Suasana tenang dan damai di hotel sedikit berubah saat Morgan dan tuan besar datang tanpa basa-basi memasuki lobi hotel. Terlebih mereka berdua membawa serta anak buah untuk berjaga. "Periksa sekitarnya dan pastikan tutup jalan keluar sekecil apapun itu tapi jangan bikin orang takut. Aku tak mau kehilangan nyonya besar dan nyonya muda! lakukan dengan baik" perintah tuan besar kepada salah satu anak buahnya. Anggukan kepala diterimanya sebagai tanda mengerti. Anak buah tuan besar dan Morgan yang dibawa berjumlah 30 orang segera menempati posisi masing-masing. Tuan besar menarik nafasnya sambil memperhatikan sekitarnya.
"Mau pesan kamar?" tanya customer servis sedikit bingung sekaligus panik. Ada apa ini sebenarnya, orang kaya mana atau pejabat mana yang muncul di tempatnya bekerja. Morgan tersenyum, sedikit menyebarkan pesonanya dengan harapan tindakan tuan besar tidak menyebabkan kehebohan yang tidak diperlukan. "Tidak. Istriku sedang marah dan menginap disini. Apakah bisa dipanggilkan? aku tak bisa menghubungi ponselnya" jawab Morgan dengan sinar mata terang memberikan efek dasyat ketampanannya. Tuan besar mendengus dingin. Ia heran darimana sikap menjijikkan yang keluar dari Morgan, perasaan dirinya tak seperti itu. Tetapi kalau dipikirkan lagi, ia merasa dulu dia mungkin seperti itu, terselip rasa bangga dalam hati.
"Nama Pak?" tanya customer servis. Sikap yang biasa dan gemetaran berubah menjadi sedikit genit. Aroma parfum tajam menerpa hidung Morgan nyaris membuatnya muntah. "Shizuru atau Lena" jawabnya tetap berusaha menampilkan kadar ketampanan 180°. Tangan lincah customer servis mengetik dan mencari. "Nyonya shizuru ada di kamar 202. Nona Lena ada di 203 tapi saat ini berada diluar berdasarkan data di komputer kami"
Morgan mendesah kecewa. "Tapi bapak bisa menunggu di kamarnya jika mau. Memang tak dibenarkan." kata customer servis memberikan solusi, ia berharap mendapatkan uang tambahan dari memberikan informasi dan jalan keluarnya. Alis Morgan bertautan begitu mendengar penyelesaian yang mudah. "Baiklah. Antar kami ke kamarnya" ucap tuan besar cepat sebelum ada perubahan pikiran yang muncul. "Ayah!" protes Morgan tak setuju. Ia nyakin keduanya akan mendapatkan masalah lebih besar jika Shizuru ataupun Lena tahu. Namun, tuan besar tak mendengarkan kalimat protes yang diberikan Morgan malah menarik sejumlah uang dari dompetnya dan meletakkan di hadapan customer servis. Mata customer servis berseri-seri melihat itu. Tangannya cepat meraihnya dan menyimpannya di saku celananya. "Mari ikut saya" ajak customer servis sambil mengambil kunci cadangan di laci bawah khusus pegawai.
Customer servis menekan tombol lift. "Ayah tak sabar. Kamu tunggu saja disini jika memang mau tapi ayah tidak. Ibumu bukan tipe yang mau mendengarkan ayah" kata tuan besar melangkah masuk kedalam pintu lift yang terbuka, di dalamnya customer servis sudah menunggu. Walaupun begitu Morgan tetap ikut masuk.
ting...
Pintu lift terbuka di lantai kamar Shizuru maupun Lena. "Berikan kuncinya pada kami, kamu boleh lanjutkan pekerjaanmu" Tangan tuan besar terulur meminta kunci, tak ingin tapi terpaksa diberikan. Morgan diam membisu tak tertarik untuk terlibat, ia melangkah keluar diikuti tuan besar. Pintu lift tertutup, tuan besar berjalan menuju kamar Lena.
klik...
"Ini kunci kamar Shizuru. Ayah masuk dulu, dari kemarin tak istirahat" ucap tuan besar santai masuk. Morgan menghela nafasnya berusaha tenang dan tak tergoda untuk melanggar privasi Shizuru depan pintu kamar Shizuru.
Menunggu merupakan pekerjaan yang melelahkan. Kalau dipikirkan lagi, banyak cara untuk mengisi waktu menunggu tapi ujungnya tetap terasa lama. Tetapi, menunggu adalah suatu cara untuk mengenal seseorang lebih dari segala yang diketahuinya.
Tuan besar mondar-mandir di kamar Lena. Barang-barang Lena tertata rapi di atas meja. Diperhatikan tak banyak yang dibawa oleh Lena tapi ia tertarik dengan sebuah buku di atas koper. Tangannya mengambil dan membukanya. Wajahnya berubah-ubah antara tak percaya dan bahagia. "Ini..." Kepalanya seperti mau pecah. Tuan besar duduk di atas ranjang untuk membacanya. Matanya syok melihat selembar foto usang di dalam selipan. Foto lama yang diambil beberapa tahun lalu pada saat acara ulangtahun Shizuru. Ia tak ingat kelinci putih ada di ruang yang sama dengannya. Foto dirinya berdiri memegang gelas wine di pinggir jendela. Ia ingat hari itu, nyonya besar kedua mendadak datang dan membuat kehebohan. Namun, ia tak tahu kelinci putih ada.
kring....
Layar ponselnya memberitahu jika Exsclamente menelpon, tuan besar acuh tak acuh. Ia kesal terhadap Exsclamente berubah menjadi orang tuanya. Dilemparnya ponselnya diatas ranjang, buku dikembalikan ke tempat semula. Kepalanya mulai merancang banyak hal, membuang-buang waktu bukanlah tipenya. Mungkin ia terlalu lunak kepada kelinci putih, kali ini ia akan membuatnya mengerti jika tuan besar berkehendak maka tak seorangpun bisa lepas dari tangannya.
Sementara itu, Morgan berjalan mondar-mandir gelisah di lorong kamar hotel. Tak ada tanda-tanda Shizuru akan kembali dalam waktu dekat. Terlalu lama, ia melangkah menuju lift, ia berfikir akan kembali lagi esok harinya. Morgan memang tak terlalu mencintai Shizuru tapi tak mau juga merusak privasi seseorang jadi menunda kali ini bagian penting untuk menghormatinya. Lift membawa Morgan kembali ke lobi. Tanpa kata-kata, ia mengembalikan kunci cadangan kamar hotel Shizuru. Salah satu anak buahnya sigap membawakan mobil dari tempat parkir hotel menuju depan lobi hotel setelah Morgan memberikan kunci mobilnya. "Jaga baik-baik tuan dan dua nyonya disini. Jika ada masalah beritahu aku segera" perintahnya sambil masuk kedalam mobil sebelum pergi. Instingnya mengatakan untuk segera pergi meninggalkan tempat ini menuju tempat yang mungkin disukai Shizuru. Dalam laporan Baldi belum lama ini, dikatakan Shizuru sangat menyukai alun-alun Jogja.
Malam di jogjakarta sama seperti malam di kota lain. Perlahan keramaian berubah menjadi sunyi. Jalanan di Malioboro yang semula ramai berubah tanpa ada kegiatan apapun. Mobil Morgan berhenti di alun-alun. Ia tahu tak boleh parkir disini tapi penat di hatinya membuat ia terpaksa berhenti untuk sejenak keluar dari mobilnya. Tersenyum sinis dengan kota ini. Tampaknya nyonya muda sangat menyukai alun-alun terbukti ia menemukan Shizuru berdiri disini seorang diri. Tak sangka nasib baik bertemu.
Kakinya melangkah mendekati. "Apa yang kamu lakukan disini? Tak tahukah keluar malam bisa membuatmu sakit?" tegur halusnya. Shizuru menoleh dan terkejut setengah mati. "Ka--mu!" teriaknya tertahan. Morgan memiringkan kepala melihat penampilan Shizuru yang sederhana tapi anggun. Sangat cantik. "Apa kamu menunggu aku disini?" tanyanya lagi. Shizuru diam melihatnya tak bergeming atau berkata. Resah, Morgan melepaskan jaketnya kemudian mengikis jarak diantara mereka berdua, jaket diletakkan di bahu Shizuru. "Aku tak mau kamu sakit juga anak kita. Apa kamu merindukan aku?" tanyanya pelan. Tangannya bergerak menarik tubuh kaku Shizuru kedalam pelukannya. Ia tak salah mengikuti instingnya untuk mengarahkan mobilnya di sekitaran alun-alun.
Air mata Shizuru merebak. Ia tak tahu bagaimana, kapan dan apa yang harus dilakukan untuk menjauhi Morgan. "Aku tahu kita tidak saling mengenal dengan baik satu sama lain. Kita juga belum mendapatkan arti cinta yang sesungguhnya tapi beri aku kesempatan untuk anak kita. Bagaimana? aku akan menunggumu hingga kamu siap menerima aku" bisiknya memeluk erat. Morgan membiarkan Shizuru menangis, entah apa yang terjadi dengannya tapi terasa pas dengan kondisi hari ini.
"Benarkah" Shizuru berusaha keras menghentikan tangisnya tapi tak bisa. Mungkin karena pengaruh hormon ibu hamil. "Ya, aku akan menunggumu" ucapnya melonggarkan sedikit pelukannya hanya untuk melihat wajah Shizuru. Shizuru menengadah tak percaya kearahnya.
"Apapun itu demi anak kita dan kamu terutama"
Bibir Morgan menutup bibir Shizuru lembut. Ciuman lembut diberikan untuk menutupi kegundahan hati keduanya yang tak siap menyongsong masa depan.
Jogja menjadi tempat menyerahnya Shizuru dengan semua yang terjadi dalam hidupnya dan Morgan mencatat dalam hatinya untuk memulai segalanya dengan benar. Angin malam saksi bisu dari ketenangan hati ini demikian juga langit.