Chereads / The Black - The First World / Chapter 3 - 2. Hari Sup Kelinci

Chapter 3 - 2. Hari Sup Kelinci

Pagi ini aku mulai dengan ekspresi kagetku, tidak bohong, aku benar-benar kaget dan tak habis pikir dengan keputusan Dokter Abraham. Bagaimana tidak, baru saja masuk kantor, aku sudah disuguhkan dengan selembar surat pengesahan.

"Mulai hari ini, kau secara sah menjadi dokter garda depan, atas rekomendasi Dokter Abraham! " ungkapan hangat dari rekan kerjaku.

Suasana kantor penuh dengan ucapan selamat kepadaku. Bukan senang yang kurasakan, tetapi kaget yang luar biasa ditambah rasa bimbang akan kelayakan diriku sendiri.

"Erwin, kau punya reputasi yang baik disini, rekan-rekanpun suka kepadamu. Kau hanya perlu belajar sedikit lagi untuk menjadi dokter sejati, mulai hari ini kau resmi menjadi salah satu dokter garda depan, selamat!" ucapan riang Dokter Abraham seraya menjabat tanganku dengan kuat.

Ekspresiku masih belum berubah, aku masih terlalu belum siap dengan situasi ini., hanya bisa tersenyum formal dengan tatapan kebingungan.

"Untuk hari ini, kau bertugas seperti biasa. Mulai besok, kau akan mulai bertugas menangani The Black Virus. Bersiaplah! " lanjut Pak tua itu.

Ah

Mulai sekarang, semua ini akan menjadi lebih sulit.

Hingga akhirnya, hari ini aku bertugas seperti biasa.

Selesai bertugas, aku mengikuti kelas penyuluhan kesehatan terkait penanganan pasien The Black Virus. Dari sini aku mengetahui bahwa yang berada di ruang isolasi bukan hanya mereka yang sudah bermata hitam, tetapi mereka yang bermata masih normalpun kami tempatkan disana.

Walaupun belum bermata hitam, tubuh mereka sudah lemah sekali, bergerakpun rasanya sulit, yang kemudian disusul dengan menghitamnya bola mata mereka dan kondisi yang semakin buruk, hingga akhirnya mereka akan mati setelah itu.

Vaksin, suatu hal penting yang selama ini Dokter Abraham dan jajarannya gali mati-matian. Mereka belum berhasil menemukannya, ini penyakit baru yang aneh dan membingungkan. Sedikit demi sedikit, korban meninggal dunia akibat virus ini kian bertambah. Dan besok, aku mulai terjun ke area dengan atmosfer gelap seperti itu.

***

"Sebenarnya aku tidak ingin menceritakan ini, tapi apa boleh buat".

"Sepertinya kau akan sangat sibuk setelah ini! " tatapan Bang tajam

"Begitulah".

"Baiklah, untuk merayakan kenaikan pangkat Erwin, kita adakan pesta!!" ungkapan super riang dari Bella, langsung disusul sorai semangat yang lainnya.

Pesta?

Di saat seperti ini?

Di waktu seperti ini?

Yang benar saja, yang ada dalam pikiran mereka hanya kekonyolan dan main-main. Bahkan Bang sekalipun ikut semangat mengikuti arus kekonyolan mereka

Hari ini terlalu gila untukku. Mendapat kenaikan pangkat mendadak, lalu disusul pesta konyol, aku tidak bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

Bang Cafe, unik.

Membuatku tak habis pikir dengan apa yang selalu mereka lakukan, tetapi secara tidak sadar itu membuatku merasa hidup, kurasa bukan hanya aku, tetapi semuanya juga merasakan hal yang sama.

Sudah cepat berlalu, jika aku mengingat kembali bagaimana mereka semua bisa berkumpul disini, rasanya terlalu banyak yang telah kami lalui.

***

Cerita Tony

Hari itu, sebelum semuanya terjadi

Hari-hariku terasa menyenangkan bersama Ayah dan Mama.

"Tony, ketika besar nanti, kau mau menjadi apa?" tanya ayahku seraya menggendongku di pundaknya.

"Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu, Ayah?!".

"Itu wajar, Nak. Seorang pria harus punya tujuan, dan siap menerima segala konsekuensinya".

"Bahasamu terlalu sulit dimengerti, Yah! " rautku cemberut.

"Hahaha, maaf".

"Besar nanti ya? Aku ingin menjadi seperti Ayah saja, seorang pria yang baik, kuat, keren".

"Kau tidak boleh seperti Ayah, Tony".

"Heh, Memangnya kenapa?!"

"Jangan sepertiku, tetapi kau harus bisa jauh melampauiku".

"Tony, aku tanya ulang. Besar nanti kau mau menjadi apa?" lanjutnya.

"Aku bingung sekali. Entahlah, aku ingin menjadi orang yang berguna bagi banyak orang".

"Sungguh cita-cita yang keren, Tony. Kau harus bisa meraihnya! " ungkapan semangat Ayahku seraya tersenyum kecil dan menganggukan kepalanya.

Dari dulu, aku sudah mengagumi sosok Ayah. Dia adalah seorang mantan militer, bukan sebagai prajurit biasa, dia adalah seorang kapten divisi. Dia keren, baik,terkadang tegas, suka menolong orang, senyumnya yang hangat, dan sangat mencintai ibu. Kurasa ketika orang pertama kali bertemu dengannya, mereka tidak akan sadar kalau Ayahku seorang Kapten divisi pasukan militer, itu karena keramahannya yang terlalu ekstrim.

Ibuku juga tak kalah keren. Dia selalu menunggu kami pulang ke rumah, tak jarang dia juga ikut kami bermain, memetik buah-buahan di kebun kami yang berada di ujung desa. Dia wanita yang suhu hangatnya menyamai Ayahku. Jika aku disuruh memilih, Ayah atau Ibuku?

Maka, itu akan menjadi pilihan tersulit dalam hidupku.

Sesampai di rumah

"Ah, Tony dan ayahnya sudah pulang ke rumah, Selamat datang!" sambut ibuku berlari kecil menghampiri kami.

"Apa maksudku Tony dan Ayahnya?! Kenapa tidak sebut saja namaku!".

"Hahaha. Baiklah, Kapten Rozy".

"Tidak perlu menggunakan Kapten, aku sudah pensiun! " balasnya kecut.

"Daripada berdiri terlalu lama di pintu seperti ini, mending kita makan!" selaanku riang.

"Ah, benar juga! Aku baru saja selesai memasak sup kelinci".

Benar sekali tindakanmu, Ma

Itu masakan kesukaanku.

Mama memang selalu memikirkan kebahagiaan kami, walau itu hal yang kecil.

Tiap detik yang berlalu di rumah kecil ini, tak pernah membuatku merasa sedih. Jika kau tau definisi dari keluarga yang bahagia, maka keluargakulah yang berhasil melampaui definisi itu.

Pergi ke kebun buah bersama ayahku, disusul dengan piknik di taman ditemani belasan burung merpati. Gaun biru sederhana yang selalu dipakai oleh ibuku, itu sudah menjadi setelan default ketika kami pergi piknik. Walaupun hanya menyantap apel dan roti sandwich alakadarnya. Namun, senyum dan tawa tidak pernah absen di radius yang hangat itu.

Esok hari ulang tahunku yang ke 9, aku sudah bisa menebak semua kejutan template mereka, yaitu membuat hariku buruk, lalu memberiku surprise dengan menodongkan kotak kado, aku sudah bisa menebaknya. Mungkin, template seperti itu juga biasa dipakai kebanyakan orang, akibat framing yang mereka anut.

Hingga akhirnya hari esokpun tiba.

Hari yang mustahil untuk bisa aku lupakan.

Betul saja, ketika aku membuka mataku, mereka berdua sudah tidak ada di rumah dengan meninggalkan secarik kertas yang bertuliskan

"Tony, kami berdua pergi dulu ya! Kau tinggallah di rumah untuk hari ini, sepulang nanti, kami akan berikan kejutan besar untukmu,

Love, Mama".

Aku sudah terlalu bosan dengan template, Ma

Tahun-tahun kemarinpun begitu, mereka pergi keluar, dan pulang pada sore hari membawa kado dan kejutan lainnya. Ini sudah menjadi rutinitas tahunanku ketika aku ulang tahun. Aku menunggu di rumah seharian untuk alasan yang tidak jelas, hingga mereka pulang lalu pesta kecil di malam hari.

Hari ini sama....

Aku menunggu....

Aku menunggu di rumah, bermain bola di halaman, menyiram tanaman, memasak telur setengah matang. Bukan karena aku jago memasak, tetapi memang hanya itu yang aku bisa masak.

Semua hal membosankan sudah aku lakukan seharian, untuk menghilangkan bosan karena lamanya menunggu mereka pulang.

Sore sudah menampakkan eksistensinya.

Matahari sudah mulai meninggalkan posnya.

Tak seperti tahun kemarin, mereka telat.

Hingga akhirnya, ketika aku berbaring di sofa ruang tengah, melihat jam dinding dan jarum menunjuk ke angka 9.

Kemudian aku mendengar suara ketuk pintu, seketika tubuhku bangun menghentak sofa, berlari ke arah pintu lalu membukanya.

"Kau bocah yang bernama Tony?".

Bukan mereka berdua yang tiba, tetapi seorang polisi muda dengan menggenggam kado di tangan kirinya.

"Iya, aku Tony. Apa kau polisi yang disuruh ayahku untuk memberikan kado itu? Hahaha, aku memang takut polisi, tetapi aku tahu ini hanya jebakan Ayahku saja agar aku ketakutan, itu sangat terlihat dari wajahmu! Wajahmu muda dan tidak menyerahkan! ".

"Aku memang masih muda, tetapi aku kesini bukan untuk memberikan kejutan".

"Boleh aku masuk terlebih dahulu".

"Tentu saja boleh, Pak. Ayo masuklah".

Lalu pria asing itu duduk di sofa, memandang ke bawah sambil menghela napas panjang.

"Tony, aku tau ini berat untukmu, tapi dengarkanlah, " raut mukanya serius.

"Ayah dan Ibumu adalah seorang penghianat negara, di tiap tanggal 11 November tiap tahunnya, mereka pergi ke markas yang dicurigai sebagai markas teroris yang berniat untuk menggulingkan pemerintah".

"Apa kau mengarang?" tanyaku mencoba tenang.

"Untuk apa aku melakukan itu?!".

"dan berita utamanya adalah, ibumu berhasil kami tangkap, dan saat ini dia sedang berada di Istana Kerajaan".

"LALU BAGAIMANA DENGAN AYAHKU?!!" tanyaku dengan nada tinggi sambil menghentakkan meja.

"Sayangnya, Ayahmu berhasil kabur, saat ini Ayahmu masih dalam pencarian".

Mencoba tetap tenang

Mencoba mengatur napas agar tetap stabil

Tetapi air mataku memberontak

Mulutku aku usahakan tidak berbunyi

Tetapi entah kenapa, dia bergerak sendiri

"Apa yang kau katakan tadi benar?! Mana mungkin orang tuaku teroris!" nadaku terisak-isak.

"Benar".

"Setelah mereka kabur, ketika kami menyelidiki markasnya, kami menemukan kotak kado ini, disini tertulis alamat dan nama, Tony".

"Sepertinya mereka menulis ini dengan cepat, itu bisa dilihat dari tulisannya yang tidak beraturan. Mereka menyadari keberadaan para polisi yang menghampiri mereka, orang tuamu sigap dan masih memikirkan anaknya".

Seketika aku melompat dan memukul-mukuli pria itu, seraya meneriakinya dengan jutaan kata hujatan.

"AKU TAHU KAU BERBOHONG!! AKU TAHU KAU HANYA ORANG SURUHAN AYAHKU UNTUK MEMBERIKU KEJUTAN!! BERI TAHU AKU DIMANA MEREKA BERDUA!!DASAR KAU PEMBOHONG!! JANGAN MENYEBUT TULISAN AYAHKU BERANTAKAN!! TULISAN TANGANNYA SANGAT BAGUS!!".

Kata-kataku tidak terkontrol, hujan pukulan membabi buta sudah mengenai wajah dan tubuhnya. Namun, pria itu tetap duduk diam tak berkata apa-apa, bahkan reaksipun tidak ada.

Tidak lama dari itu, rumahku sudah dipenuhi oleh polisi, sepertinya mereka temannya. Satu persatu polisi itu masuk ke rumahku dan mengobrak-abrik semuanya. Sepertinya mereka semua mencari sesuatu. Mereka membuat usaha bersih-bersihku menjadi sia-sia.

"APA YANG KALIAN LAKUKAN!! JANGAN MENGACAK-ACAK BARANG KAMI!! KELUAR KALIAN DARI RUMAHKU!!"

Aku mengusir mereka satu-persatu, meneriakinya untuk tidak menjatuhkan apapun, tapi mereka semua tidak mendengarku, pria tadipun masih duduk di tempat yang sama.

Di ruangan penuh suara itu, suarakulah yang paling nyaring. Namun, tidak ada satupun yang mendengarkannya.

Hingga akhirnya

"Kami menemukannya"

Mereka mengangkat sebuah buku catatan dan langsung diberikan kepada pria itu.

"Lihatlah Tony, ini adalah rangkaian rencana yang dituliskan Ayahmu! Aku yakin kau paling tahu seberapa indah tulisannya".

Akupun membuka buku itu dan membacanya perlahan

"Itu menjadi bukti pemberontakan Ayahmu! Sekarang kau tidak bisa mengelak lagi".

Aku diam

Diam lumayan lama

Lututku bergetar

Terhentak ke lantai

Air mataku tidak mengalir lagi

"Urusanku disini sudah selesai, kami sudah mendapatkan apa yang kami mau". Lanjut pria itu

"Bagaimana dengan ibuku?!" isak tangis belum mereda.

"Karena kami sudah menemukan barang buktinya, malam ini atau besok ibumu akan dieksekusi".

Aku tidak percaya semua ini

Aku tidak akan bisa melupakan hari ini.

Aku tidak akan bisa melupakan wajah semua polisi yang datang hari ini .

Aku tidak akan bisa melupakan nama dari polisi muda itu, yang tertulis di tanda pengenal di atas saku dadanya.

Sambil mengepal tangan, napas terisak-isak. Aku akan selalu mengingat namanya,

Bang.