Chereads / INTERAKSI PERTAMA / Chapter 7 - Teror

Chapter 7 - Teror

"Eh gue tidur duluan ya ... besok gue harus turun duluan ke Jakarta" ujar Oxy sambil berdiri meninggalkan meja makan.

Rasa kantuk tak juga menghampiriku setelah perbincangan hangat malam itu. Oxy sudah masuk ke kamar, dan aku masih terjebak dalam renungan masa lalu di Kota Lahat.

Ada sebuah masa dimana kami sekeluarga besar terdampak teror mahluk halus di rumah itu. Sang peneror bukan mahluk astral yang diceritakan Oxy dalam pengalaman interaksi pertamanya tadi, tapi sosok jin penunggu pohon beringin yang sudah ratusan tahun tumbuh di tepian Sungai Lematang.

Peristiwanya bermula dari tindakan iseng Sarna, pengasuh Oxy. Usia Sarna saat itu sudah belasan tahun, berkulit hitam, dan memiliki fisik yang kuat. Mami dengan niat baiknya mengajak anak perempuan itu tinggal bersama kami, karena Sarna sudah menjadi yatim piatu sejak kecil.

Suatu sore menjelang maghrib, Sarna masih bermain di bawah pohon beringin di tepian Sungai Lematang itu. Selain dirinya, ada sepasang kekasih yang sedang asyik memadu rayu di bawah kerindangan beringin tersebut. Entah karena rasa iri atau iseng semata, tiba-tiba Sarna berniat merusak dunia kecil pasangan kekasih itu. Dia lempar sebuah batu besar ke arah mereka sambil buru-buru berlari kencang kembali ke rumah.

Tanpa disadarinya batu yang ia lemparkan tadi sama sekali tidak mengenai sasaran, tapi justru mengenai jin penunggu pohon beringin.

Tapi Itu menurut pengakuan jin...!

Alasan tadi menjadi motivasi jin tersebut untuk menyerang Sarna. Namun karena Sarna memiliki mental dan fisik yang begitu kuat, maka serangan jin tadi justru menyasar ke Mbak Cica.

Mba Cica, sepupu kami itu pribadi yang sangat santun. Perilakunya begitu feminim khas wanita dari Jawa Tengah.

Entah benar atau tidak, tetapi begitulah alasan yang sempat kami dengar terkait beralihnya sasaran dari serangan mistis tersebut.

Sejak malam itu, kehidupan Mba Cica berubah drastis. Begitu maghrib tiba hingga menjelang waktu shubuh, ia akan kemasukan jin penunggu pohon beringin, on and off. Dalam kondisi kemasukan seperti itu empat pria dewasa dapat ia kalahkan dengan mudah. Dua orang yang memegang erat tangannya dan dua orang lain yang memegang kedua kakinya, dengan mudah terpental menahan amuknya.

Jika sudah begitu hanya Papi yang dapat mengatasinya!

"Heeeiiii mahluk pengganggu, keluar sekarang juga dari tubuh keponakanku!" bentak Papi di hadapan Mbak Cica.

"Cica ... Cica ... ayo sadar ... Ca ... ini Pakde," ujar Papi sambil memegang bahu Mbak Cica yang terlihat mulai jatuh rebah ke kasur.

Sesaat kemudian Mbak Cica sadar kembali dengan tubuh berkeringat. Wajahnya nampak pucat. Teh manis panas dari termos yang selalu tersedia di kamar itu, disuapkan dengan sabar oleh Mami ke Mbak Cica.

Serangan seperti itu bisa berulang hingga tiga kali dalam semalam.

Setelah Mbak Cica mulai terlihat tenang, Papi selalu berpesan: "Sampaikan kepada mahluk itu untuk menghadapi Pakde, jangan hanya berani melawan anak perempuan ...!"

Kalau sudah begitu ... Mbak Cica hanya dapat mengangguk pelan dan berjanji untuk menyampaikan pesan Papi.

Kami semua menyaksikan peristiwa demi peristiwa yang terjadi seperti itu selama tujuh hari tujuh malam.

Pada malam ketiga, kesabaran Papi nampaknya mulai menipis.

Begitu Mbak Cica mulai menunjukkan gelagat akan kemasukan, Papi segera berpesan sangat tegas membuka tantangan: "Sampaikan kepada mahluk itu, bawa seluruh komandan tertinggi dan semua pasukannya ke sini, suruh mereka bertempur melawan Pakde!"

"Pakde ... mereka semua sudah berdiri di pojok kamar. Kata mereka akan membawa saya," ujar Mbak Cica sangat ketakutan.

"Suruh ke sini semua lawan Pakde, jangan curang menyerang wanita yang tidak sebanding!" ujar Papi setengah berteriak membangkitkan semangat Mbak Cica.

"Iya Pakde itu rombongan mereka sudah datang membawa dua bendera," ujar Mbak Cica.

Gubbbbbrrrraaahhghghghghgh ...!!!

Tengah malam itu tiba-tiba terdengar gedoran keras berkali-kali dari pintu belakang rumah.

"Siapa di luar ...?!" bentak Papi penuh amarah.

"Gubbbrrraaggggggg ... dhuarrrrrrggh ... dubbbbbrrrrraghhh ...!" suara gedoran di pintu semakin keras.

Papi tiba-tiba berlari ke kamarnya, kemudian Mami menyusul diikuti Oca, aku, dan Oxy. Mbak Cica bersama empat pria saudara kami tetap menunggu di kamar tadi.

Ternyata Papi mengambil senjata api genggam miliknya. Kemudian bergegas kembali ke luar menuju pintu belakang yang digedor tadi. Mami dan kami bertiga mengikuti kemanapun Papi bergerak.

"Gubbbrrraaggggggg ... dhuarrrrrrggh ... dubbbbbrrrrraghhh ...!" suara gedoran di pintu terdengar lagi.

Papi yang tiba duluan di depan pintu itu segera membuka kunci dan menarik panel pintu ke arah dalam. Pintu terbuka dengan kasar ...

Brrrraaaggggghhhhhrrrr ... krrrrhhiiieeeeettttt ...

Suasana tiba-tiba hening begitu saja ...

Langit gulita di luar sana ...

Apa yang terjadi ...?!

Tiba-tiba hanya ada seekor kucing hitam di ujung kaki Papi dalam posisi duduk bertumpu di kedua kaki belakangnya, dan mendongak melihat langsung ke arah muka Papi dengan pandangan tajam.

Mami dan kami bertiga hanya diam terpana menyaksikan kejadian itu. Apa mungkin seekor kucing punya kekuatan menggedor pintu sekeras itu? Tidak mungkin!

"Kalo cuma bisa jadi kucing jangan pernah berani menantang saya ...!!!" Papi berteriak keras ke arah luar rumah.

"Dasar kucing PKI ...!" ujar Papi bersungut sambil menutup pintu.

Aneh kucing itu tiba-tiba hilang lenyap begitu saja ...!