"Maksudnya bersama bagaimana? Kenapa memangnya kalau mereka bersama?" Tanya Iren, ia semakin penasaran dengan Nivona.
"Tidak ada apa-apa kok, hanya membuatku sedikit sedih"
Iren menjadi lemas, sepertinya Max pernah memiliki perasaan dengan Nivona.
Mereka berdiam sebentar, Iren bingung mau mencari topik pembicaraan apa lagi karena sedari tadi ia yang mengajak berbicara.
Sekarang Iren mengetahui kenapa orang-orang suku ini tidak digigit oleh nyamuk karena mereka menggunakan Lavender sebagai minyak. Iren mengangguk paham lalu melihat-lihat kebun Lavender diseberangnya, sungguh bebas rasanya bisa seperti ini. Di kota jarang ada kebun luas layaknya disini.
"Kenapa kamu ingin menjadi jurnalis?" Pertanyaan tiba-tiba dari Max membuat Iren menaikan kedua alisnya.
"Hanya karena ingin saja" Balas Iren.
"Hanya karena ingin kamu sampai menaiki benda terbang itu?" Ulang Max membuat Iren tersenyum gemas.
"Sebenarnya bukan itu juga" Iren melihat Max saat dirinya berbicara. "Nenek ku dan Ibuku adalah seorang jurnalis" tambahnya.
"Kenapa memangnya, Max?"
"Tidak apa-apa, hanya penasaran" Balas Max.
Iren meluruskan kedua tangannya, lalu menyisipkan rambut sisa nya ke belakang telinganya.
"Kenapa kamu tidak meneliti suku ini saja, Iren?" Tawar Max membuat Iren mengerutkan keningnya lagi.
"Apa maksudmu?"
"Kamu bisa meneliti suku ini sebagai gantinya"
"Tidak mungkin" Iren terkekeh tak percaya yang malah diangguki oleh Max.
"Meneliti lah pulau ini!" Perintah Max mengangguk cepat.
"Tidak bisa Max" Lirih Iren tersenyum pasrah, "Tas ku hilang padahal barang-barang ku ada disana" Lanjutnya.
"Tenang saja Iren, aku akan mencarikan tas mu besok pagi, sekarang kita disini dulu saja hingga kakimu sudah bisa berjalan" Max menyenderkan tubuhnya di papan gazebo.
"Terimakasih, Max. Tapi aku pasti dilarang oleh kepala suku" Ucap Iren, ia sudah sedikit kehilangan semangatnya.
"Kamu tidak perlu meminta izin dari nya, aku sudah mengizinkanmu" Max tersenyum memandang Iren.
"Berhentilah seperti itu, kamu membuatku ingin tertawa saja" Iren memukul pundak Max.
"Aku bilang aku sudah mengizinkanmu" Ulang Max mengelus pundaknya yang baru saja dipukul oleh Iren.
"Baiklah, jika tas ku sudah kembali aku akan langsung memulai membuat teks penelitian tentang suku di pulau ini" BalasĀ Iren mulai yakin.
"Semangat!" Teriaknya meninggikan bogem tangannya.
Max yang melihat itu sedikit bingung tapi ia mengulangi yang dilakukan Iren, "Semangat!"
"Ngomong-ngomong benar tidak ada yang memarahi kita kan?" Iren kembali bertanya, ia masih tidak enak dengan orang lain karena dirinya seharian bersama anak dari kepala suku ini sendiri.
Max mengangguk, "mereka tidak berani memarahiku Iren" Sahut Max yakin.
"Mereka memang tidak berani memarahimu, tapi mereka mungkin memarahiku" Tambah Iren tersenyum.
"Kenapa kamu selalu tersenyum meskipun kedengarannya kau sedang sedih, Iren?" Kini Max yang bertanya.
"Benarkah?" Ucapan Iren diangguki Max.
"Aku malah tidak tau" Lanjutnya.
"Itu membuatmu sangat keren!" Seru Max menoleh ke Iren dibalas tawaan oleh gadis itu.
"Kamu boleh kembali ke gubuk mu jika kau ingin kesana Max, aku akan disini sampai kakiku bisa kugunakan berjalan" Tawar Iren, ia masih tidak enak.
"Apa aku harus ke gubuk?" Ulang Max, Iren hanya mengangguk sambil tersenyum mempersilahkan.
"Tapi aku ingin bersama mu disini" Balas Max, sekarang Max memijat kaki kiri Iren lagi.
"Sudah Max, tidak perlu memijat lagi" Iren memegang tangan Max yang digunakannya untuk memijat kaki Iren.
Max terkejut saat tangannya dipegang oleh Iren. Tangan lain Max yang tidak dipegang oleh Iren menangkap tangan Iren yang memegang tangannya.
Max tersenyum polos menghadap ke Iren, Iren yang melihat itu membulatkan matanya tak percaya.
"Ah iya, apa kemarin kau yang membawa ku ke gubuk Ponda?" Tanya Iren, dirinya menarik tangannya pelan-pelan dari tangan Max.
"I-iya, maafkan aku Iren, semalam aku melihatmu mengantuk seperti itu dan aku tidak tega membangunkanmu" Balas Max membuat Iren tersenyum lalu mengangguk mengerti.
"Aku tau beberapa hari kau disini dirimu pasti tidak bisa tidur nyenyak kan, jadi saat aku melihat mu bisa tertidur seperti itu... Aku senang" Lanjut Max membuat Iren mengangguk lalu tersenyum lagi.
"Terimakasih Max, jika bukan karena kau aku pasti tidak bisa tidur nyenyak" Iren menoleh lalu menepuk-nepuk pundak Max pelan.
"Tapi tidurmu diganggu oleh Nivona, maafkan dia ya Iren" Sahut Max.
Iren tersenyum lagi dan mengangguk menyetujui.
"Tenang saja" Ucapnya.
Iren memegangi perutnya yang agak sakit, dia lupa kalau dirinya memiliki penyakit mag, tapi dirinya malah tidak makan sejak pagi dan sekarang sudah pukul 12 siang.
"Apa kamu tidak lapar Max?" Tanya Iren.
"Tidak" Balas lelaki itu sambil menggeleng, "Tadi pagi aku sudah makan" tambahnya.
"Ah iya, aku tidak melihatmu sudah makan sejak tadi kau bangun, apa kau lapar?"
Iren mengangguk cepat, ia ingin kembali tapi mana mungkin dirinya meminta Max untuk menggendongnya hingga ke dapur suku?
"Mmm, kamu disini saja Iren, aku akan mengambilkan makanan untukmu" Ucap Max membuat Iren merasa bersalah. Dirinya menyuruh Max untuk bolak-balik demi mengambilkannya makanan.
"Tidak usah Max, aku bisa menahannya, kau saja kembali siapa tau ayahmu mencari mu"
"Aku ingin tetap disini Iren, sampai kakimu sembuh" Max mengelak membuat Iren gemas.
"Begini saja, kamu tunggu disini. Aku akan mencari kelinci untuk dibakar disini" Lanjut Max.
"Kelinci? Dihutan ini ada kelinci?" Iren heran tak percaya.
"Intinya jangan kemana-mana!" Perintah Max lalu meninggalkan Iren sendirian.
Dasar si keras kepala, Max.
To Be Continued