Chereads / The Black - The First World / Chapter 5 - 4. Bocah Bertopi

Chapter 5 - 4. Bocah Bertopi

Sepertinya orang yang sudah ditunggu-tunggu telah datang. Mengetuk pintu ruangan kami. Dari sini sudah bisa terlihat sikapnya yang sopan.

"Dia sudah datang, aku akan membuka pintunya! " dokter itu berdiri dan segera membuka pintu.

Aku hanya terbaring, mataku fokus tertuju ke pintu yang perlahan terbuka.

Akhirnya dia tiba

Seorang kakek tua lusuh, berambut botak berkacamata, bermata sipit. Dia menghampiriku dan berkata

"Jadi akhirnya kau sudah siuman juga ya, Pemuda!" logatnya ngapak.

"Begitulah, aku sudah sadar dari kemarin malam".

"Siapapun kau, aku berterima kasih padamu. Karena sudah repot-repot membawaku kemari, " lanjutku santun.

"Bukan apa-apa! Haha, aku hanya pria tua yang kebetulan menemukan orang yang sekarat dekat rumahnya! " masih ngapak, logatnya bahagia.

"Bagaimanapun, sekali lagi aku sangat berterima kasih padamu, " balasku tersenyum.

Suasana di ruangan itu menjadi hangat. Aku, dokter ramah, dan kakek ngapak. Kami berbincang-bincang cukup lama, nama kakek itu adalah Roman. Aku memanggilnya Pak Roman. Pak Roman hanya warga biasa pinggiran kota, hidup sendirian sebagai petani. Benar-benar sendirian, istrinya sudah wafat, tidak memiliki anak apalagi cucu. Mungkin itulah alasan mengapa dia sangat baik kepadaku, melihat kesempatan untuk menjadikanku sebagai anak angkatnya, mengingat akupun seorang yatim piatu.

Inilah fakta tentangku, seorang bocah tanpa orang tua yang masuk ke jajaran polisi dengan bangga. Walaupun kenyataan kepolisian tidak semanis yang aku bayangkan, lebih kotor dari apa yang aku pikirkan.

Setelah lama berbincang, suasana tiba-tiba berubah mencekam ketika kakek ngapak itu mulai berbicara serius dan tajam.

"Bang, Aku tahu kau anak bermasalah".

Kakek itu tahu namaku.

"Seminggu yang lalu, aku dikirimi surat ancaman dari orang misterius, " lalu kakek itu menunjukan suratnya, kemudian membacanya tanpa pikir panjang.

"Surat ini berisi tentang ancaman pembunuhan padaku, kau sekarat dan dibuang ke jurang karena suatu masalah. Dan sepertinya orang yang membuangmu tahu kau masih hidup, dan mereka mencurigaiku sebagai orang yang menyelamatkanmu. Mereka mempunyai satu pilihan untukmu".

"Bang, kami tau kau masih hidup. Dasar bocah kurang ajar! Jika kau mau kakek penyelamatmu masih hidup, maka undurkanlah dirimu dari kepolisian! Camkan itu!".

Mereka belum berhenti berulah ya? Seketika aku merapatkan gigiku, kesal.

Mengepalkan kedua tanganku kencang.

Melihat ekspresi Dokter ramah itu yang sepertinya kaget bukan main.

"Kau Bang, dari kepolisian Sioria. Dan karena suatu alasan, kau dibunuh. Namun, sayangnya kau masih hidup. Benar?" lanjut Pak Roman.

Ekspresi Dokter itu belum juga berubah, masih kaget kebingungan.

"Kau benar, Pak! " jawabku menundukkan kepala karena mencoba mengendalikan emosiku setelah mendengar surat ancaman itu.

Tiga orang biadab itu belum menyerah untuk menjatuhkanku. Belum puas membuat rusak seluruh tubuhku, sekarang dia mengincar warga yang tidak bersalah.

Mereka sama sekali tidak layak menjadi polisi.

"Karena kalian sudah mendengar fakta suram tentang diriku, dan alasan mengapa aku disini sekarang. Aku akan ceritakan semuanya".

Aku bercerita semuanya tentangku, tentang kepolisian Sioria, tentang tiga orang biadab yang mencoba membunuhku. Cukup panjang dan dramatis, cukup aneh karena aku harus menceritakan ini kepada orang yang baru saja aku temui. Namun, aku merasa bertanggung jawab kepada kakek malang ini, dan bertanggung jawab dengan rasa penasaran si dokter yang sok akrab.

"Begitulah, alasan aku berada di jurang sekarat waktu itu".

Melihat Pak Roman, dan Dokter yang diam cukup lama, karena kebingungan dengan ekspresi apa yang harus mereka tunjukkan karena telah mengetahui kebusukan kepolisian Sioria.

"Maafkan aku, Dok! Karena sudah membuatmu mendengarkan cerita yang mengganggu. Maafkan aku, Pak! Karena sudah membuatmu terancam karena masalahku".

Tak lama, dokter itu bereaksi

"Namamu, Bang ya? Hidupmu begitu kelam. Aku bisa merasakannya, kesedihan yang sangat dalam. Namun, kau tetap mencoba tegar dan tangguh".

"Aku sangat bersimpati atas apa yang sudah menimpamu. Namun, sayangnya aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menyembuhkanmu," lanjut dokter itu.

"Aku tahu kau dokter yang baik, dan jarang bisa menemui dokter yang baik sepertimu, kau tidak perlu merasa bertanggung jawab, aku tidak masalah".

"Lalu, apa yang akan kau lakukan selanjutnya, Bang?" tanya Pak Roman.

"Aku akan keluar dari kepolisian".

"Kau serius?!" lanjut Kakek ngapak itu.

"Nyawamu dipertaruhkan, sudah menjadi tugasku untuk melindungi rakyat Sioria, meskipun itu membuat namaku tercoret dari daftar kepolisian. Untuk menjadi penegak keadilan, kau tidak perlu menyandang nama polisi atau tentara. Karena semua orang mempunyai hak untuk menegakkan keadilan! " jawabku bulat.

Dokter itu tertegun, Pak Roman tersenyum.

Untuk kali ini, aku biarkan tiga orang biadab itu menang. Aku mencoba terbuka dengan diriku, memikirkan yang terbaik untuk Sioria dan rakyatnya. Aku tidak boleh membiarkan ego dan emosi mengendalikanku. Walaupun sebetulnya aku sangat ingin menenggelamkan tiga orang itu ke neraka, tetapi konsep keadilan seperti itulah yang menjadikan Sioria kotor, yaitu persaingan yang dibumbui kebencian. Aku tidak mau ikut serta di dalamnya.

Setelah hari ini, mereka berdua semakin bersimpati. Setiap hari kami mengobrol dan bergurau. Hubungan yang tadinya hanya sok akrab dan canggung, sekarang menjadi akrab sungguhan.

Hari demi hari kondisiku mulai membaik, berkat perawatan dokter yang serius itu, serta semangat dan kehangatannya dalam merawatku. Tak hanya Dokter, semangat dan motivasipun banyak kuterima dari Pak Roman.

Sampai akhirnya

"Bang, kondisimu semakin membaik! Sebenarnya ini lebih awal dari Timeline seharusnya, dalam dua minggu ke depan, kau akan fokus untuk masa rehabilisasi".

"Itu kabar bagus, Bang! " lanjut kakek ngapak.

Dua minggu penuh aku seperti bayi kembali. Latihan berjalan, latihan mengangkat barang, dan proses pemulihan lainnya. Sedikit demi sedikit, pergerakanku semakin baik dan terus membaik.

***

Malam saat terakhir masa rehab, aku menulis surat paling menyedihkan selama hidupku. Tak sedikit air mata yang keluar, karena aku harus menyerah dengan cita-citaku dan mempertahankan idealisme keadilan yang kumiliki. Surat pengunduran diri dari kepolisian. Sedih untuk memutuskan ini, tapi kakek itu sudah menyelamatkan hidupku.

Besoknya, hari terakhir rehabilisasi

"Akhirnya, Bang! Kau sudah pulih kembali!" rasa senang dari dokter itu, diikuti rasa sedih karena hari ini juga aku meninggalkan rumah sakit.

Bagaimana tidak, kami sudah sangat dekat. Dibanding hubungan dokter dan pasien, kami sudah bagaikan teman akrab.

Di sisi lain, Pak Roman juga bahagia karena aku sudah pulih, dan bertanya-tanya tentang kehidupanku setelah ini.

"Aku sudah membuat surat pengunduran diri. Hari ini, aku akan mengirimkannya lewat kantor pos kota, " mencoba menenangkan Kakek ngapak.

Rehabilisasi sudah berakhir, hari ini aku bisa kembali ke rumah kontrakanku di ujung desa. Aku sudah tidak ingat kapan terakhir kali aku kembali kesana, karena selama ini, aku tinggal di Asrama itu. Aku mempunyai banyak tabungan uang, hasil dari upahku sebagai kepolisian berprestasi. Aku punya rencana setelah ini, aku tidak khawatir.

Akhirnya, Aku, Pak Roman meninggalkan rumah sakit dengan rasa terima kasih yang luar biasa.

Menunjukan rasa persahabatan, Dokter itu mengantarkanku ke kontrakan sebagai tanda pertemanan belum berakhir, sungguh dokter yang baik. Kami bertigapun menuju kontrakanku yang lusuh lama tak dirawat.

Mengucapkan banyak terima kasih kepada Pak Roman, aku membekalinya banyak uang, dan berjanji untuk mengunjungi rumahnya sering-sering guna menemaninya. Itu janjiku untuk mengobati rasa kecewanya karena tolakanku untuk menjadi anak angkatnya. Aku berpikir itu terlalu beresiko untuk orang baik sepertinya, mengingat aku adalah orang yang mempunyai banyak musuh.

Memang selalu ada hikmah dibalik suatu kejadian, walaupun kejadian kelam sekalipun. Aku mendapatkan teman yang sangat baik, aku memiliki orang tua yang harus kujaga, mengingat sebelumnya aku hanya seorang bocah keras kepala yang selalu sendirian. Sekarang aku merasa lebih hidup sebagai manusia sejati.

"Kau bilang kau punya rencana, apa yang akan kau lakukan setelah ini, Bang?" tanya dokter itu tertarik.

"Kontrakan lusuh ini akan kusulap menjadi kafe".

"Kau? Membuat kafe? Hahaha! " reaksi dokter mengejek.

"Yang benar saja, Bang! Ini adalah ujung desa. Mana ada orang yang akan berkunjung kemari!" lanjut dokter itu menertawai.

"Aku tidak peduli, aku akan tetap membuka kafe disini".

"Oke oke, aku tahu seberapa keras kepalanya dirimu! Lakukan saja yang terbaik, aku akan selalu dukung untukmu! Dan tentu saja, walaupun aku tahu kafenya akan sepi! Aku akan menjadi pelanggan tetap kafe ini".

Aku hanya tersenyum tipis, melihat kebaikannya dokter ini, aku kira dia menyuapiku saat itu karena tugas formalitasnya saja, tetapi dia lakukan itu karena memang dia orang baik.

"Baiklah, aku akan selalu siap menerimamu kapan saja, Dokter Erwin!".

"Tidak perlu pakai sebutan dokter! Ini bukan rumah sakit!".

Dasar dokter yang aneh.

***

Sudah tiga minggu aku menjalankan kafe ini. Benar kata dokter funky itu, kafe ini akan sepi. Aku tidak tahu bagaimana menjadi manager kafe yang baik, karena transisinya sangat kontras, dulu memegang senapan, sekarang memegang V60, aku baru belajar cara menggunakannya dalam tiga minggu ini. Tapi pelanggan masih saja tidak menampakkan hidungnya.

Sama seperti hari-hari sebelumnya, karena sepi tak tertolong, aku memutuskan untuk berkunjung ke Rumah Pak Roman sesuai janjiku padanya dulu. Aku tahu dia kesepian dan menungguku. Meskipun cukup jauh, aku tetap berjalan menuju rumahnya dengan membawa kopi jahe merah kesukaannya. Sebetulnya aku cukup senang karena dia menganggapku sebagai anaknya sendiri, mempunyai orang yang begitu peduli padaku, rasa senang ini tidak bohong.

Berada di rumahnya, berbincang-bincang hangat ditemani kopi jahe dengan suasana hujan di luar. Ini lebih baik daripada menjaga kafe hening itu. Kami mengobrol tentang banyak hal, terutama tentang negeri ini. Pak Roman sudah berumur, jadi dia sedikit tahu sejarah, termasuk pergantian raja sebelumnya dengan Raja Shizo. Pak Roman berkata bahwa Raja Shizo bukan penduduk asli Sioria, dia kemari bersama rongrongannya, sampai akhirnya dia menjadi raja. Awalnya banyak yang tidak setuju dengan kenyataan itu, sampai akhirnya rakyat perlahan menerimanya karena tertegun dengan kecerdasan Raja Shizo. Walaupun aku masih berpikir, saat inipun masih banyak yang tidak menyukai Raja Shizo, itulah alasan kenapa Kapten Rozy dan organisasinya melakukan pemberontakan.

Tidak lama berada di rumahnya, aku memutuskan untuk kembali ke kafe. Meskipun dia sempat menghentikanku karena cuaca hujan, aku tidak masalah dengan itu.

Sore itu, akupun berjalan kembali ke kafe dengan payung hitamku. Memakan waktu sekitar 30 menit untuk sampai kesana. Hingga akhirnya penampakan kafe itu sudah terlihat di ujung jalan.

Langkahku terhenti sejenak ketika aku melihat bocah malang dengan jas hujan memegang erat koran yang sepertinya ia jual, berdiri meneduh di seberang kafeku. Sial sekali bocah itu, hari ini tidak bisa berjualan karena hujan lebat. Melihatnya, membuatku teringat kembali dengan masa kecilku yang kelam tanpa orang tua. Berjuang mencari uang dengan keringat sendiri untuk bisa makan di hari itu.

Perlahan aku menghampirinya.

"Bocah bertopi yang disana! Kau akan kedinginan jika berdiri disitu! Menyeberanglah dan masuk ke kafeku!" teriakku dari pintu kafe.

Bocah bertopi itu dengan larinya menghampiri kafeku.

"Ayo masuklah!".

Bocah itu masih tak bicara, hanya mengikuti intruksiku saja, sepertinya dia kedinginan hebat.

Dia melepaskan jas hujannya yang basah, dan aku melihat wajahnya dengan jelas.

"Kau kan.... Tony?!!" reaksiku kaget.

"Apakah kau... BANG?!".

Ternyata dugaanku benar

Hari ini aku mendapatkan kejutan hebat, setiap hari kafeku selalu sepi, dan hari ini, putra Kapten Rozy masuk ke dalam kafeku.