Exsclamente menatap sahabatnya dengan pandangan mata, apa kamu sudah gila. Tuan besar mengaruk rambutnya dengan tanpa daya. "Ayolah, sekali ini saja" pintanya tak tahu malu. Morgan berpura-pura tak tau malah sibuk mengulirkan layar ponselnya. Pekerjaannya sangat banyak sejak kepergiannya. Tapi, ia tak khawatir ada Baldi yang mengatur semuanya di Jakarta. Ia hendak meninjau proyek di sini dengan harapan mengusir kegelisahan hatinya yang tak juga mendapat sinyal hijau dari Shizuru untuk mendekat, kalau dipikirkan tak adil, ia adalah bapak dari anak yang dikandung Shizuru. Mengapa hanya anaknya saja yang diperhatikan sedang dirinya tidak. Ia menjadi cemburu kalau sudah begini. Nanti kalau anak itu lahir, ia akan pastikan tidak boleh terlalu dekat dengan Shizuru.
"Pernikahan di Indonesia membutuhkan wali. Kamu tahu itu, bagian mana yang tak kamu tahu. Kamu sudah lupa cara menikah atau pura-pura bego" ucapnya kesal membanting dokumen ditangannya. Tuan besar menengadahkan kepalanya di bantalan sofa. Ia tahu itu tapi mengetahui menantunya bisa dengan mudah membawa Lena pergi dari mansion miliknya di Paris, itu berarti bisa memberikan ide kreatif di kepala Lena cepat atau lambat. "Aku takut Shizuru akan merecoki kepala Lena dengan ide-ide gilanya".
Exsclamente dan Morgan bereaksi bersamaan, "Hei...!" Tatapan tak bersalah dan berdaya di keluarkan tuan besar hanya ingin buat jengkel setengah mati di hati Exsclamente dan Morgan. Benar-benar ABG tua, labil, tak tahu malu (kira-kira begitu umpatan Exsclamente dan Morgan).
"Bujuk saja anak itu. Lena anak baik-baik. Jangan perlakukan dia seperti sampah" peringatan Exsclamente pelan dengan tekanan kuat. Tuan besar mengelengkan kepalanya dengan pasrah. "Justru itu. Aku takut kehilangannya" bantah tuan besar bersiap merengek-rengek kepada sahabatnya sebagai walinya. "Kalian harus membantuku" pintanya cepat merubah posisinya.
Morgan terhenti mengetik pesan saat mendengar kalimat itu. Exsclamente memijit pelipisnya yang mulai sakit. Sumpah serapah nyaris keluar jika tak diingatnya kalimat anak durhaka.
"Bagaimana denganku? ayah lupa sebentar lagi mau memiliki cucu" keluh Morgan tak setuju. "Harusnya kalian yang membantuku, bukannya mengurus hal tak penting" cetusnya dengan geram. "Dasar anak tak berguna. Berapa kali harus aku katakan, Lena ibumu. Tanpa dia, mana boleh kamu menikah" tolak tuan besar mentah-mentah. Morgan melotot tak terima. "Ayah ini bagaimana. Jelas-jelas aku lebih membutuhkan bantuan, aku tak mau anakku menyandang gelar anak haram atau diluar nikah" keluhnya lagi.
Tuan besar mendelik kesal kearah anaknya Morgan dengan perkataan bikin mencekiknya. Bisakah mengalah sedikit saja. Ini demi masa depan bersama juga.
"Morgan. Kasihanilah ayahmu ini. Bertahun-tahun hidup seorang diri tak punya istri. Kamu tak ingin melihat ayahmu ini di hati tua memiliki seseorang yang mengurusnya" bentak kesal tuan besar. Mendengar itu, ingin rasanya Morgan memukul kepala ayahnya. Lalu, bagaimana nasibnya nyonya besar kedua yang ada di Jakarta. "Kamu pikir salah siapa ini. Ada daging dirumah kondisi kadaluwarsa tapi malah cari yang original di luaran, mana bisa begitu" sindirnya.
Tak dapat menahan ketawa lebih lama lagi, Exsclamente tertawa hingga nyaris air matanya keluar. Dari sekian lama ia mengenal tuan besar sahabatnya, baru kali ini ia melihat tuan besar seperti ABG labil. Bahkan, ibu Morgan kalah dengan Lena yang memang dari segi manapun tampak lemah lembut dan keibuan.
Ibu Morgan termasuk wanita mandiri dan super hingga tak butuh bantuan dari siapapun walaupun ajal menjemputnya dengan cepat. Dihari kematiannya saja, tak ada yang boleh mengetahui rasa sakitnya kecuali dia minta. Exsclamente pernah memergokinya ketika rasa sakit itu datang di depan matanya tanpa sengaja di ruang pribadi. Tapi malah dibuat untuk berjanji menjaga tuan besar apapun yang terjadi jangan biarkan kesusahan. Sungguh cinta yang besar dan tak mengenal batasan sedangkan tuan besar malah asyik dalam dunianya sendiri. Egois tapi nyata. Tuan besar bukan tak tahu kesakitan ibu Morgan tapi ia lebih memilih berduka dengan caranya sendiri. Laki-laki keluarga Zai tak pantas meneteskan air mata bagai perempuan. Karena itulah, ia bertekad menjaga amanat wasiat istrinya dengan baik dengan cara yang lebih baik sebagai penebusan dosa selama ini kepada nyonya besar pertama.
"Apa mereka berdua tahu kami sudah berada di jogjakarta?" tanya tuan besar lesu. "Aku rasa tidak. Sekarang Shizuru sedang jalan-jalan. Dua hari ini, Shizuru seperti orang berlibur" jawab Exsclamente tenang mulai mengambil dokumen yang dilemparkan tadi. Morgan menoleh dengan tatapan tajam. "Apa maksud ayah mertua? dengan siapa tadi?" tanya Morgan bangkit berdiri cepat. "Jose. Kenapa? Mereka masih muda, biarkan saja" jawabnya santai bahkan tidak melirik sedikitpun. "Ayah, aku pergi ke tempat Shizuru sekarang. Mana boleh mengandung anakku tapi bersenang-senang dengan laki-laki lain" katanya kesal. Tuan besar cepat berdiri mengikuti jejak Morgan yang sudah lebih dulu pergi meninggalkan. "Kau.... hei, kalian gila!" cetus Exsclamente tak selesai karena tak satupun ada yang menyahut.
Exsclamente memijit pelipisnya lagi. Ia lupa bilang jika Jose lah yang menempel erat bagai kulit kedua di Lena. Publik bakal terguncang. Tak baik untuk pergerakan saham keluarganya dan keluarga Zai. Perubahan tuan besar menyulitkan sebagian pihak jika diteruskan.
drt.... drt.... suara ponselnya menganggu. Dilihatnya dan terdiam. Layar ponselnya menampilkan nama Gladys. Tadi pagi setelah mengantarkan ia memang memberikan nomornya jika terjadi sesuatu. Keningnya mengerut tak mengerti tapi ia acuhkan. Urusan percintaan miliknya bisa dilakukan nanti, ada yang lebih penting diurus.
Exsclamente bangkit dari duduknya, namun ponselnya terus bergetar tanpa henti. Mau tak mau, ia mengangkat. "Apa?" tanyanya tenang, dilihatnya bagian bawah, menggeliat bagai cacing kepanasan. Sumpah serapah diucapkan dalam hati. Mendengar suara Gladys, dirinya malah jadi ABG labil. "Aku akan menghubungi tapi bisakah kamu berbicara sendiri sebentar dulu, aku ke kamarku dulu" ucapnya sambil berjalan cepat menuju kamar mandi di ruang kerja. Ada rasa tak tahan yang harus dikerjakan. Pintu dikunci, cepat dikeluarkan semuanya. Exsclamente mengerutkan keningnya, dari ABG labil berubah menjadi orang tua mesum. Nafasnya terengah-engah, di ujung sana Gladys kebingungan sedari tadi berbicara, tak satupun Exsclamente menimpali. Kesal dimatikan ponselnya.
"Bagaimana Gladys?" tanya Jordan mendekat. Kalau boleh jujur, Gladys tak mau menarik Exsclamente ke dalam permainan Jordan. Ia harus mencari cara untuk menjauhkannya. "Dia tidak banyak bicara. Mungkin kaget aku menelponnya tanpa sebab" jawab Gladys enggan. Jordan memicingkan matanya, ia mencium gelagat tak menyenangkan dari Gladys. "Ingat hutangmu. Jika ingin lunas, lakukan apa yang aku inginkan" kata Jordan berjalan pergi, ia berubah pikiran untuk mendekat. Sepeninggal Jordan, Gladys merosot di lantai. Ia tak mengira kedatangan Jordan ke rumahnya mendadak. Kakinya lemas. Ia takut Jordan akan berbuat macam-macam, ibunya diam membisu di kursi roda.
Sejak kebangkrutan dan kepergian ayahnya yang tidak tahu dimana, ibunya kena stroke, untung masih bisa diselamatkan. Air matanya menetes membasahi pipinya, ia menyesal.