Chereads / INTERAKSI PERTAMA / Chapter 4 - Rumah Itu

Chapter 4 - Rumah Itu

"Jujur ya, Od. Elu pernah gak nyari-nyari lokasi rumah itu di internet?" tanya Oxy.

"Lho baru dua hari lalu kok gue locate pake google maps," ujarku meyakinkan Oxy.

"Malah gue sempet mencatat koordinat derajat desimalnya di: -3.795530, 103.534182," tambahku.

"Kok bisa ... ngapain?" ujar Oxy bertanya balik.

"Gara-gara si Ndut cerita kalo rumah itu sekarang udah jadi milik keluarga mereka," jelasku ke Oxy.

"Oalah dunia kecil banget ya, Od" ujar Oxy.

"Gue juga pernah kok nyari lokasi rumah itu pake google maps," tambah Oxy.

"Nah elu ngapain?" tanyaku.

"Lho itu kan salah satu rumah paling bersejarah. Interaksi pertama gue terjadi di rumah itu, Od!" ujar Oxy terlihat bersemangat.

"Anjiiirrr ... serem abisss!" pungkasku.

"Eh ... elu gak usah cerita-cerita masalah ini ke Ndut ya, Od!" ujar Oxy mengingatkan.

Rumah itu ...

Bangunan utamanya memiliki rancang bangun berupa rumah panggung, dan dihubungkan oleh sebuah selasar panjang terbuka dengan bangunan penunjang di bagian belakang.

Bangunan penunjang tersebut terdiri dari dua kamar mandi, dapur, gudang, dan dua kamar tidur. Dari bangunan penunjang tersebut, seingatku terdapat pintu penghubung dengan rumah tetangga kami yang menghadap langsung ke arah Sungai Lematang.

"Kalo disuruh tinggal di rumah itu lagi, mau gak Xy? tanyaku.

"Ngasih tantangan yang masuk akal ajalah!" jawab Oxy gak pakek mikir.

Terdapat dua akses untuk masuk ke rumah itu. Pertama, melalui jalan di samping kanan yang langsung terhubung dengan car-port di bagian belakang rumah yang merupakan lintasan kendaraan roda empat. Pilihan kedua, bisa melalui sebuah tangga yang terdiri dari enam anak tangga di halaman muka yang terhubung dengan sebuah jalan setapak menuju pintu utama. Dan ... untuk sampai ke pintu utama itu harus menapaki tujuh anak tangga lagi.

Elevasi rumah itu memang lebih tinggi ketimbang kompleks bangunan sekolah kami. Atap bangunan sekolah dengan mudah dapat dilihat dari jendela depan atau pintu utama rumah kami.

"Od ... masih inget gak kamar kita di rumah itu?" tanya Oxy.

"Banget!" jawabku tegas.

Di bangunan utama rumah itu ada empat kamar tidur dan sebuah ruang keluarga merangkap ruang makan yang menghadap ke arah bangunan sekolah.

Dua kamar tidur terletak di sisi kiri bangunan dilengkapi dengan pintu penghubung. Orang tua kami menempati kamar utama yang menghadap ke arah bangunan sekolah, sedangkan kami bertiga menempati kamar kedua yang menghadap ke arah sebuah sumur tua dan bangunan penunjang. Posisi kamar tidur ketiga dan keempat sama persis seperti kamar tidur pertama dan kedua, namun berada di sayap kanan bangunan.

"Elu inget kamar depan yang selaku kosong?" tanya Oxy.

"Kamarnya kakek nenek, kan?" ujarku menyamakan ingatan.

Kamar tidur ketiga hanya digunakan saat ada kakek dan nenek, atau sanak saudara dari luar kota datang berkunjung dan menginap di kediaman kami. Sedangkan kamar tidur keempat ditempati oleh sepupu perempuan kami, namanya Mbak Cica.

Seingatku posisi kamar tidur utama dan kamar tidur ketiga saling berhadapan dipisahkan oleh ruang keluarga, sedangkan kamar tidur kedua dan keempat dipisahkan oleh sebuah koridor.

Di ujung koridor itu terdapat dua panel pintu berukuran sangat tinggi yang menjadi satu-satunya akses menuju selasar terbuka ke arah bangunan penunjang. Pintu tersebut segaris, tegak lurus terhadap pintu utama yang menghadap ke arah bangunan sekolah. Bayangkan betapa besar arus udara yang mengalir dari pintu utama dan pintu belakang tersebut, ketika keduanya dibuka bersamaan.

"Seinget gue baru kali itu keluarga kita tinggal di rumah kayu ya, Od?" tanya Oxy.

"He eh ... unik," jawabku singkat.

Seluruh bangunan utama maupun bangunan penunjang rumah itu berdinding papan. Lantai bangunan utama pun terbuat dari papan. Bangunan itu terkadang mengeluarkan suara berderit, jika terjadi perubahan suhu dan kelembaban udara. Pun ketika kami berlarian di dalam bangunan utama itu.

Saat malam tiba atau menjelang shubuh, aliran angin masuk melalui celah di antara dua papan yang tak tertutup rapat.

"Elu tau gak, Od?" tanya Oxy.

"Gue paling sebel tinggal di rumah itu gara-gara kalo mau pipis harus jalan jauh ke bangunan belakang," ujar Oxy.

"Semua orang juga punya keluhan yang sama, Xy!" ujarku tak mau kalah.

Asal kalian tahu ... karena bangunan utama dan bangunan penunjang terpisah, maka setiap kali ada kebutuhan untuk ke kamar mandi atau ke dapur, kami harus turun tujuh anak tangga dari pintu belakang bangunan utama, setelah itu menyusuri selasar panjang tak berdinding!

"Jujur aja ... elu sebel atau takut sebenernya, Xy?" tanyaku.

"Huahahaha ... elu juga takut kan, Od?" balas Oxy sambil menertawakanku.

Suasana selasar itu memang seperti selasar rumah sakit yang umum dibangun pada zaman kolonial.

Di sisi kiri dan kanan selasar itu terdapat halaman yang ditumbuhi rumput dan beberapa tanaman hias, bougenville merah salah satunya.

"Annnjjjiirrrr itu sumur tua yang di sebelah kiri ... gue gak pernah berani melirik ke sana kalo malem," ujarku berusaha jujur.

Dan memang ... ada sebentuk bangun silindris berdiameter lebih kurang dua meter dengan tinggi sekitar enam puluh sentimeter yang terbuat dari semen kokoh. Konon bangun silindris itu merupakan bekas sumur tua yang sudah tak digunakan lagi. Tak ada yang tahu pasti kapan sumur itu dibangun dan ditutup.

Sesekali aku sempat bertanya, mengapa sumur harus ditutup semasif itu? Jangan-jangan itu sebuah jalan rahasia untuk melarikan diri pada masa revolusi. Atau bisa jadi, ada bekas ruang penyiksaan tahanan perang di dalam sana!

"Interaksi pertama elu dengan mahluk astral pasti di sana kan, Xy?" ujarku berusaha menebak.

"Oh bukan Od ... yang pertama justru terjadi di ..." ujar Oxy sebelum kupotong penjelasannya.

"Serius bukan di situ ...! Dimana ...???" ujarku penasaran.