Chereads / The Black - The First World / Chapter 7 - 6. Ratu Sekolah

Chapter 7 - 6. Ratu Sekolah

Cerita Bella

Isabella, namaku.

Akrab dipanggil Bella, usiaku 16 tahun.

Sekolah di SMA khusus wanita di kotaku.

Badan pendek berambut pirang. Sama seperti ibuku, hanya saja, dia tinggi.

Rumahku besar, memiliki banyak ruangan, bahkan taman yang luas. Aku hidup bersama pembantu dan para penjaga rumah yang disewa oleh kedua orangtuaku. Itu karena mereka berdua sangat sibuk. Bahkan ayahku bekerja di luar negeri untuk memajukan bisnisnya. Sementara ibuku, dia sibuk dengan pekerjaannya di pusat kota sebagai wanita karir.

Hidup sendirian di rumah sebesar ini, sangat membosankan. Maria hanya mengepel, memotong rumput, dan menyiapkan makan untukku, dia bukanlah teman bermain, dia juga punya banyak pekerjaan yang harus dilakukan di rumah besar ini.

Mustahil juga aku bisa bergurau dengan tiga orang kaku yang selalu berbadan tegap itu. Tampang mereka menyeramkan dan selalu memasang wajah mengintimidasi. Aku yakin Ayah membayar mahal mereka.

Dingin sekali

Aku bahkan lupa terakhir aku senyum di rumah ini. Otot mulutku terlalu lama tak kugerakkan, bahkan bicarapun sempit dan minim. Mungkin Maria dan tiga penjaga memandangku sebagai gadis yang dingin lagi anggun. Bukan karena apapun, ini hanya aku saja yang lupa caranya tertawa.

Bukan hanya di rumah

Di sekolah, aku menjadi patung seharian, tak berbicara. Duduk di pojokan memandang jendela, tidak ada kawan.

Seperti perkataan banyak orang, aku gadis yang imut lagi cantik. Bagaimana tidak, rambutku pirang, tak seperti kebanyakan temanku. Namun, sikapku sangat dingin, bak ratu berduri. Semua teman sekolahku membenciku, mungkin karena iri. Gadis yang cantik, keluarga kaya raya. Semua gadis di sekolahku tidak mengharapkan kehadiran seorang Bella. Jadi, sama saja. Aku tetap sendirian, baik di rumah maupun di sekolah.

Pandangan semua gadis seakan ingin membunuhku, mata menajam dan mulut menurun. Tak jarang mereka melabrakku di gerbang sekolah, mengeluh karena pria yang mereka sukai, ternyata suka padaku.

Ya, kau benar. Tepat di seberang sekolah ini, SMA umum berdiri disana. Dan lagi-lagi semua pandangan cowok selalu sama padaku, yaitu pandangan mesum. Lengkap sudah, pandangan cewek nampak seperti ingin membunuhku, pandangan cowok nampak seperti ingin tidur denganku. Aku selalu membenci kota ini. Tidak, mungkin negeri ini.

Tak hanya sampai disitu kalian mendengar kisah sekolahku yang kelam. Tak jarang mereka membawaku ke toilet, lalu menjahiliku dengan keterlaluan. Aku dimaki-maki habis-habisan, rambutku dijambak, tubuhku didorong hingga jatuh, tubuhku disiram dengan seember air. Setidaknya ini sudah terjadi berulang kali, hingga aku terbiasa. Aku sama sekali tidak peduli atau sedikitpun tidak berpikiran untuk membalas perbuatan para kera itu.

Aku hanya sendirian, hanya itu fakta yang aku tahu.

Pulang ke rumah dan ditanya oleh Maria

"Kenapa bajumu basah, Isabella?".

Ah, lagi-lagi pertanyaan yang sama. Tentu saja aku menjawabnya dengan jawaban yang sama.

"Di sekolahku hujan".

Aku tidak peduli dengan reaksinya, atau dengan keyakinannya bahwa itu sungguhan atau bohong, aku hanya menjawab spontan dan langsung menuju ke kamarku.

Ada yang berbeda di esok hari

Hari ini bukan para kera betina yang menjahiliku sepulang sekolah, tapi para kera jantan seberang sekolah. Aku juga terkejut, ini pertama kalinya mereka bergerak, sebelumnya mereka hanya memandangiku dengan tatapan kotor. Dibawanya aku ke gang kecil, gelap, kotor, bau. Aku dikelilingi lima pria yang daritadi sudah senyum-senyum tidak jelas.

"Nona manis! Mau kau pergi bersama kami?!" celetuk salah satu kera

"Ayolaah! Jangan hanya diam membatu begitu! Kami akan membawamu ke tempat yang menarik!". Diikuti kera lainnya.

Kera ini berisik sekali.

"Ayo ikutlah bersama kami!!". Paksaannya seraya memegangi tanganku dengan sangat erat.

Aksi itu diikuti temannya yang lain, mereka memegangi tanganku, memegangi pundakku. Kali ini aku ketakutan. Benar-benar ketakutan.

Aku menutup mataku, tak bisa berbuat apa-apa.

Semakin erat kumenutup mataku, ketakutan luar biasa.

Terdengar suara kera lainnya

"Woi! Lepaskan gadis itu, bocah mesum!".

Mendengar suara itu, aku berani membuka mataku perlahan.

Terlihat di depanmu seorang pemuda seusiaku, dengan baju lusuh, badan bau, tidak memakai alas kaki. Sepertinya orang ini gelandangan.

"Woi! Apa maksudmu memanggil kami bocah?! Dasar gembel!" ujaran kera yang menggenggam tanganku.

"Aku bilang, lepaskan gadis itu! Atau kalian akan kuhajar!".

"Jadi kau mau mencari gara-gara dengan kami, huh?!".

Tidak terasa, empat kera sudah mengepung si gelandangan, sementara aku masih erat dirangkul.

"Sepertinya kau meminta bonyok hari ini ya, gembel?!" serangan pertama dari pihak kera.

Aku yang disandera hanya bisa menyaksikan pertarungan amatir mereka,

Memukul kesana kemari, kurasa memang seperti inilah kera berkelahi.

Tak seperti ekspetasi, Si gelandanganpun tak bisa bertarung, dia hanya bermodalkan semangat dan teriakan yang berisik, pertanda dia tidak mau kalah.

Pukulan demi pukulan diterima oleh si gelandangan, sampai iapun terkujur jatuh ke tanah. Para kera tersenyum bangga.

Sebelum para kera selebrasi, si gelandangan berisik ternyata masih sanggup berdiri. Dengan tatapan tajam mengarah padaku, dengan cepat dia berlari ke arah kera yang merangkulku lalu menendang kepalanya dengan tehnik liar yang keren. Sontak, kerapun terjatuh kencang, si gelandangan dengan cepat menarik tanganku kemudian membawaku lari secepat-cepatnya. Sambil terus menengok ke belakang, nampaknya para kera tidak bisa mengejar kecepatan kami berlari. Gelandangan ini membawaku berlari sangat kencang, bak seekor cheetah berlari.

Kami berhenti di tepi danau pinggiran kota. Aku baru pertama kali ke tempat ini, pedesaan yang berwarna hijau.

Napasku tak henti-henti menarik udara dengan cepat, kakiku sangat pegal dibuatnya, keringat membasahi seragam putihku. Aku kira hari ini seragamku tidak akan basah karena para kera betina itu tidak menjahiliku, tetapi tetap saja basah, karena banjir keringat.

Seketika kami berdua duduk di tepi sungai itu, diapun kelelahan hebat. Kami berdua tidak saling bicara dalam waktu yang cukup lama, karena kami fokus mengatur napas.

"Kau payah sekali! Dijahili para bajingan itu, kau malah diam saja!" akhirnya dia memulai pembicaraan, dengan nada tinggi dan kesal.

Aku tidak tahu cara membalas ucapannya

"Jangan diam saja!! Kau bisa bicara kan!" bentakannya.

"B.. Bisa".

"Ternyata bisa bicara ya!" dia tetap terlihat kesal.

Orang ini berbeda, dia tidak membahas fisikku sedikitpun, pandangannya kepadaku tidak mesum, tetapi nampak begitu marah.

"Kau ini jangan terlalu diam! Bicaralah yang banyak! Karena mulut itu milikmu, kau bisa menggunakannya semaumu!"

Aku hanya tersenyum

"Kenapa kau hanya tersenyum!! Bicaralaaaah!!" nadanya semakin kesal.

"Isabella!" balasku pelit.

"Isabella?"

"Itu namaku, kau bisa memanggilku Bella!".

"Bella? Baiklah, mulai sekarang kau menjadi temanku!".

"Temanmu?".

Itu kalimat yang pertama kali kudengar selama 16 tahun ini, baru pertama kali ini aku bersyukur mempunyai telinga.

"Iya! Temanku, namaku Roy!".

Roy! Dia temanku! Aku serius menganggapnya teman! Aku bersyukur si gelandangan ini mau berteman dengan orang sepertiku! Aku harap hubungan kami akan baik-baik saja.

"Roy ya?! Baiklah, mulai hari ini, kita berteman!" balasku bahagia.

Aku pulang ke rumah dengan perasaan yang berbeda, hari ini aku berhasil berteman dengan manusia. Dia memiliki tendangan yang keren, meskipun bajunya jelek dan tubuhnya sangat bau, tetapi aku tetap bahagia bisa dipertemukan dengannya.

***

Masih di tepi danau. Ini menjadi tempat dimana kami berdua bertemu, melakukan hal klasik. Saling menceritakan diri masing-masing, menceritakan masalah, ini adalah sesi curhat pertama dalam hidupku. Aku baru tahu, ternyata berbicara semenyenangkan ini. Karena Roy, aku menjadi pandai berbicara, dan sedikit bisa berekspresi.

Besok, besok, dan besoknya lagi, kami sering bertemu disini. Dengan membawa keranjang berisi sandwich buatan Maria, yang seharusnya aku makan ketika waktu istirahat siang, aku tidak memakannya sama sekali, demi sore ini. Menyantap Sandwich berdua dengan Roy, seraya mendengar masalah hidupnya yang rumit, diapun mendengar masalah hidupku yang rumit. Kami berdua memiliki masalah yang serius, dan aku senang dia mau menceritakannya padaku. Sekali lagi, aku merasa bahagia memiliki telinga yang masih bagus.

Seperti yang aku bilang, Roy adalah orang yang bermasalah. Dia sering menceritakan tentang masalah keluarganya, aku bersimpati terkait ini, tetapi aku kebingungan apa yang harus kulakukan. Keluarganya sangat miskin, dan tidak harmonis sama sekali, karena itulah, Roy tidak bersekolah, dan bekerja di pasar loak sebagai kuli panggul, untuk bertahan hidup.

Karena Roy orang bermasalah, dia khawatir untuk berteman dengan gadis super manja sepertiku. Namun, aku selalu memohon-mohon kepadanya untuk tetap mau berteman denganku. Jika dia benar-benar menghilang, mungkin inilah hal yang paling menyakitkan bagiku dibanding jambakan para kera betina itu.

Hingga akhirnya, tiba hari dimana aku datang ke tepi danau dan dia tidak datang,

memandangi sungai dan matahari yang perlahan tenggelam sendirian tanpanya. Namun, aku percaya padanya suatu hari dia pasti akan datang menemuiku, seperti biasanya. Memakan sandwich sendirian dan mendengar kicauan burung yang mulai pulang ke rumahnya memanglah sedih, tetapi aku sangat percaya padanya. Aku berusaha untuk melakukan apa yang dia selalu katakan padaku. "Jangan murung! Gerakan mulutmu, karena itu milikmu sendiri!". Aku tidak murung sama sekali, itu karena aku sangat percaya dia akan kembali ke tempat ini. Karena dia adalah temanku, dan aku adalah temannya.

***

Dua bulan kemudian

"Kulihat, kakak setiap hari duduk disini!"

Aku tengok ke arah belakang, seseorang anak kecil mengajakku bicara.

"Aku sedang menunggu temanku!".

"Kakak yakin dia akan datang kemari?".

"Tentu saja aku yakin, dia adalah temanku!"

"Begitu ya! Aku punya ide bagus. Bagaimana jika kakak mampir ke kafe kami di ujung jalan sana! Minumannya enak-enak lho!" ajakan anak ini riang sekali.

"Tapi aku harus tetap disini!".

"Kakak bisa menunggunya di kafe! Dari jendelanya, tempat ini tetap bisa kakak lihat kok!"

"Ah, kalau begitu, baiklah!" menanggapi ajakannya yang semangat, aku ikuti saja ajakan anak kecil ini.

Kring

Suara bel pintu kafe berbunyi

"Ah, selamat datang di Bang Cafe! Akhirnya kami mendapat pelanggan, silahkan cari tempat duduk terbaikmu dan pesanlah apa yang kau mau" sapaan ramah penjaga kafe.

Aku memutuskan duduk dekat jendela, fokus melihat ke arah danau.

Di samping kiriku, duduk seorang pria berkacamata, bertanya kepadaku

"Kau lemas sekali! Apa tubuhmu demam?!" tanya pria itu.

"Aku baik-baik saja".

"Berhati-hatilah, sekarang sedang ada wabah berbahaya, jika tidak menjaga kesehatanmu, kau akan mudah terkena".

"Wabah itu ya? Aku tau. Jangan khawatir, aku bukan pengidap".

Anak riang tadi masih saja menempel, sepertinya dia suka padaku.

"Kakak mau pesan apa?" tanyanya riang.

"Oh, jadi kau pelayan kafe ini ya?".

"Baiklah, aku ingin jus stroberi!" lanjutku.

"Jus stroberi segera dataaang!" anak itu begitu riang, mudah sekali baginya untuk tertawa.

Aku sedikit iri padanya.

Aku harap, Roy ada disini.