Chereads / The Black - The First World / Chapter 10 - 9. Pemalas Akut

Chapter 10 - 9. Pemalas Akut

Cerita Erwin

Bel masuk kelas berbunyi, tanda istirahat sekolah sudah berakhir. Lagi-lagi dia terlambat, aku tahu dia ada dimana, di atap sekolah untuk bermalas-malasan.

Malas sekali aku setiap hari harus menaiki tangga panjang ini hanya untuk menjemputnya.

"Erwin! Bangunlah. Kenapa kau selalu berbaring disini!" kataku kesal

"Jangan menggangguku! Cuaca hari ini sangat cerah, ini kesempatan langka untuk mendapatkan pemandangan ini!" balasnya, berbaring di atap sekolah menatap langit.

"Dasar tukang tidur! , apa kau akan bolos hari ini, huh?! " jawabku seraya menariknya bangun.

"Baiklah, aku bangun. Kau ini rewel sekali!".

Namaku Theo, pelajar kelas 12 SMA, 18 tahun. Sahabat dekat dengan pemuda malas ini, Erwin. Kami berdua adalah dua siswa terpintar satu sekolah, mungkin satu prefektur, tetapi tetap saja dia selalu menjadi nomor dua. Orang ini sebetulnya cerdas, dan memiliki potensi untuk mengalahkanku, karena malasnya yang sudah tidak tertolong, dia selalu saja kalah bersaing denganku, meskipun dia tidak berniat bersaing sama sekali.

Kami berjalan menuju ruang kelas. Hasil Try Out Ujian Nasional sudah diumumkan.

"Aku mau kau melihat papan pengumuman di koridor!".

"Jadi sudah keluar ya?!".

"Aku berani bertaruh, hasilnya masih sama seperti tahun kemarin! Ini karena kau yang malas-malasan".

"Kau terlalu percaya diri".

"Jangan tersenyum seperti itu! Aku tahu sebenarnya kau sedih, haha!".

"Jangan bercanda, kau tahu sendiri aku belum benar-benar serius kan?".

"Coba lihatlah! ".

Kami berdua tiba di depan papan pengumuman, dan seperti dugaanku, aku menang lagi dengan skor sempurna. Melihat ekspresi Erwin yang tengah tersenyum sinis, nampak seperti ia menertawakan kompetisi konyol ini.

"Sudahlah, ini waktunya masuk kelas, nice try!".

***

Melanjutkan perkenalan diri. Iya, namaku Theo, hidup berdua dengan adik perempuanku, Chika, siswi SMP berusia 15 tahun. Kami berdua tinggal di rumah kecil. Berbekal laptop, aku mampu memenuhi semua kebutuhan hidup kami. Aku adalah seorang expert programmer, laptop ini satu-satunya pemberian dari orang tuaku, karena mereka berdua bekerja di luar negeri. Meskipun mereka sering mengirimi kami uang, tetapi kami sering mencari uang tambahan sebagai hobi.

Berbeda denganku, Chika adalah orang yang gemar membuat benda fisik. Dia sangat senang dengan robotik dan semacamnya, karena hal ini aku kerepotan dengan banyaknya kabel di ruangan sempit kami. Orang-orang menyebut kami sebagai keluarga yang jenius, bagaimana tidak, kedua orang tuaku adalah seorang pakar pendidikan, bahkan mereka adalah orang di balik rumitnya kurikulum sekolah tahun ini. Mereka pekerja keras, meskipun menjadi seorang pakar pendidikan di negeri orang, mereka juga membantu negara dengan rutin update kurikulum pendidikan, yang sebetulnya dirasa tidak perlu, karena kurikulum yang mereka buat sungguh menyiksa.

Keluarga Erwin sangat jauh berbeda dengan kami. Rumahnya besar, berwarna putih megah. Dipimpin oleh seorang top ilmuwan dunia, Profesor Morgan Grissham. Atau dikenal dengan sebutan Prof. Morgan. Tidak hanya Ayahnya saja, Ibu Erwin juga seorang Ilmuwan, seorang asisten setia Prof. Morgan, Profesor Scarlett Jeslyn.

Setiap kali aku ke rumahnya, mustahil untuk tidak minder setelah melihat semuanya, Ibunya yang selalu memakai gaun onepiece putih, berambut pirang. Meskipun sudah menjadi orang tua, Prof. Scarlett selalu tampil dengan anggun seperti ratu, cocok dengan desain rumahnya yang megah bak kerajaan mini. Berbeda dengan Prof. Scarlett, Prof. Morgan jarang sekali terlihat ketika aku berkunjung ke rumahnya. Kurasa dia sangat sibuk di ruang kerja pribadinya, ini wajar untuk seorang ilmuwan top dunia.

Dilihat dari manapun, kepribadian mereka sangat jauh dengan Erwin yang tengil dan super malas. Namun, pemuda super malas itu berhasil mendapati gen kecerdasan kedua orang tuanya, sangat beruntung, namun sayang dia tidak bisa menggunakann anugerah itu dengan baik.

"Hari ini aku menginap ya!" celoteh Erwin setelah bel pulang berbunyi.

"Lagi?".

"Kau tahu, rumahku sangat membosankan! Lagipula, kita harus menamatkan game konsol itu!".

"Erwin! Dua bulan lagi Ujian Nasional! Kau masih saja ingin main game?".

"Aku bisa lulus dengan mudah! Dan tentu saja dengan nilai yang baik" tanggapannya sinis.

"Terserah kau saja!" balasku kecut.

"Lagipula, Chika akan super senang jika aku membawa konsol!" lanjutnya.

"Mau bagaimana lagi, aku tidak bisa melarang kalian berdua jika sudah begini," balasku pasrah.

Erwin seringkali datang ke rumahku, membawa game konsol, bermain hingga larut dengan Chika. Kurasa wajar saja, karena di rumahnya tidak ada teman bermain. Awalnya aku kesal dengan ini, karena dia membawa adikku ke dunia kemalasan, tetapi berapa kalipun aku larang mereka, aku selalu kalah dengan sikap berontak Chika yang sangat berisik.

Mendukung hobi mereka, aku pernah sekali membuat game berbasis PC untuk mereka nikmati, dengan genre riddle puzzle agar mereka mengasah otaknya dalam game, tetapi respon mereka selalu sama, game yang sangat membosankan, karena bisa diselesaikan dengan mudah, padahal aku membuat 50 level dengan tingkat kesulitan hardest. Walaupun sikapnya miring, aku selalu mengakui kejeniusan mereka.

Dia tiba dengan konsolnya,

"Chikaaaa! Ayo main!" salam masuk yang berisik.

"Yuhuuu, kak Erwin! Ayo segera di pasang!" melihat Erwin membawa konsol, Chika langsung mengabaikan robot-robot absurdnya, lebih interest pada konsol Erwin.

"Semangat sekali ya, kalian berdua!".

"Jangan hanya nonton doang! Ayo ikut main, Theo brengsek!" ajakannya yang berhasil membuatku kesal.

"Oh, tidak terima kasih! Aku harus menyelesaikan program dari klien," balasku tersenyum kesal.

Lengkap sudah. Ruangan sempit, banyak kabel, robot-robot menyala random, kebisingan dua orang gila di sampingku yang tengah mencoba fokus. Meskipun memakai earphone, suara mereka masih nyaring terdengar.

"Kalian berdua! Bisa tidak jangan terlalu berisik! Aku sedang fokus!" celetukku emosi.

"Santai saja, Theo! Kau kan jenius, tidak perlu ngegas gitu, haha" balasnya santai.

Dasar Erwiiin!

Sulit dipercaya kalau orang ini putra dari top ilmuwan. Suatu pemandangan aneh ketika melihat putra Prof. Morgan bermain fighting game bersama adikku sambil teriak-teriak. Padahal Ujian Nasional hanya dua bulan lagi.

Pukul 23:00

Mereka sudah selesai bermain game, tanpa banyak bahasa, Chika langsung tertidur pulas karena capeknya, sementara Erwin menghampiriku untuk mengobrol serius dengan bahasan yang selalu ia curhatkan.

"Jadi, bagaimana perkembangannya?" tanyaku peka.

"Aku belum menemukannya, sudah tiga minggu terakhir ini dia menghilang".

"Begitu ya, ini sulit".

"Tiga minggu yang lalu, aku masih melihat Ayah, Ibu, dan Dina di rumah".

"Aku tahu! Lalu, apalagi hal aneh menurutmu?".

"Entah ini hayalanku atau bukan, tapi aku seperti melihat hantu di rumah, mereka berpakaian serba putih, dan menyeramkan!" nadanya menipis.

"Jangan ngaco! Hantu tidak bisa menculik manusia!".

"Kapan kau merasa melihat mereka?" lanjutku.

"Suatu hari di pulang sekolah, sebelum masuk ke rumah, aku merasa seperti ada orang berpakaian serba putih di ruang tamu, tetapi ketika aku masuk, mereka tidak ada".

"Menyeramkan sekali!".

"Apa kau tidak berniat melaporkan ini ke polisi?" lanjutku

"Tidak! Itu bukan gayaku".

"Jangan sombong! Ini situasi serius! Sudah jelas aku melihat ini sebagai kejahatan!".

"Jangan cepat membuat kesimpulan! Ini tidak sesederhana itu, mungkin cukup masuk akal ini tindak kejahatan, tetapi tidak ada satupun jejak kejahatan yang kulihat, semuanya terlalu rapi, seolah-olah mereka hilang begitu saja".

"Mungkin mereka pergi dari rumah, atau kabur ? ".

"Bisa juga, tetapi terlalu aneh jika mereka pergi dengan tidak membawa apapun, terus terang saja, semua barang-barang mereka utuh di rumahku".

"Apa kau sudah memeriksa ruang kerja Ayahmu?".

"Sudah, tapi tidak ada satu halpun yang aneh di ruangan itu, semuanya terlihat rapi".

"Ini masalah besar Erwin! Kedua orangtuamu adalah top ilmuwan kelas dunia! Dunia akan gempar jika mengetahui fakta bahwa mereka  menghilang".

"Kau yakin menyembunyikan semua ini?" lanjutku.

"Entahlah, untuk saat ini, aku hanya bisa menceritakan masalah ini padamu! Aku tahu ini berat memikul tanggung jawab sebagai putra ilmuwan top atau apalah itu, tapi aku tidak bisa melaporkannya ke polisi begitu saja, sebelum aku mencari tahu kebenarannya walaupun sedikit".

"Kau terlalu banyak gaya, tetapi apa boleh buat, itulah keputusanmu".

"Sudahlah! Aku sangat mengantuk! Kita lanjutkan saja besok masalah ini! Sekarang waktunya tidur! " kata Erwin, menguap lebar meminta tidur.

"Baiklah, ini juga sudah terlalu larut".

Masalahnya serius, aku tahu alasan mengapa akhir-akhir ini dia menginap di rumahku. Siapa yang akan tidur dengan  tenang jika kedua orangtuamu hilang begitu saja tanpa catatan apapun, ditambah ada sosok putih-putih misterius. Wajar saja jika orang malas ini akan ketakutan dan menghibur dirinya dengan konsol game di rumah sahabatnya.

***

Keesokan harinya, di sekolah

Hari inipun sama, bel istirahat selesai, aku masih saja harus menjemputnya di atap sialan itu. Orang malas itu pasti sedang rebahan disana.

"Erwin! Ayo masuk kelas!".

"Sebentar! Tiduran sambil melihat awan seperti ini membuat pikiranku jernih".

"Aku tidak peduli! Ini waktunya masuk ke kelas! Kau sudah satu jam melihat awan dan menjernihkan pikiranmu, itu sudah cukup".

"Baiklah baiklah! Aku bangun, kau tidak perlu menarikku terus".

Musim panas tahun ini lebih panas dari tahun kemarin, langit terlihat lebih biru, wajar saja si malas ini betah rebahan dibawah langit cerah, tapi aku salut pada ketidakpeduliannya terhadap panas ini.

Sekolah nampak begitu membosankan baginya, bel pulang sekolah sudah menjadi love song favorit pemuda satu ini, hingga akhirnya love song itupun berbunyi.

"Theo! Malam ini, aku menginap lagi ya!".

"Apa sebegitu takutnya kau kepada sosok putih-putih itu?" tanyaku bercanda.

"...."

"Hahaha! Erwin si penakut! Selain pemalas, kau juga penakut!" kataku provokasi.

"Yang jelas, malam ini aku ke rumahmu! Dan tentu saja, membawa game konsol, oke?!" jawabnya ketus.

"Dan tentu saja, aku akan update hasil penelitianku terhadap kasus ini," lanjutnya dengan intonasi menajam.

"Baiklah, aku tunggu! Meskipun kau harus bermain game terlebih dulu hingga tengah malam".

Pulang sekolah, kembali ke rumah sempit, bertemu dengan adik rewel pecinta robot. Ini sudah menjadi rutinitas harianku. Duduk di meja kerja, membuka laptop dan mulai coding, sambil menunggu orang malas itu tiba membawa masalah beratnya.

Jarum jam bergerak sedikit demi sedikit, hingga akhirnya sudah bergerak jauh,tetapi orang itu belum  juga kemari, jarang. Ini sudah gelap, tumben sekali dia datang terlambat.

"Kak, kok kak Erwin belum datang? Apa dia tidak menginap malam ini?!" tanya Chika.

"Entahlah, mungkin sebentar lagi dia tiba".

Jarum jam terus bergerak, lama sekali. Ini aneh, sekarang sudah pukul 22:00. Dia tidak datang. Mustahil dia mengingkari ucapannya sendiri, firasatku sudah buruk, mengingat apa yang terjadi pada orangtua dan bibinya.

"Chika, sepertinya malam ini dia tidak akan kemari, kau tidurlah saja, jangan begadang menunggu pria aneh itu".

Gawat! apa yang harus aku lakukan. Rumahnya cukup jauh jika aku kesana sekarang, tidak ada bus yang menuju kesana di jam segini. Dan jika aku pergi sekarang, aku meninggalkan Chika sendirian, yang tidak pernah kulakukan sebelumnya.

Ini sulit, mau tidak mau aku harus memastikannya besok. Untuk menghilangkan gelisah ini, dan agar besok cepat tiba, lebih baik aku tidur saja, meskipun perasaanku tidak enak.

***

Esok harinya,

Benar saja. Firasatku semakin memburuk, Erwin tidak masuk sekolah hari ini, pria malas yang hobi tidur menatap awan itu tidak ada di spot seperti biasanya. Perasaanku semakin tidak karuan.

Sepulang sekolah, bergegas aku menuju ke rumahnya. Dengan pikiran yang tidak jernih aku menuju pusat kota. Selama perjalanan aku mencoba untuk tenang, dan membuat spekulasi yang positif, tetapi itu sulit, dan konklusi yang paling masuk akal selalu mengarah kesana. Yaitu Erwin yang ikut menghilang juga.

Aku tiba

Gerbang rumah yang besar, sepi sekali.

Taman hijau sebelum pintu masuk utama, tetapi aku tidak merasakan hawa keberadaan disini. Berjalan pelan-pelan, penuh kewaspadaan. Jika dipikirkan lagi, menyeramkan juga jika aku akan bertemu sosok putih itu di tempat besar yang sesepi ini, untuk kali ini aku tidak menyalahkan rasa takut Erwin, sungguh rumah besar yang sepi.

Aku berdiri di depan pintu masuk setelah banyak langkah dari gerbang menuju kemari, halaman yang begitu luas. Baiklah, aku menekan bel pintu.

Aku menekan bel pintu lagi.

Aku menekan bel pintu lagi.

Tidak ada jawaban apapun, kurasa ini momen yang tepat untuk masuk tanpa permisi.

Aku masuk ke rumah besarnya, berdiri kaku di ruang tamu. Mataku langsung tertuju kepada pintu yang terbuka gelap, sepertinya itu rak buku yang bergeser, seperti ruang rahasia.

Tanpa ragu lagi, aku masuk ke dalamnya, gelap. Hanya tangga menurun yang panjang, kemungkinan besar Erwin ada di ujung tangga ini, atau setidaknya ini akan memberiku petunjuk tentang keberadaannya.

Langkah demi langkah aku menuruni tangga, hingga akhirnya aku tiba di ujung. Aku dihadapkan dengan ruangan luas berlampu biru terang. Tetapi aku tidak menemukan siapapun. Aku menyusuri tiap sudut ruangan dengan teliti, bersih dan tidak ada apapun, ini benar-benar hanya ruangan kosong.

***