Chereads / PRIME IREN : Hilang / Chapter 9 - Bab. 9 -- Kerinduan

Chapter 9 - Bab. 9 -- Kerinduan

Setelah sekitar 15 menit, Max kembali membawa satu kelinci yang sudah dikuliti.

"Cepat sekali..?" Iren menaikan satu alisnya tak percaya sambil tersenyum.

Max menggaruk lehernya menggunakan tangan satunya yang tidak digunakan Max untuk membawa kelinci. "Pastilah" ucapnya.

"Kau pasti mengambil ini dari dapur kan..?" Iren bertanya untuk meluruskan kebenaran.

Max menyipitkan matanya, "Tidak, Iren" Balas Max.

"Intinya kalau kau berbohong aku tidak akan berbicara kepadamu lagi!" Pinta Iren, membuat Max mengatupkan bibirnya takut.

"Baiklah Iren... Aku memang mengambil dari dapur"

"Lalu.. kenapa kau harus berbohong huh?" Lanjut Iren masih menginterogasi Max.

"Karena kau kan tadi bilang kalau kejauhan mengambil didesa, untuk itu aku bilang kalau aku berburu, takut kamu marah" Max menjelaskan, ia beralih duduk disamping Iren, tadinya dirinya berdiri.

"Mmm..." Iren menatap Max serius, "Baiklah.. aku paham alasanmu itu" Lanjutnya membuat Max disampingnya seketika tersenyum lebar.

"Lalu akan diapakan kelinci ini?" Tanya Iren lagi.

"Panggang? Ayo kita panggang!" Max berubah exited sekarang.

"Oke, aku setuju!" Balas Iren mengangguk.

-- PRIME IREN --

Keadaan dirumah Iren masih sunyi dan semua orang dalam keadaan khawatir. Sudah sekitar tiga hari atau lebih anak dari pasangan Scott menghilang entah kemana.

Yerin, ibu Iren menangisi setiap malam nya karena kabar tak tentu dari satu-satunya anak perempuannya.

Adik Iren karena masih berusia 4 tahun belum tahu apa-apa mengenai ini, sedangkan Brian, suami Yerin juga harus begadang untuk menenangkan Yerin.

Kabar dari polisi tidak ada kepastian, mereka bahkan belum berani menyisir pulau tersebut karena kabar lalu-lalang tentang suku primitif nya yang sangat kejam terhadap orang baru.

Bahkan salah satu opsir pernah membisikan hal ini tepat di telinga Yerin, "Bisa saja anakmu sudah dijadikan patung disana!" Kasar sekali memang polisi disini, kalau diberi uang baru bertindak, apalah daya keluarga Iren yang hanya mengandalkan bayaran sebagai pegawai perbulannya.

"Iren ku... Anak ku, Brian.." Rengek nya saat sedang menyisir rambutnya didepan menjadi make-up.

Brian yang melihat itu langsung menghampiri Yerin, "Iya.. kamu yang sabar ya sayang" Brian memeluk istrinya dari belakang.

"SABAR BAGAIMANA!" Tiba-tiba saja Yerin berteriak, membuat Brian benar-benar terkejut.

Brian ikut mengeluarkan air matanya, bagaimanapun juga dirinya adalah ayah dari Iren.

Brian semakin mengeratkan pelukannya pada Yerin, "maaf" lirih lelaki itu.

"Huhuuu hiks hiks" Tangisan Yerin malah semakin deras.

"Maafkan aku sayang" lirih Brian lagi, mengelus pelan rambut Yerin.

-- Prime Iren --

"Balen..! Kenapa kau tidak makan?" Tanya ayah Balen membawakan susu serta menghampiri anaknya yang tengah melamun duduk diranjangnya.

"Ah.. Ayah?" Ujarnya sedikit terkejut, sang ayah berhasil membuyarkan lamunan nya.

"Tidak ada apa-apa, aku hanya rindu temanku"

"Temanmu hm? Teman yang mana?" Tanya Ayah Balen lemah lembut, sekarang pria paruh baya itu duduk disamping Balen.

"Itu.., Iren" Jawab Balen agak ragu, ia takut ayahnya akan marah karena dirinya rindu dengan seorang perempuan.

"Ooh begitu.. Memangnya temanmu kenapa, Balen?" Tanyanya lagi.

"Dia.. hilang" Balen menundukkan kepalanya.

"Iren jatuh dari helikopter di pulau yang dihuni suku-suku jahat" Tambahnya.

"Benarkah?!" Ayah Balen membulatkan matanya terkejut.

"Bagaimana bisa?!" Tiba-tiba Ayah Balen mengerutkan alisnya sedikit kesal.

"Aku takut sesuatu terjadi pada dirinya" Lirih Balen, masih menunduk menatap lantai.

"Hey hey hey.. tidak ada yang akan terjadi pada gadis itu" Ujar Ayah Balen mengelus pundak lebar anaknya.

Balen balas mengangguk lalu meraih susunya dan langsung diminum.

"Apa kamu mungkin butuh bantuan ayah?" Tawar Ayah Balen, membuat lelaki disampingnya mendongakkan kepalanya secara sigap dan menatap fokus ke wajah ayahnya.

Dapat dilihat sekarang, wajah Balen saat mengangguk menjadi cerah dan berisi harapan, sedangkan sebelum ini hanya muram, dan suasananya tidak enak sekali.

"Baiklah.. Ayah akan coba menghubungi bawahan ayah, kamu yang tenang oke? Jangan melakukan hal-hal aneh sebelum mendapat persetujuan dari ayah" Lanjut Ayah Balen.

"Baiklah Ayah.." Balas Balen mencium tangan ayahnya.

Ayah Balen yang melihat reaksi anaknya seperti itu, dirinya langsung mengacak rambut anak semata wayangnya itu.

Tanpa sadar, ternyata ada yang memperhatikan mereka berdua dipintu kamar Balen.

"Ayah.. dari tadi ponsel ayah bunyi loh.., aku cari kemana-mana nggak ada eh ternyata lagi curhat-curhatan ya, sama Balen" Ujar wanita itu, membuat Balen dan ayahnya saling menatap sebentar lalu tertawa.

"Ah iya sayang, tadi bicara bentar sama Balen" Ayah Balen terlihat berdiri lalu menghampiri istrinya.

"Oh iya Balen.. Mama udah masak pasta kesukaan kamu, ada di meja makan ya!" Pinta Mama Balen sebelum akhirnya dirinya dan suaminya pergi meninggalkan Balen.

"Oke ma!" Ucap Balen agak teriak agar dapat didengar oleh mama nya.

-- PRIME IREN --

Sekarang Max sedang membantu Iren berdiri dari duduknya.

"Lain kali kalau kaki kamu sedang sakit jangan kemana-mana dulu ya, Iren" Ujar Max membantu Iren, menuntun gadis itu untuk berpindah duduk di bawah agar bisa menikmati api unggun serta melihat cara Max membakar hidangan mereka.

Iren tersenyum, "Iya, Max. Makasih ya"

Gadis itu melihat Max tersenyum ikut tersenyum .

Kini mereka berdua sudah duduk bersebelahan. Max tadi juga yang menyiapkan api unggun ini. Lumayan untuk menghangatkan badan karena awan nampak mendung.

Karena daritadi Max yang sibuk sendiri mengutak-atik kelinci tadi, Iren hanya melihat kegiatan yang dilakukan oleh Max. Diam-diam senyuman muncul diwajah gadis itu.

Dan saat sedang mengamati wajah tampan Max, tiba-tiba wajah Balen muncul dipikiran Iren.

Dilihatnya, bayang-bayang wajah Balen yang memunculkan senyuman nakal diwajahnya.

"Ach" Tiba-tiba Iren yang tadi tenang-tenang saja sekarang mulai bersin.

Max yang melihat itu terlihat bingung, "Apa kamu tidak apa-apa, Iren? Apa kamu kedinginan?" Tanyanya.

"Ah.. Tidak, tidak apa-apa Max" Alasan Iren, agar Max tidak bertanya ini itu lagi.

Max balas mengangguk lalu kembali sibuk dengan kegiatannya sekarang ini.

Saat kelinci sudah ditaruh diatas api, aromanya sudah tercium jelas dihidung Iren. Setelah sejak pagi tadi dirinya belum makan, akhirnya sebentar lagi nafsu nya akan terlaksanakan.

"Terimakasih, Max.." Ujar Iren.

Max menoleh lalu mengangguk dan tersenyum, "Sama-sama.." Balasnya.

Setelah beberapa menit ditaruh diatas api, akhirnya sekarang terlihat dagingnya sudah matang.

Max langsung mengambilkannya untuk Iren.

Setelah diterima oleh Iren, kini Max yang mengambil untuk dirinya sendiri.

Tanpa menunggu lama, Iren yang sudah lapar langsung melahap daging itu, "Enak...!" Ucapnya.

"Enak bukan? Aku sudah terbiasa membuat ini, Iren" Max lanjut menggigit daging kelinci yang ada ditangannya.

"Ini Iren, habiskanlah. Aku tadi pagi sudah sempat makan" Ujarnya lagi membuat Iren langsung mengangguk.

.

.

To be continued