Iren sedang membersihkan sepatunya di sumber air dekat pantai pulau. Tanpa sadar, seorang lelaki mendekati Iren dan berdiri di sampingnya.
"Hei!" Sapa lelaki itu.
Iren agak takut serta terkejut karena mengetahui yang menyapanya adalah lelaki, sejauh ini Iren hanya bersosialisasi kepada ibu-ibu suku yang baik kepadanya.
"I-iya, hai" Balas Iren menunduk, ia sedikit takut.
"Aku max" Lanjut lelaki itu.
"Aku Iren" Balas Iren mengulurkan tangannya.
Terlihat lelaki itu memiringkan kepalanya dan menatap bingung tangan Iren.
Iren lupa kalau dirinya ada dalam suku pedalaman, mana mungkin Max akan tau kalau Iren mengajaknya bersalaman.
"Oh maaf maaf, aku tidak mengira kalau kamu tidak tau" Lanjut Iren menarik tangannya kembali.
"Memangnya itu apa?" Tanya Max, ternyata Max bukan orang berbahaya seperti yang dikira Iren.
"Hahahaha" Iren tertawa kecil melihat perilaku Max yang seperti anak kecil.
"Itu nama nya bersalaman, orang di kota biasa melakukan itu saat mereka berkenalan ataupun menyetujui sesuatu." Jelas Iren, ia kembali membersihkan sepatunya.
"Oooh, berarti kita harus bersalaman, tapi bersalaman itu seperti ini?" Max mengangguk lalu mengulurkan tangannya seperti yang dilakukan Iren tadi.
"Lebih tepatnya seperti ini" Iren menerima tangan Max dan kini mereka bersalaman seperti biasanya.
Iren melihat Max sedikit tersenyum melihat tangannya disatukan dengan Iren seperti itu.
"Kamu seperti anak kecil ya, sangat polos" Iren terkekeh pelan dibalas tatapan bingung oleh Max.
"Aku sudah dewasa" Pinta Max membuat Iren kembali tertawa.
"Memangnya usia mu berapa?" Tanya Iren sambil menyikat sepatunya menggunakan kain bandana yang dipakainya.
"Usia itu apa?" Tanya Max lagi membuat Iren kembali tertawa.
"Mmm bagaimana menjelaskannya ya, dulu saat kamu lahir sampai sekarang sudah beberapa tahun?" Iren mencoba-coba membuat katanya lebih sederhana.
"20 tahun mungkin? Aku diam-diam menghitungnya, orangtua ku tidak mungkin tahu" Jawab Max membuat Iren lagi-lagi tersenyum, ia benar-benar seperti sedang bicara dengan anak kecil.
"Waw berarti kita sama"
Max tak menjawab dan hanya memperhatikan yang dilakukan oleh Iren, dirinya mendalami tatapannya hingga membuat Iren agak tak nyaman.
Max terus mendekat membuat Iren takut sekarang, Max tidak memakai atasan, ia hanya menggunakan celana berbahan kayu serat diatas lutut yang biasa suku primitif gunakan.
"Mmm max.." Iren memundurkan badannya, tadi ia menunduk karena sedang mencuci sepatu dan kini Iren berdiri menyetarakan dengan Max yang juga berdiri.
"Sebenarnya itu agak menggangguku" Tambah Iren.
"Itu apa?" Balas Max, sungguh Iren tak habis pikir. Padahal badan Max sudah besar dan seperti kebanyakan pria lain, tapi kenapa sifatnya seperti anak yang baru 3 tahun lahir. Iren ingin menegurnya, tapi Max mungkin tidak akan paham.
"Itu" Iren menunjuk tubuh Max.
"Memangnya ini kenapa?" Tanya Max lagi membuat Iren frustasi. Ia bingung harus bicara apa.
"Apa orang disini terbiasa memakai pakaian seperti itu?" Iren agak merinding saat berbicara, orang di suku ini hanya memakai pakaian berbahan kayu dan serat.
Iren memandangi orang dibelakangnya, mereka semua memakai pakaian serat kayu yang minim, bahkan ada yang tak berbalut satupun. Itu membuat dirinya bergidik ngeri.
"Tentu, kita semua nyaman memakai ini" Jawab Max membuat Iren menggaruk rambutnya yang tak gatal.
Apa itu yang mereka bilang nyaman? Disini bahkan tak ada AC ataupun kipas angin, bagaimana bisa, apa mereka tidak takut digigit nyamuk atau serangga lainnya? Dan apa mereka tidak terinfeksi cuaca?
Oke, Iren menyerah, ia memilih untuk tidak memperdulikan dan mencoba kembali sibuk dengan kegiatannya. Tapi tidak bisa, perhatiannya teralihkan kepada Max yang berdiri disampingnya. Rasanya Iren harus langsung kabur, tapi bagaimana dengan sepatunya?
"Lalu kenapa kamu terus disini, Max?" Tanya Iren yang hanya dibalas tatapan oleh Max.
Iren menoleh, ia melihat otot Max yang terbuka seperti itu membuat Iren meneguk ludahnya.
"Apa kamu juga memakai pakaian itu setiap hari tanpa ganti?" Tanya Iren.
"Tentunya ganti, kami memiliki persediaan yang banyak." Balas Max.
Iren saat terbangun dari tidurnya, ia diberikan selimut kulit yang tebal, yang membuat Iren kebingungan adalah, kenapa harus dijadikan selimut dan bukannya pakaian yang layak pakai.
"Hei max! Bantu aku menyelesaikan ini,!" Teriak seseorang dari belakang mereka terlihat kesusahan membawa beberapa kayu.
"Oh, Iya!" Balas Max ikut berteriak, "Selamat tinggal, Iren"
Iren mengangguk lalu mengambil nafas lega, hufftt untung lelaki itu buru-buru pergi, bisa pingsan Iren melihat pemandangan seperti itu.
-- Prime Iren --
Iren sekarang sedang berada di area memasak para ibu-ibu dan juga gadis-gadis, dirinya diminta Ponda untuk menumbuk cabai. Walaupun Iren agak takut karena pedasnya cabai ketika tiba-tiba mencripat ke matanya.
"Ponda! Ini sudah selesai" pinta Iren ketika cabai nya sudah halus merata.
Iren menyendok cabai dari tempat tumbukan ke piring anyaman yang sudah diberi tatakan daun pisang.
"Taruh dimeja saja, Iren" Sahut Ponda.
Ponda adalah seorang yang mengadopsi Iren, lima hari terakhir saat Iren jatuh dari helikopter, para orang suku berseteru untuk apa Iren akan dilakukan.
Dan ketika Iren terbangun, dirinya sudah berada di sebuah gubuk dengan selimut kulit yang melindungi dirinya, Ponda bilang kalau Iren pingsan selama dua hari berturut-turut.
Iren bersyukur karena dia belum mati dan masih bisa menikmati udara di dunia. Saat pertama kali terbangun, seluruh ibu-ibu suku menunggu Iren diluar gubuknya, heran dan penasaran dengan apa yang dilakukan oleh Iren.
Ponda menahan pintu gubuk agar tidak terjadi kerusuhan dan tidak ada yang mencelakai Iren. Iren pun bingung kenapa Ponda tidak seperti orang suku yang lainnya. Wanita paruh baya itu malah baik hati dengan Iren.
"Terimakasih Iren, sekarang kamu bisa istirahat dulu hingga kakimu benar-benar sembuh" Lanjut Ponda diangguki dengan Iren.
Iren berjalan keluar dapur, ia melihat Max sudah menunggu dibalik pohon-pohon agar tidak ketahuan oleh ibu-ibu lainnya.
Iren memundurkan dirinya terkejut. "Kamu kenapa?" Ucapnya berbisik.
"Menunggumu" Balas Max tak masuk akal membuat Iren mengerutkan keningnya.
"Menungguku?.. kenapa?" Iren masih berbisik.
To Be Continued