"Malam ketujuh ini adalah malam penentuan," ujar Ustad yang tak sengaja kudengar tadi ketika melintas di ruang keluarga.
"Oddeeee ... main di luar dulu ya," ujar Mami.
Aku segera keluar dan bergabung dengan Oxy yang sedang memainkan mobil-mobilan dari kulit jeruk bali buatannya.
Sore itu cuaca nampak mendung.
Oca terlihat sedang mengumpulkan bunga-bunga liar untuk dijadikan bahan masakan dalam permainannya. Biasanya aku dan Oxy yang nanti disuruh menjadi pembeli dari 'makanan' yang dijualnya.
"Nanti malam Papi akan bertempur lagi," ujarku membocorkan rahasia kepada Oca.
"Aku yakin Papi pasti menang," ujar Oca.
"Penjajah dan pengkhianat aja dihabisi Papi ... apalagi mahluk gak jelas begitu ya, Ca" ujarku mendukung keyakinan Oca.
"Papi menanglah ..." Tiba-tiba Oxy berkomentar dari jarak yang agak jauh dari kami berdua.
Malam harinya ...
Tanda-tanda kehadiran mahluk-mahluk astral itu semakin kuat. Beberapa daun pintu dan daun jendela seperti berderik mengeluarkan suara-suara aneh.
"Aaaaauuuuuummmm ... hoarrrrrrrggghghghghghghg ...!" suara mahluk astral terdengar sangat keras dan berbeda dari malam-malam sebelumnya.
"Kasihan ... Mba Cica pasti mulai diserang," ujar Oca.
"Ayo kita lihat ke sana," ajakku ke Oca dan Oxy.
"Aaaaauuuuuummmm ... hoarrrrrrrggghghghghghghg ... anak ini akan kuambil ... kalian tidak bisa mengalahkanku ... huahahahahahaha ...!" ujar mahluk astral dalam tubuh Mbak Cica yang terdengar angkuh.
Malam itu Ustad membawa serta satu tenaga tambahan yang bertugas menggantikan posisi Papi, menyerang ke bagian kaki Mbak Cica.
"Lho mengapa Papi tidak ikut serta di pertempuran malam ini?" aku membathin.
"Mulai Pak!" ujar Ustad itu memberi aba-aba menyerang.
Empat saudara pria kami seperti biasa memegang kuat bagian tangan dan kaki. Kemudian Ustad menyerang seluruh ujung jari tangan Mbak Cica, tapi tak ada teriakan sakit atau panas seperti yang biasanya keluar dari mulut Mbak Cica.
"Ssssssssshshhhhhhh ... ssssssshhhhhhhhh!" hanya suara desis yang terdengar saat itu.
"Haaaahahahahahahaha ... ssssssshhhhhhhhh ... aku pasti menang!" ujar mahluk astral di tubuh Mbak Cica.
Santri yang menjadi tenaga bantuan yang dibawa Ustad segera melakukan serangan ke bagian kaki ...
"Ssssssssshshhhhhhh ... ssssssshhhhhhhhh!" suara desis itu terdengar lagi.
"Haaaahahahahahahaha ... ssssssshhhhhhhhh ... menyerah saja kalian ... aku pasti menang!" ujar mahluk astral itu semakin angkuh.
Di saat itulah tiba-tiba Papi mendekat ke arah kepala Mbak Cica sambil memegang sejenis corong yang ujungnya melancip terbuat dari daun pisang. Ustad memegang kepala Mbak Cica agar tetap lurus menghadap ke atas.
Papi lalu terlihat menuangkan sejenis cairan ke kedua mata Mbak Cica menggunakan corong daun pisang tadi. Raung kesakitan, rintihan panas, dan suara di ujung kematian terdengar keras hingga keluar rumah.
"Aaaaauuuuuummmm ... hoarrrrrrrggghghghghghghg ... puaaaannnnaaaasssssss ... ssssshhhhhhhh ... ssaakkkkkkiiiiiittttttt ... akkkkuuuu menyeraaahhhhhhh ... aaaaaaahhhhhhhhh," teriakan mahluk itu akhirnya semakin melemah.
Tubuh Mbak Cica lemas dan peluhnya melebihi malam-malam sebelumnya. Mami segera membersihkan tubuhnya dan memberi kompres lap basah di kening dan kedua bola matanya.
"Cica ... Ca ... Cica ... sadar ... Ca ... ini Bude," ujar Mami berupaya menyadarkan Mbak Cica.
Beberapa saat setelah itu ...
"Haus ... lapar ... aku haus ... lapar," ujar Mbak Cica dengan suara mulai kembali normal.
"Minum dulu teh manisnya ya," ujar Mami segera menyuapkan teh manis kepada Mbak Cica.
"Sekarang habiskan sup ini," lanjut Mami.
"Bude ... terima kasih ... Bude," ujar Mbak Cica.
"Pakde ... rajanya sudah mati ... digotong dengan kain hitam oleh prajurit-prajuritnya ... bendera mereka sudah tidak terlihat lagi," ujar Mbak Cica mengadu kepada Papi.
"Alhamdulillah," ujar Papi.
"Cica mulai sekarang jangan sering melamun sendirian," ujar Papi.
"Banyak berdoa ya, Ca!" ujar Mami memberi nasehat.
Tak lama kemudian Ustad dan santri tenaga tambahan yang dibawanya tadi berpamitan pulang.
"Alhamdulillah sudah aman semua ... kami pamit dulu Pak," ujar mereka berpamitan di pintu belakang.
Sejak malam itu, Mba Cica tidak dibiarkan tidur sendirian. Sarna akan menemaninya setelah selesai menjaga Oxy.
Semua runtutan peristiwa tadi mengalir begitu saja dari celah ingatan masa lampau.
Aku habiskan air putih yang tersisa di gelas lalu berjalan ke kamar.
Ketika melewati kamar Oxy, kulihat cahaya dari layar smartphone masih menyinari sebagian wajahnya. Masih nonton rupanya itu anak!
Aku hentikan langkahku dan berbalik ke kamar Oxy. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, terkait interaksi pertama si Oxy dengan teror yang menimpa Mbak Cica.
"Eh Xy ... interaksi pertama elu itu, kejadiannya sebelum atau sesudah teror yang dialami Mbak Cica?" ujarku minta kepastian dari Oxy.
"Apa bedanya ...?" jawab Oxy singkat sambil mematikan smartphone.
Shit ...!