"Max.." Ucap Iren membenarkan rambutnya yang berantakan.
"Iren?" Max mengedip-ngedipkan matanya tak percaya, apakah yang didepannya ini benar Iren?
"Sangat Keren" lirih Max, ia terkejut dengan Iren yang menjadi cantik seketika.
"Benarkah, apa tidak aneh?" Tanya Iren tersenyum bingung.
"Eum" Lirih Max lagi membuat Iren berlari kearah Max dan langsung memeluk lelaki itu tanpa sadar.
Iren tertawa kecil sambil menyatukan kedua tangannya dileher lelaki didepannya.
Max yang melihat itu pun ikut memeluk Iren, mereka berdua terkejut satu sama lain.
"Maaf" Iren mengelus tengkuknya.
"Tidak apa-apa" Balas Max.
Mereka berdua menjadi sangat canggung dan akhirnya memilih untuk duduk di pinggir pantai.
"Apakah ini pertama kalinya kamu dipeluk seseorang?" Iren mengawali pembicaraan, ia tak nyaman dengan suasana canggung.
Hari mulai petang, Iren menghela nafas panjang melihat matahari tenggelam yang sangat indah.
"Mmm tidak juga, tapi iya juga" Balas Max menjadi gagap tiba-tiba, "maksudku.. ini pertama kalinya aku dipeluk perempuan kecuali ibuku" Tambah Max menggaruk tengkuknya yang tak gatal, sedikit malu.
Iren terkekeh kecil, tapi ia berubah menjadi dingin. Dia tidak sadar kalau yang dipeluknya adalah max, max, seorang max.
"Aku.. mendadak rindu ibuku" Lirih Iren mengubah posisinya menjadi tiduran terlentang di pasir pantai dengan pakaian nya yang seperti itu.
Max menoleh sebentar, melihat Iren seperti itu ia juga sedikit iba. Max kini juga tiduran di sebelah Iren didepan hamparan laut lepas.
"Itu pasti sangat sulit" Max memandangi bintang yang sedikit sedikit mulai muncul.
"It's oke, ini bukan salahmu" Balas Iren ikut memandangi bintang.
"Apa kamu melihat itu Max?"
"Bintang?" Ulang Max.
"Kamu tau juga" Iren tersenyum kecil, "Setiap pola bintang memiliki makna" Lanjut Iren membuat Max yang disebelahnya menoleh.
"Darimana kamu tau?" Sahut Max membuat Iren agak tertohok karena posisi Max dan Iren adalah tertidur sebelahan, di pantai.
"Aku adalah calon jurnalis"
"Jurnalis itu apa?" Iren tertawa kecil lagi.
"Jurnalis itu peneliti, aku suka meneliti benda baru, hal baru, dan juga situasi yang baru" Jelas Iren tersenyum saat menjelaskan.
Max yang disebelahnya mengangguk paham.
"Aku ingin menjadi jurnalis Max" Tiba-tiba Iren terbawa suasana.
"Aku terjatuh dari helikopter kelompokku saat kami sedang menuju ke salah satu pulau untuk diteliti" Jelas Iren, ia sedikit meringis mengetahui kalau Lee yang melepas genggaman nya pada tangan Iren.
"Maaf" Ucap Max.
"Untuk apa?" Balas Iren masih memandangi langit.
"Maaf kan orang-orang kami"
"Kenapa kamu minta maaf, aku bisa mengerti kenapa kalian seperti ini. tenang saja Max, Aku tidak marah padamu" Jelas Iren, ia menahan tangisan saat ini. Meskipun sangat sulit keadaan nya, tapi ia tidak boleh membuat Max merasa bersalah.
"Maaf kan aku, Iren" Ulang Max.
"Tidak apa-apa, meskipun aku tidak merasa kamu bersalah aku sudah memaafkanmu Max, jangan seperti ini lagi" Jawab Iren, ia merasa bersalah karena menceritakan kejadian dirinya bisa seperti ini. Iren kini duduk diikuti Max yang juga duduk.
"Aku tahu ini berat untuk mu, Iren" Ucap Max tiba-tiba membuat Iren membulatkan matanya.
"Keluarkan saja tangisanmu, aku akan menunggumu" Lanjut Max membuat Iren berkaca-kaca.
"Tidak apa-apa, Iren, menangislah jika kau mau menangis" Max berbicara lagi, Kini Iren mengeluarkan air mata pertamanya didepan lelaki asing yang tiba-tiba baik kepadanya.
Iren menangis, ia tersedu-sedu didepan Max. Iren sudah tidak sanggup berpura-pura lagi, dirinya lelah harus menahan semua ini. Berkat Max Iren mampu mengeluarkan tangisan air matanya. Meskipun tangisan tidak menyelesaikan masalah, tapi mungkin dapat mengurangi penderitaan yang dialami Iren.
"Maafkan aku, hiks... Max hiks, aku tidak seharusnya menangis seperti ini, hiks..." Iren berbicara sambil menangis tersedu-sedu, ia tidak bisa berhenti dan malah semakin membara.
Sesekali Iren sesegukan dan membuat Max mengelus-elus punggung gadis disebelahnya itu.
"Tidak apa-apa, teruskan lah sampai kau lega" Max kini mendekati Iren dan menangkap gadis itu dalam pelukannya, meskipun Max juga agak tidak enak, tapi mungkin ini dapat memberi dukungan untuk Iren yang sedang terpuruk.
2 jam telah berlalu, tangisan Iren sudah mereda dan ia mendekati pantai untuk mencuci wajahnya yang sudah kacau karena menangis berjam-jam.
Max yang melihat itu mengikuti Iren dari belakang siapa tau ada orang jahat yang akan mencelakai gadis itu.
"Aku benar-benar minta maaf karena tidak punya malu, Max" Ucap Iren, mereka sudah kembali ke posisi mereka sebelumnya.
"Tidak apa-apa" Balas Max membuat Iren semakin tak enak.
Iren mengusap wajahnya beberapa kali, Max pun hanya memandangi Iren saja.
"Aku sangat jelek ya?" Tanya Iren malu.
"Tidak, sama saja, hanya sedikit membengkak" Jawab Max membuat Iren sangat sangat sangatlah malu.
"Apa tidak ada seseorang yang mencari mu Max?" Iren sedikit khawatir mengetahui sekarang sudah gelap dan seingat dia, Max adalah orang penting di suku ini.
"Tenang saja, meskipun orang tua ku adalah kepala suku, tapi mereka tidak memberi aturan macam-macam untukku." Jelas Max, ia kembali tiduran di pasir pantai.
"Tapi kau kan satu-satu nya penerus lelaki, apa kau bisa menjaga diri?" Tanya Iren lagi, ia sedikit gusar mengetahui Max adalah lelaki yang polos dalam kamus Iren.
"Aku bisa menjaga diriku, Iren, hobiku adalah berburu"
"Benarkah? Eyyyy kau pasti berbohong" sahut Iren tak percaya.
"Selama beberapa hari aku tinggal disini aku tidak pernah tuh melihat mu berkumpul dengan sekelompok pemburu suku ini"
"Memang, karena aku lebih suka sendiri" Balas Max membuat Iren tersenyum tak ikhlas.
"Terserah lah kalau begitu" Ucapan Iren membuat Max melirik malas dan dibalas oleh Iren yang tertawa menggelegar.
"Tidak dingin?" Tanya Iren mengganti topik pembicaraan.
"Tidak, aku sudah terbiasa" Balas Max membuat Iren sedikit iri.
Max menoleh kearah Iren, melihat gadis itu sudah sedikit mengantuk hingga menunduk nunduk dan hampir terjatuh tapi Max menangkap kepala Iren ketika hampir jatuh.
"E-eh, maaf" Ucap Iren setengah sadar, ia tetap mengantuk.
Max yang melihat itu tersenyum kecil, lucu melihat tingkah Iren hari ini.
Max melihat baju Iren lalu memakaikan baju itu untuk Iren karena ia tau mungkin karena masih pertama kali memakai baju berbahan kayu, Iren bisa saja terkena demam.
"Mau kembali?" Tawar Max, tapi sepertinya Iren masih tidak sadar.
Max tertawa kecil lagi melihat Iren. Dalam hati, Max ingin menggendong Iren namun ia tau kalau hal itu tidak begitu sopan.
Max memilih untuk membangunkan Iren dengan menepuk-nepuk pundak gadis itu.
To Be Continued