Rumah nyonya besar kedua akhirnya tampak depan mata. Perasaan khawatir sedari tadi dari Jakarta. Berkali-kali menelpon handphone ayahnya tak diangkat membuat tak henti berfikir sepanjang jalan. Kecepatan mobilnya diatas rata-rata, tetap saja sampai disini menjelang sore. Rumah ini terlalu sepi. Ia bergerak menuju pintu kecil yang terletak di sebelah kiri. Javi tahu rumah ini selalu sepi tapi tidak begini biasanya.
tok....tok....
Javi menunggu seseorang membukakan pintu tapi hingga dua puluh menit tak juga ada tanda-tanda dibuka. Ia menelpon ulang ayahnya. Bergerak kesana-kemari untuk mengusir perasaan resah di hatinya. Jika sampai nyonya besar kedua terlibat karena orang ketiga, tamat riwayatnya. Tambang emas seharusnya tidak memberontak.
klik....
Javi menoleh melihat pembantu wanita yang biasa mengurus rumah. "Dimana ayahku?" tanya Javi cepat menyambar daun pintu yang hendak ditutup. Pembantu wanita gelagapan mendengar pertanyaan dan cengkeraman kuat ditangannya. "Katakan!" bentaknya tak sabar karena tak juga mendapatkan sautan. "Itu.... itu pindah kemarin" jawabnya bingung. Bagaimanapun ia tak tahu apa-apa. Alis Javi nyaris bertautan. "Pindah? Kemana? Siapa yang menyuruhnya pindah?" tanya Javi ikut bingung. Dilihat sekilas dari luar tak ada tanda-tanda ayahnya ada bahkan rumah kecil dekat pintu berubah menjadi taman. Sejak kapan ada taman. Mata Javi menelusuri cepat semua perubahan yang terjadi pada rumah nyonya besar kedua.
Terakhir kali menengok sebelum ke Belanda. Tak ada tanda-tanda akan pindah. "Itu nyonya besar kedua yang minta. Pindahnya tidak tahu kemana" jawabnya pelan ketika tangan Javi berangsur-angsur melepas cengkeramannya. "Nyonya besar kedua? bagaimana bisa, dia lakukan ini" tanyanya bingung. Selama di Belanda, ia sibuk mencari kelinci putih karena tak ada ia buru-buru pulang ke Indonesia supaya nyonya besar kedua tak curiga jadi bisa membatalkan rencana ke Belanda. Apa yang terjadi. "Benar kamu tidak tahu?" tanya Javi sekali lagi mulai frustasi mau mencari kemana. Orangtuanya sudah tua. Ibunya terkena stroke sejak lama, tak mungkin pindah begitu saja tanpa memberikan kabar. "Apa ayahku masih bekerja disini?" tanyanya lagi ingin memastikan kelangsungan hidup ayahnya. "Tidak" jawabnya takut.
Mendengar itu, Javi bertambah kalut. Sebenarnya apa yang dilewatkannya hingga kejadian orangtuanya diminta pindah ia tak tahu. Wajahnya mengelap seketika menahan marah. "Apakah saat kejadian ada pria lain dirumah ini?" tanyanya sedikit menaikan suaranya. "Iya" jawabnya mulai gemetaran. Perubahan wajah Javi dan tangan yang mengepalkan di sisi kanan bikin takut. "Apa kamu tahu siapa?" tanya Javi melihatnya tajam. "Tidak... saya tidak tahu" jawabnya panik. Javi mencoba sekali lagi menelpon ayahnya. Wajahnya mengeras tak terima. Pelayan buru-buru kabur masuk kedalam rumah. Ia benar-benar tak mau menjadi sasaran amukan Javi yang terkadang nyeleneh. Javi mendengus saat menyadari pelayan itu, tak lagi disampingnya. Awas saja kalau ketemu lagi, ia akan jadikan budak seks ramai-ramai.
Ia berjalan tak tentu arah bermaksud mencari tahu melalui orang sekitar rumah nyonya besar kedua. Walaupun mustahil karena nyonya besar kedua sangatlah tertutup dengan penduduk sekitar rumahnya. Terlebih jarak antara rumah penduduk dengan rumah nyonya besar kedua sangatlah jauh.
Dulu, Javi pernah bertanya mengapa memilih rumah yang jauh dari rumah penduduk. Saat itu tak pernah terpikirkan ketika santai dijawab, jika mereka berpisah, berarti ada jarak yang sulit untuk di gapai. Apakah ini artinya isyarat jika sekarang mereka berdua sudah berpisah. Siapa yang memutuskan dan diputuskan. Tangannya terkepal erat, ia tak terima jika itu benar.
Kakinya terus berjalan hingga melihat warung di pinggir jalan. Matanya kaget melihat orang yang dikenalnya. Cepat-cepat ia menghampiri dan menarik lengannya. "Ayah" panggilnya pelan. Ayahnya alias penjaga rumah terkejut melihat Javi, putra kebanggaan dan kesayangannya ada di hadapannya. Rasa haru memenuhi dirinya dengan memeluk Javi. Air mata dihapusnya dari wajah tua ayahnya. "Sebenarnya apa yang terjadi, ayah? mengapa tinggal disini? dimana ibu?" tanyanya bertubi-tubi dengan wajah bingung. Ayahnya menuntun Javi ke arah kamar di dalam rumah. Hatinya miris melihat kondisi rumah yang tak layak huni.
Ibunya terbaring di atas kasur tipis diatas lantai beralaskan tikar. Javi duduk dilantai. "Ibu kenapa ayah?" tanyanya. "Penyakitnya bertambah parah. Maaf Javi, uang ayah habis untuk pengobatan ibumu. Uang tunjangan yang diberikan nyonya juga sudah habis" jawabnya lirih ikut duduk disampingnya. Javi terkejut mendengarnya. "Ayah, dia tak mungkin melakukan hal ini" elak Javi tak percaya.
Penjaga rumah alias ayahnya mengelengkan kepala. Tak ada satupun wanita yang bertahan hanya karena cinta tak pasti dan anaknya telah mempermainkan sejak lama, bukankah ia juga sudah ikut menyetujui perbuatan anaknya jika demikian ia tidak boleh marah karena hal ini.
"Anak bodoh. Kamu pikir berapa lama dia bertahan tanpa kamu nikahi. Menjadi budak untuk dijadikan pemuas nafsu dan mengeruk kekayaan orang lain. Javi, sadarlah nak".
Javi terdiam. Ia bukan tak mau menikahi nyonya besar kedua tapi siapa juga mau menikah dengan wanita sudah dipakai banyak orang walaupun sebenarnya atas suruhannya.
Penjaga rumah alias ayahnya menepuk-nepuk punggung Javi pelan. "Bagaimana kabar cucuku Lena?" tanyanya. Ia sangat merindukan cucunya. Lama tak berjumpa, sekali berjumpa malah dibuat kesal oleh nyonya besar kedua dan Javi sehingga tak mau menapakkan kaki di rumah nyonya besar kedua. "Hilang. Aku sudah mencari kemana-mana tapi aku tak menemukannya. Apa yang harus kita lakukan, ayah. Aku belum bilang dia?" tanyanya bertambah bingung.
Gelengan kepala yang diberikan ayahnya membuat ia bersalah. "Ini cobaan nak. Bertobatlah sebelum semua diambil dari tanganmu. Cucuku pasti baik-baik saja" jawabnya menenangkan. Biar sulit, ia nyakin cucunya punya alasan tersendiri mengapa menjauh dari kedua orangtuanya.
"Aku-- apa yang harus kukatakan padanya. Lihat kondisi ayah dan ibu, tak lagi dirumah itu. Haduh, bagaimana ini" keluhnya. Javi tak menyukai tambang emasnya mulai berulah. Ia terlalu terlena dan percaya jika nyonya besar kedua tak akan bertindak macam-macam diluar dirinya saat ia pergi ke Belanda menyusul kelinci putih. Siapa sangka dalam sekejap terjadi perubahan.
Dirogohnya uang di dompet lalu diberikan kepada ayahnya sejumlah uang lembaran merah dan kartu di atas tempat tidur. "Ini uang tak banyak. Ini kartu ATM pin 6666. Aku akan mencari tahu, apa yang sebenarnya terjadi dengan nyonya besar kedua" ucapnya bangkit berdiri. Tangan tua sigap menariknya untuk duduk kembali. Namun, tarikan tak cukup kuat. "Disinilah dulu. Temani kami. Umur kami tak panjang. Sewaktu-waktu bisa dipanggil, kamu tak ingin ada penyesalan bukan? atau kami ternyata hanyalah beban untukmu sehingga tak layak mendapatkan perhatian kecil" ujarnya dengan nada suara sedikit keras. Javi tersentak mendengar kalimat ayahnya hingga jatuh terduduk dilantai lagi. Lemas dan tak berdaya.
Tak ada lagi suara yang dikeluarkan. Mereka berdua duduk merenung ke arah ibu Javi. Matanya tertutup rapat. Nafasnya naik turun. Rambutnya putih semua bahkan nyaris sebagian hilang. Tulangnya kering dan kurus. Helaan nafas sama-sama terdengar. Untuk sementara ini Javi akan membenarkan dulu kondisi ayahnya baru buat perhitungan orang yang telah memberikan ide mengusir ayahnya.