih pakaiannya untuk dipakai cepat.
"Gladys" Ia menengok kearah suara yang memanggil namanya. "Ada apa" kata Gladys lirih mengambil tas mungil didalam loker. "Siapa yang kamu layani?" tanyanya, tangannya berada di tekuk di depan. Matanya tajam menguliti. "Tuan Exsclamente" jawabnya takut-takut. "Ah, tak apa. Aku kira tuan besar. Jika dia datang, tukar shift, jangan lupa itu!" ancamnya menuding ke arah dada Gladys. Kuku jarinya sangat tajam, Gladys nyakin jika tergores sedikit saja, semua badannya bisa hancur tak berbentuk. "Ya. Aku pasti berikan" ujarnya menggeser ke samping sehingga kuku jari itu sedikit jauh darinya.
"Bagus! pulanglah" Wanita di depannya berbalik meninggalkan Gladys seorang diri. Helaan nafas lega tak sengaja dikeluarkan, untung tak ada yang menyadari. Berlama-lama disini hanya akan bikin ia terlibat masalah. Kakinya melangkah keluar menuju pintu pegawai.
Sambutan hangat dari matahari menyapanya termasuk sebuah senyuman lebar dihadapannya. Gladys bengong melihatnya. "Aku benci bercinta tanpa tahu siapa yang aku tiduri. Kini, aku mengerti alasannya. Nah, karena ini berada diluar jam kerja, biarkan aku mengantarmu" ujar Exsclamente tak membiarkan Gladys bereaksi mengelak atau menghindari. Tangannya cepat mengandeng Gladys mengarah ke mobilnya. Mau tak mau Gladys mengikuti. Exsclamente tersenyum-senyum, ia mendengar apa yang terjadi dibalik pintu. Hatinya benar-benar tergugah untuk melindungi. Tak ada salahnya ia mengikuti kata hatinya sekali ini. Tak ada yang dirugikan juga.