Besok siangnya ada seorang Ustad yang berkunjung ke rumah kami. Usianya setengah baya, terlihat tenang tak banyak bicara.
Dia hanya mengintip sesaat melalui pintu kamar Mbak Cica, kemudian berjalan kembali ke ruang keluarga.
Ustad itu berjanji akan datang nanti malam untuk mengatasi gangguan yang dialami oleh Mbak Cica.
"Beritahu saya cara menyerang mereka. Biar saya yang menghadapi mereka," ujar Papi.
"Baik Pak ... nanti menjelang maghrib saya akan kembali ke sini. Sekarang saya pamit dulu untuk mempersiapkan segala sesuatunya," ujar Ustad itu.
Malam itu pasukan anti teror betul-betul berhadapan langsung dengan teroris dari pohon beringin di tepian Sungai Lematang.
Ustad itu memenuhi janjinya datang ke rumah kami tanpa bantuan pasukan, dia hanya datang seorang diri. Hanya ada bungkusan kecil di tangan kanannya.
Sesaat kemudian Mba Cica mulai menunjukkan gejala kemasukan. Suaranya berubah menjadi seperti suara pria. Badannya mulai terlihat kaku, dan tatapan matanya menjadi aneh penuh ancaman dan kebencian.
Ranjang besi bergoyang hebat ketika Mbak Cica mulai mengamuk. Empat saudara pria yang tinggal bersama kami di bangunan penunjang segera memegang tangan dan kaki Mbak Cica.
"Hhhhhoooarrrrrgggghhhhhhh ... lepppaaaaaassssskkkkaaannn sayyyyyayaaaaa ... annnnnnaaakkkkk ini akkkaaannn saaaaayyyaaa bawwwaaa ...!" ancam mahluk astral yang menguasai tubuh Mbak Cica itu.
"Bapak siap-siap gunakan butir merica ini di setiap ujung jari tangan dan kakinya, mereka banyak bersembunyi di area itu," ujar Ustad menjelaskan pola serangan balik kepada Papi.
"Kellllluuuaarrrrrrrr darriiii siiniiiiii ...!" ujar mahluk astral itu mencoba mengusir kami dari kamar.
Papi segera mendekat ke ranjang besi. Merica di tangannya di dekatkan ke ujung-ujung jari Mbak Cica. Dimulai dari jari kelingking tangan kanan.
"Bismillah ..." ujar Papi.
"Paaaannnnnaaasssssss ... sssssuuuuuaaakkkkkiiitttttt ... huaaaaaaahhhhhhaaa aammmmpppunnnn!" pekik mahluk astral yang berada dalam tubuh Mbak Cica.
Taaarrrrr ... tessstttt .... taaarrrrtttt ... teeeesssstttt ....!
Tiba-tiba terdengar suara ledakan biji-biji merica yang didekatkan ke ujung-ujung jari tangan Mbak Cica.
"Lanjutkan ke sebelahnya pak," ujar Ustad itu memberi arahan ke Papi.
Taaarrrrr ... tessstttt .... taaarrrrtttt ... teeeesssstttt ....!
Suara letupan biji merica terdengar lagi, kali ini disertai aroma sesuatu yang terbakar tapi tanpa wujud.
"Ammmpuuunnnn .... ssaaakkkitttttt .... paaaannnnnaaasssssss ... sssssaaakkkkkiiitttttt ... huaaaaaaahhhhhhaaa aammmmpppunnnn!" pekik mahluk astral yang berada dalam tubuh Mbak Cica makin menjadi-jadi.
"Sekarang lanjutkan ke jari-jari kaki pak," ujar Ustad itu lagi.
Treeeeeettt ... ttttaaarrrrr ... tessstttt .... taaarrrrtttt ... teeeesssstttt ....!!!
Kini suara letupan biji merica terdengar lebih nyaring. Aroma benda terbakar makin menjadi-jadi!
Tiba-tiba tubuh Mbak Cica menjadi lemas terkapar di ranjang besi penuh peluh. Mami segera membersihkan tubuhnya dengan lap basah.
"Cica ... Cica ... sadar ... Ca ... ini Pakde dan Bude," ujar Papi dan Mami bergantian berupaya menyadarkan Mbak Cica.
Setelah beberapa saat ...
"Aku haus ... haus," ujar Mbak Cica dengan suara normal.
"Ini minum teh manisnya yang banyak," ujar Mami sambil menyuapkan sesendok demi sesendok teh manis kepada Mbak Cica.
"Terima kasih Bude," ujar Mbak Cica.
"Pakde anak buahnya banyak yang mati tadi ... aku capek ... aku mau tidur," ujar Mbak Cica.
"Iya kamu istirahat dulu ... jangan takut ... kami semua akan berjaga-jaga di sini," ujar Papi menenangkan Mbak Cica.
Pertempuran malam itu berakhir sementara dengan kemenangan di tangan pasukan anti teror.
Malam selanjutnya pertempuran serupa terjadi lagi, dengan hasil akhir yang tetap dimenangkan oleh pasukan anti teror.