Pagi telah tiba.... Dan ternyata Iren kedatangan tamu, yaitu Nivona dan gadis-gadis lainnya menghampiri tempat dimana gadis itu tidur, mereka membawa tempurung kelapa bekas berisi air.
Plashh
Iren terbangun tiba-tiba dari tempatnya tidur, ia mengusap-usap wajahnya yang basah setelah disiram dengan Nivona serta temannya.
Iren hanya memandangi mereka bingung tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Tinggal disini bukan untuk malas-malasan!" Tegur Nivona membuat Iren menekuk wajahnya.
Aku juga tidak ingin tinggal disini tau
Iren sudah memakai kemeja nya, padahal seingatnya malam tadi ia menggunakan baju yang berasal tradisional suku ini.
Nivona menarik narik kemeja kotak-kotak yang dikenakan Iren hingga Iren terseret menuju ke luar gubuk.
"Stop!" Teriak Iren menepis tangan Nivona.
"Oooh, berani? Kamu berani?!" Bentak Nivona menjambak rambut panjang Iren membuat gadis itu meringis kesakitan.
Dalam lubuk hati Iren, dirinya ingin membalas perbuatan Nivona, tapi dia yakin kalau hal itu bisa membuatnya diusir dan di jadikan umpan ikan ikan di laut oleh orang-orang suku.
Jadi, Iren harus melakukan taktik nya yang lain, yaitu dengan berteriak minta tolong!!
"TOLONG!!!!" Teriak Iren.
"TOLONG SAYA, SESEORANG INI MENJAMBAK RAMBUT SAYA!!" Teriakan kedua Iren.
Para ibu-ibu yang ada diluar mendengar teriakan Iren, mereka langsung berlari mendekati gubuk tempat Iren berada, terutama Ponda, ibu suku yang memilih untuk mengadopsi Iren.
Nivona tidak mempedulikan teriakan Iren yang membuat para ibu-ibu khawatir, wanita itu malah tetap menjambak rambut Iren sehingga ia tertangkap basah telah melakukan percobaan pembunuhan kepada Iren. Para ibu-ibu pun mencekal tangan Nivona beserta temannya yang ada disitu.
"Iren! Kamu tidak apa-apa kan?!" Ponda berlari mendekati Iren dan menjauhkan Iren dari Nivona.
"Iya" gadis itu mengangguk-angguk mengarah ke Ponda.
Iren menoleh sedikit kearah Nivona dan tersenyum penuh kemenangan.
Segerombolan ibu-ibu yang berkumpul di gubuk tanpa sadar menarik perhatian para pria, termasuk Max yang saat itu sedang menguliti pohon yang baru saja ditebang.
Awalnya Max tidak terlalu peduli, tapi ia mengingat-ingat kalau semalam dirinya menggendong Iren ke gubuk yang itu jadi dirinya pun terkejut sendiri dan langsung buru-buru berlari menuju ke sana.
Ponda menuntun Iren keluar gubuk agar dapat bernafas lega, sedangkan Nivona sedang berdebat mencari alasan dengan para ibu-ibu yang menangkapnya.
Max hampir saja ingin menarik Iren mendekati nya, tapi disana ada Nivona jadi ia mengurungkan niatnya.
"Kenapa Max?" Tanya Ebe, kawan seperjuangan Max.
Max hanya menggeleng dan kembali ke tempatnya menguliti kayu.
Iren sedikit cemberut mengetahui Max malah tidak peduli begitu saja dengan dirinya.
"Kau benar-benar tidak apa-apa kan, Iren?" Tanya Ponda lagi, ia mengambilkan air hangat beralaskan bambu yang sudah di amplas menjadi halus.
Iren mengangguk, "terimakasih, Ponda".
Beberapa menit telah berlalu, Iren melarikan diri ke pantai pulau, mencari kerang yang mungkin nanti bisa disantap olehnya dan juga Ponda, jika dia mau.
Iren masih memakai kemejanya dan juga baju kayu didalamnya, walaupun sejak pertama kali kemari belum pernah dicuci, jahat sekali teman-temannya meninggalkan dirinya terjebak di pulau liar seperti ini, bahkan kopernya pun tidak ikut dijatuhkan.
-- Prime Iren --
Iren masih memakai kemejanya dan juga baju kayu didalamnya, walaupun sejak pertama kali kemari belum pernah dicuci, jahat sekali teman-temannya meninggalkan dirinya terjebak di pulau liar seperti ini, bahkan kopernya pun tidak ikut dijatuhkan.
Gadis berusia 20 tahun itu melihat keadaan disekitarnya, apakah ada orang atau tidak. Setelah aman, Iren melepas kemejanya dan mencuci dipantai sebesar ini, sendirian.
Kini Iren hanya berbalut baju Kayu karena kemejanya masih ia cuci. Kebetulan Iren menemukan tempurung kelapa ditumpukkan pasir pantai sehingga dapat digunakan sebagai tempat kerang yang tadi sempat dikumpulkannya.
"Iren!" Suara serak khas lelaki meneriaki namanya, sepertinya Iren hafal kalau itu adalah suara Max.
"Max!" Iren menoleh lalu melambaikan tangannya, tapi setelah mengetahui yang menyapanya bukan Max, Iren langsung menurunkan tangannya dan sedikit malu lalu berbalik lagi dan bersifat seakan tidak ada yang terjadi.
"Hai.. Iren" Sapa lelaki itu lagi, padahal Iren sama sekali tidak mengenalinya.
"Si-siapa?" Iren selesai mencuci, ia mencangklong kan kemejanya ditangannya sedangkan tangan satunya digunakan untuk memegang tempurung kelapa berisi kerang.
"Aku Gavin, saudara tiri Max" lelaki itu memperkenalkan dirinya.
"Oh hai Gavin, aku Iren" Balas Iren, dia mencoba buru-buru pergi dari tempat ini.
"Kamu mengumpulkan kerang? Untuk apa?" Tanya Gavin mencoba basa-basi.
"Untuk dimasak"
Gavin mengangguk paham, "kenapa buru-buru?" Tanya nya.
"Aku ingat Ponda ingin menemui ku" Balas Iren tetap fokus dengan jalannya.
"Ponda sedang berbicara tentang Nivona kepada kepala suku."
"Ah itu, aku ingin menjemur kemejaku" Iren kehabisan kata-kata, ia sudah sedikit takut sekarang.
Tiba-tiba Gavin mencegat langkah Iren dengan berdiri tepat didepan gadis itu.
"Ke-kenapa?" Iren mengatur pernafasan nya agar tidak pingsang sekarang.
"Gavin!" Sapa Max dari belakang mereka berdua.(Tiba-tiba)
Iren membuka mulutnya agak terkejut lalu berlari menuju ke belakang Max, bersembunyi di balik badan laki-laki itu.
"Aku dengar kepala suku ingin bertemu denganmu" tambah Max.
"Oh baiklah" Balas Gavin lalu berlari menjauhi mereka.
"Huft" Iren bernafas lega setelah Gavin pergi.
"Kamu tidak apa-apa, Iren?" Tanya Max dibalas anggukan oleh Iren.
Mereka berdua sekarang jalan-jalan bersama.
"Apa kamu memiliki saudara, Max?" Posisi mereka sedang berdiri saat ini, dengan Iren yang membawa kemeja serta tempurung kelapa berisi kerang.
"Tidak juga" balas Max.
"Lalu yang tadi?"
"Ooh, dia anak yang ayahku selamatkan saat gubuk miliknya kebakaran"
"Oh"
Saat mereka sedang sibuk bicara, kaki Iren sedikit pegal, Gadis itu menemukan tebangan pohon yang langsung digunakannya untuk duduk diikuti Max yang duduk disebelahnya.
"Kamu mengumpulkan kerang?" Tanya Max menatap tempurung kelapa yang dibawa Iren berisi kerang.
"Hmm"
"Apa kamu ingin memberikan itu untuk ku?" Tanya Max lagi.
"Tidak! Ini untukku dan Ponda karena dia sudah menolongku" tiba-tiba Iren menyembunyikan kerang nya di balik tubuhnya.
"Aku bisa melihat kerang mu" Max ingin menjahili Iren, mengetahui dirinya 25 centimeter lebih tinggi dari Iren, tentu saja Max dapat melihat nya.
"Tidak boleh!" Tegur Iren.
"Jadi itu bukan untukku?" Max membungkuk, menunduk dan melihat pasir dibawah.
"Bukan"
"Tapi kenapa?"
"Kamu mau tau kenapa?" Saat Iren mengucapkan kata ini, Max langsung membenarkan posisi duduknya. Lelaki itu langsung mengangguk semangat.
To Be Continued