Mimpi semalam begitu nyata, orang itu begitu tidak asing, tetapi aku tidak bisa ingat siapa dia. Orang itu begitu dekat, begitu juga tempatnya. Aku begitu santai dan merasa nyaman di tempat itu.
Pikiranku serasa mau pecah. Menumpuk sejuta pertanyaan besar dikepalaku. The Black Virus, ingatan masa lalu, mimpi jatuh dari langit, ditambah semalam bermimpi aneh. Aku tidak bisa fokus, dahiku mengkerut tiada henti. Hingga akhirnya, aku mencoba menjalani hari ini dengan kepala yang sakit.
Aku tiba di rumah sakit dengan ekspresi tak enak dipandang. Menyapa Dokter Abraham dengan tidak semangat, melambai tangan dengan lemas, Dokter Abraham pun kebingungan dengan sikapku. Aku berjalan masuk kantor untuk absen, tanpa berkata apapun, berjalan lemas menuju kamar 210. Aku terlihat seperti orang yang baru bangun tidur.
Aku buka pintu, refleks kulemparkan berkas di tangan kananku, berteriak panik seraya berlari kencang ke arah ranjang.
***
Cerita Roy
Sudah lama sekali aku tidak menemuinya, gadis patung yang secara instan menjadi gadis cerewet karena baru saja menyadari betapa menyenangkannya berbicara. Aku khawatir, karena hanya kepadaku dia berani seperti itu. Dia masih terlalu tertutup untuk berbicara dengan orang lain. Aku harap, pikiranku salah.
Ini sudah lima bulan aku tidak ke tepi sungai.
Dan sekarang aku sendirian, hidup dalam kesedihan yang dalam, kebencian yang besar, rasa amarah yang meluap-luap.
Aku menjadi sangat kotor, sangat liar.
Aku sudah tidak tahu lagi arti hidup.
Aku kehilangan alasan untuk bergembira.
Itu karena hidupku yang kelam, ditusuk jutaan anak panah hitam yang tepat sasaran menuju kepalaku, terus-menerus.
Saat itu,
Aku fokus seharian menemani ibuku yang sakit parah, hari demi hari sakitnya semakin menjadi. Aku hanya bisa merawatnya di rumah dengan perawatan yang super sederhana, aku tidak mampu membeli obat, apalagi membawanya pergi ke rumah sakit. Dari dulu ibuku memang seperti ini, berbadan lemah, tetapi kali ini benar-benar berbeda, sakitnya yang ia alami seakan mengatakan jika dia akan mati sebentar lagi. Dalam kondisi seperti ini, tidak mungkin aku dengan santainya pergi menemui gadis di tepi sungai. Karena ini, aku bekerja lebih giat dan lebih keras dibanding sebelumnya, menabung untuk membeli obat yang mahal.
Ibuku lemah. Namun, tidak selemah hatinya. Dia adalah manusia paling baik yang kukenal, dibalik tubuhnya yang lemah, dia selalu memaksakan diri bekerja berjualan di pasar, untuk biaya makan kami hari itu juga, hingga akhirnya tubuhnya tidak bisa mengikuti kata hatinya lagi. Dia benar-benar kesakitan.
Kami tinggal di rumah gubuk kecil, satu petak dan beralas tanah, beratap rusak sehingga membuatku selalu memanjatnya di kala hujan, untuk memperbaikinya karena selalu bocor. Keluargaku hanya terdiri dari aku dan ibuku, jangan tanyakan kemana ayahku pergi, karena aku sama sekali tidak menganggapnya sebagai ayahku. Kurasa, dialah yang membunuh kami secara perlahan.
Ayahku kabur dari rumah, dengan meninggalkan banyak hutang kepada keluarga kami, atas nama ibuku. Itu membuat ibuku bekerja keras untuk membayar hutangnya, walaupun kau tahu sendiri, untuk makanpun kami kesusahan setengah mati. Ingin rasanya aku menendang kepala Ayahku ketika suatu saat aku bertemu dengannya. Aku sudah tidak tahan lagi melihat ibuku menangis karena dibentaki terus menerus oleh para penagih hutang itu, padahal tubuhnya sangatlah lemah. Aku hanya bisa mengepal tangan, kesal kepada diri sendiri karena tidak bisa berbuat apapun. Inilah takdirku sebagai orang miskin.
Di balik kelamnya kami, aku tidak bisa bohong tentang betapa hangat dan ramahnya ibuku ketika bersamaku. Dari situ aku menyadari, betapa kuatnya wanita ini. Menahan sejuta anak panah dalam hati dan pikirannya, untuk tetap melempar senyum hangat kepada anak satu-satunya. Di sisi lain, aku tidak tahu bagaimana perasaannya kepada Ayah brengsek itu, aku tidak bisa melihat sedikitpun ekspresi dendam di wajahnya. Padahal, di wajahku sudah jelas terlihat beribu kebencian, dendam, dan rasa amarah.
Hari itupun sama, mereka membentaki ibuku habis-habisan. Karena jatuh tempo hutang sudah lama terlewati, mereka adalah manusia-manusia yang tidak punya hati. Ibuku masih bisa berdiri meskipun kakinya gemetar, aku masih saja payah, tak bisa bergerak dan berkata apapun. Orang-orang berjas hitam itu terlihat menyeramkan, mereka banyak, berbadan besar, dan suara yang keras. Layaknya singa yang menerkam kelinci pincang, aku merasa kasihan pada ibuku, tetapi aku tidak bisa melawan kepada mereka, karena posisi mereka tidaklah salah. Lagi-lagi, aku hanya bisa diam di kala ibuku diterkam banyak singa. Aku membenci diriku sendiri.
Ibuku adalah orang yang baik, aku tidak akan bisa melupakannya.
Hingga akhirnya,
Ibuku meninggal dengan tragis, pria-pria berjas hitam itu membunuh ibuku dengan cara yang paling menyedihkan. Mereka dengan paksa membawa ibuku, aku masih sangat ingat bagaimana ibuku menjerit kala itu.
Ibuku dibawa
Ibuku dijual untuk menjadi budak
Ibuku diperkosa beberapa kali
Ibuku dibunuh oleh majikan kejam itu layaknya sampah.
Aku sudah menyerah,
Aku sudah menyerah untuk melawan
Aku tidak mempunyai kekuatan sama sekali
Aku tidak punya kehidupan,
Mungkin benar apa yang ada dalam pikiran mereka
Kami adalah sampah
Sehingga dengan mudahnya mereka bisa membuang nyawa seseorang yang kuanggap sebagai malaikat.
Aku membenci dunia ini
Aku membenci ayahku
Aku membenci semua hal
Aku membenci diriku sendiri
Tidak bisa diperbaiki, kehidupanku seperti ini. Terlalu dalam tenggelam dalam laut kegelapan. Dan aku tidak punya apapun untuk membantuku berenang menuju permukaan. Dan lagi, aku lupa caranya berenang.
Hingga akhirnya terbesit dipikiranku untuk mengakhiri hidup.
Itu mudah, aku hanya tinggal melompat dari gedung tinggi, hanya membutuhkan tali untuk diikat ke leherku, hanya menusukkan pisau ke perutku beberapa kali.
Namun, sayangnya aku pengecut, tetapi tekadku kuat.
Untuk menengahinya, aku membuat satu keputusan terakhir. Keputusan paling berat dalam hidupku.
Aku akan datang ke tepi sungai, membawa pisau, untuk menemui gadis itu.
Jika aku tidak menemukannya, maka saat itu juga aku akan menusukkan pisau ini ke perutku beberapa kali.
Jika aku menemukannya, aku masih mau memaafkan diriku, dan menerima kenyataan bahwa masih ada setitik cahaya dalam hidupmu.
Hari itupun tiba
Aku datang ke tepi sungai
Rambutku sudah sangat panjang dibanding terakhir aku kemari
Memakai baju gembel yang sudah kekecilan
Menggenggam pisau di tangan kananku.
Aku tiba disana
Sore hari seperti kala itu
Dan benar
Aku tidak menemukan seseorangpun
Aku menyadari
Aku memang sendirian
Manusia yang tidak punya harapan
Tidak punya cahaya
Aku membalikkan badan
Menangis hebat untuk pertama kalinya
Gemetar memegang erat pisau
Aku berteriak
.
.
.
"Roooooy!!"
Hug!
Tiba-tiba terdengar suara gadis dari ujung jalan yang aku tahu ini suara siapa, berlari kencang menghampiriku, memelukku erat dari belakang.
"Rooy! Aku sudah lama menunggumu! Kemana saja kau selama ini?!!" gadis itu terisak.
Aku tidak tahu alasan gadis ini menangis.
Akupun melepaskan genggaman pisau dari tanganku.
Dan ikut menangis.
Sampai akhirnya, pada sore hari, dengan langit berwarna orange, terlihat dua orang bodoh menangis di tepi sungai.
Yang satunya terlihat sangat cantik dengan setelan mewah, memeluk orang kotor dan bau dengan setelan gembel.
Aku percaya
Aku masih bisa melanjutkan hidupku
Karena aku masih memiliki cahaya kecil
***
Tiga bulan kemudian
"Oh lihatlah, si gelandangan sudah datang! Haha!".
"Berisik kau, dasar gadis manja!".
"Sudahlah, kalian tidak harus selalu adu mulut ketika bertemu! Berhenti membuat dahiku mengkerut!".
"Ini tentu saja salah si gelandangan! Marahi saja dia! Pak Dokter!".
"Ini bukan salahnya! Ini salah kalian berdua!".
"Dengar itu, gadis manja!".
"Itu artinya, kau juga salah, Roy!".
"Hahaha dasar gelandangan!".
"Lagipula, kenapa kau selalu keluyuran?! Padahal kau sudah tinggal disini. Setidaknya, kau bisa membantu Bang menjadi pelayan kafe!".
"Aku punya kehidupan di luar, Pak Dokter!".
"Maksudmu sebagai gelandangan?! Hahaha".
"Diam kau! Gadis manja yang cerewet!".
"Kau juga, Bella! Aku masih heran kenapa kau menjadi secerewet ini?! Padahal dulu kau sangat pendiam!".
"Aku tidak cerewet! Aku hanya menggerakkan mulutku dengan baik! Aku bisa menggunakannya semauku, karena ini milikku sendiri!".
***
Aku buka pintu, refleks kulemparkan berkas di tangan kananku, berteriak panik seraya berlari kencang ke arah ranjang.
Aku bergerak cepat, nafasku tidak teratur, aku panik!
Frieda tidak ada di ranjangnya,
Dia menghilang!
Tunggu dulu
Tunggu dulu
Aku harus tenang
Terlalu banyak hal aneh yang kupikirkan,
Dan sekarang aku mendapatkan bom kejutan. Aku harus tenang.
Cobalah analisa
Frieda tidak ada dalam kamar,
kemungkinan ke kamar mandi kecil, karena tubuhnya sangat lemah, dia membutuhkan seseorang untuk bisa berjalan.
Kemungkinan dia kabur sangat tidak mungkin.
Kemungkinan yang paling masuk akal adalah, dia diculik!
Tapi bagaimana,
Kamar ini terlihat begitu rapi
Nampak seperti tidak ada pergerakan dari penculikan, apakah dia benar diculik?
Kepalaku panas
Kemana Frieda?!
Tenang!
MANA MUNGKIN AKU BISA TENANG!!
Aku berlari keluar kamar, berlari sangat kencang, panik luar biasa, bukan karena dia wanita misterius, tetapi dia juga seorang pengidap! Terlalu berbahaya dia berkeliaran di luar!
"DOKTER ABRAHAAAM!!".
"Erwin!".
"Ada apa? Kau terlihat sangat takut?".
"Gadis cantik di kamar 210....Hilang!".
"Benarkah? Apa kau bercanda?!"
Dokter Abraham ikut panik.
"Ayo kita cek ke kamarnya! Panggil polisi cepat! Kemungkinan ini penculikan!" perintah Dokter Abraham sigap.
Pandanganku masih tak karuan, napasku tidak teratur, kepalaku pusing. Ini terlalu tiba-tiba, disaat kepalaku sakit dihadang banyak pertanyaan, kenapa dia menghilang begitu saja!
Aku diam mencoba tenang, sambil melihat inspektur dan para polisi sedang menganalisa kamar 210.
"Bagaimana ceritanya dia bisa menghilang! Apa yang kau lakukan!" pertanyaan Dokter Abraham nampak marah.
"Aku tidak tahu," jawabku lemas.
Ini pertama kalinya dalam karirku sebagai dokter, ada seorang pasien yang hilang. Terlebih dia seorang pengidap The Black Virus, ini terlalu gawat. Aku bisa tahu alasan mengapa Dokter Abraham bisa semarah itu.
Hampir 30 menit kami menunggu hasil investigasi mereka, hingga akhirnya mereka selesai, dan tidak menemukan apapun yang janggal.
Satu-satunya yang janggal adalah, dia menghilang begitu saja, tanpa ada satupun yang janggal.
Ini berbahaya.
Pihak kepolisian menetapkan ini sebagai kasus serius. Bahkan mereka memasang poster buronan untuk Frieda dengan harga yang tinggi.
Dan sekarang, Frieda yang kemarin kukenal, menjadi buronan negara.
Terlalu cepat,
Kukira aku akan mendapatkan petunjuk untuk mengetahui masa laluku dan misteri dari mimpi itu.
Inspektur dan para polisi meninggalkan rumah sakit dengan keputusan hebat itu. Sementara aku masih saja kebingungan, panik, takut dengan apa yang sebenarnya terjadi. Padanya, dan padaku. Karena aku yakin, setidaknya ini berhubungan dengan misteri itu.
Karena aku memegang secarik kertas ditanganku.
Ini surat singkat Frieda untukku, yang kutemukan di pojok kasur, dan langsung kuambil tanpa memberitahu siapapun, karena ini sangat rahasia dan personal.
Isi suratnya adalah,
"Erwin, aku sudah mengingat semuanya!".
***