Orang-orang mulai memujiku lagi. Katanya, aku dokter yang baik, ramah kepada pasien dan hebat dalam menangani penyakit. Aku punya nama yang bagus di Rumah Sakit ini, padahal aku hanya seorang dokter baru.
"Erwin, seperti biasa kerjamu hebat sekali, hahaha. Tak sia-sia aku menjadikanmu muridku."
Dia adalah Abraham, direktur Rumah Sakit. Jika kuceritakan perawakannya, dia seperti pria tua berjenggot dengan kemeja hawai dan kacamata hitam yang selalu siap untuk meneropong seluruh gadis seksi di pantai. Seperti itulah dia, mesum. Tidak hanya mesum, dia juga mudah sekali menertawakan sesuatu, jika kau berjumpa dengannya, kau pasti berpikir dia hanya pria tua mesum yang selalu energik. Namun sayangnya tebakanmu akan salah, dia adalah si direktur rumah sakit, Abraham Sinople. Orang-orang memanggilnya Dokter Abraham, seorang harapan negeri yang disebut-sebut sebagai dokter terhebat di Negeri ini.
Sambil merangkul pundakku, dia berkata dengan ekspresi konyol
"Erwin, bagaimana menurutmu tentang pasien di kamar 210? Dia cantik sekali lho!" kakek menyebalkan ini mulai merayuku.
"Kamar 210? Itu artinya dia pasien The Black Virus?!" timpalku.
The Black Virus, epidemi yang mulai menyebar 4 bulan terakhir. Di Rumah Sakit kami, kami mengisolasi mereka di kamar 200 sampai 300.
The Black Virus adalah penyakit yang berbahaya, gejalanya ialah ; badan yang sangat lemah sekali, hingga kau ada di titik dimana kau tidak bisa bergerak sama sekali, lalu disertai bola mata yang perlahan menghitam seluruhnya, oleh karena itu kami menyebutnya The Black Virus.
Sampai saat ini, kami belum benar-benar menemukan vaksinnya, kami hanya bisa merawatnya sementara di ruang isolasi.
"Meskipun kau merayuku, dia adalah seorang pasien. Tidak mungkin aku menggoda pasienku sendiri !" lanjutku.
"Hahaha, kau memang Erwin! Jika begitu terus, kau tidak akan mendapatkan kekasih tau! ".
"Sudahlah pak, ini bukan waktunya untuk bercanda!" tegasku.
Kulanjutkan ceritanya
The Black Virus tidak seenteng yang kalian pikirkan, bahkan isolasi yang dilakukan sangat ketat. Itu karena The Black Virus bisa menular hanya dengan kau menyentuh si pengidap.
Mengapa aku begitu marah kepada Pak Abraham? Itu karena membercandakan The Black Virus nampaknya bukan hal yang benar, disaat sisa umur pengidap hanya tersisa beberapa bulan lagi saja, bercanda adalah tindakan yang tercela.
Tidak sembarangan, yang dapat menangani pasien The Black Virus hanyalah dokter-dokter senior saja, atau dokter yang hanya direkomendasikan. Pemula sepertiku tidak mempunyai izin untuk terjun langsung di garda terdepan. Oleh karena itu, ketika pak tua itu merayuku tentang pasien The Black Virus yang cantik, aku langsung tahu itu hanya lelucon dia saja. Memang hanya saja, leluconnya tidak asik.
"Sampai kapan kau menganggap ini lelucon, Pak?!"
Tiba-tiba suasananya berubah
"Aku sama sekali tidak bercanda soal ini, Bocah!" raut mukanya serius.
"Asal kau tahu, dokter yang terjun langsung banyak yang depresi, tidak ada yang bisa menjamin nyawanya! Mereka menangani pasien dengan wajah yang penuh kecemasan!" lanjutnya tegas.
"Erwin, kau harus selalu ingat ajaranku. Apapun situasinya, segenting apapun kondisinya, kau harus tetap tersenyum kepada pasien, tangani mereka dengan ketulusan dan kasih sayang".
Setelah Dokter mengatakan itu, pikiranku tentang The Black Virus semakin runyam. Kita sudah berapa di tahap dimana seorang dokter terhebat bercanda untuk menenangkan hatinya. Tak biasanya juga Dokter Abraham berkata seserius itu.
"Baik, pak!" tubuhku refleks tegap.
***
Ah
Hari ini capek seperti biasanya, menjadi dokter memang bukan hal yang mudah.
"Bagaimana harimu hari ini, Erwin?!"
"Berdebat dengan Direktur, " jawabku lemas.
"Hah?! Lagi?! Dengan si Abraham itu?!".
Sepulang dari Rumah Sakit, rutinitasku berikutnya adalah nongkrong di Bang Cafe. Kafe yang terletak tidak jauh dari Rumah Sakit, aku suka berada disini. Mungkin dibandingkan semua tempat yang ada, tempat ini adalah tempat terbaik untukku menenangkan pikiran.
"Bang, kemana yang lain?!".
"Bella sepertinya masih di jalan menuju kesini, ini pukul 16:00, sebentar lagi dia akan sampai".
"Roy?".
"Ah, Entahlah. Anak itu tak kenal aturan".
"Bocah bertopi?".
"Maksudmu Tony? Dia ada di kamar, menyendiri seperti biasanya, sepertinya dia masih tidak suka padaku, dan kenapa kau juga memanggilnya dengan sebutan itu? ".
"Aku hanya mengikutimu saja, Bang! ".
Ini adalah Bang Cafe. Bukan Kafe biasa, kafe ini jarang sekali kedatangan pengunjung. Pengunjung tetapnya hanya kami. Aku, Roy, Bella, Tony, dan Bang si pemilik kafe.
Bukan Kafe biasa, seperti perkataanku sebelumnya. Ini lebih cocok disebut tempat menenangkan pikiran. Kami disini seringkali berkumpul, walau beda usia, beda latar belakang, beda profesi. Namun, kami selalu mencurahkan masalah kami disini.
Bang, si pemilik kafe sudah seperti kapten kami. Dia orang bijak yang selalu mendengarkan masalah kami, dan memberikan solusi yang general dengan kopi yang rasanya biasa saja. Namun entah kenapa, kebersamaan kami di kafe begitu terasa hangat dan menenangkan .
Tiba-tiba terdengar panggilan dari arah pintu masuk
"Bang, seperti biasa. Aku memesan jus alpukat!".
"Setidaknya duduklah dulu, Nona judes!".
"Masa bodoh! Aku pelangganmu"
Gadis ini bernama Bella, gadis paling populer di sekolahnya karena cantik serta sikapnya yang dingin dan anggun. Namun, perlu dimaklumi memang seperti itulah sikapnya, bak putri kerajaan yang angkuh. Karena suatu alasan, gadis ini setiap hari berkunjung ke Bang Cafe, tak jarang Bang mendengarkan curhatannya. Bang sudah seperti pamannya yang paling bisa ia andalkan.
"Wow, coba lihat. Di sampingku ada dokter muda yang terkenal, Dokter Erwin. Hahaha! Apa kabar, Pak Dokter?!". Cara menyapanya aneh, dibandingkan dengan putri kerajaan yang anggun, menurutku dia lebih mirip dengan penyihir. Seperti biasa, alisku mulai mengkerut apabila dia datang. Tidak tahan dengan sikapnya yang narsis.
Tiba-tiba suara berisik lainnya menyusul dari arah pintu yang sama
"Bang, apa hari ini kau punya bir?!"
"Tidak untukmu, Bocah!" jawab Bang kesal.
"Haha, coba lihat berandalan disana, menyedihkan sekali".
"Siapa yang kau sebut berandalan, dasar Cewek Narsis?!" balas pemuda itu marah.
"Tidak ada bir disini, Bodoh! Pergilah sana! Hush!" balas Bella mengejek.
Pemuda ini bernama Roy, pria liar yang selalu bersikap kasar. Namun di suatu momen tertentu, dia menjadi orang yang paling baik hati. Berbeda dengan Bella, Roy tidak melanjutkan sekolahnya. Dan karena suatu alasan, Roy menjadi salah satu penghuni kamar Bang Cafe, berdua dengan si bocah bertopi.
"Ejekanmu sudah berlebihan, Bella!".
"Bang, Erwin. Sebagai orang dewasa, cobalah kalian ajari Bella sopan santun!" lanjutnya.
"Mereka merasa aneh bila mendengar kalimat itu darimu Roy! Hahaha!" timpal Bella.
Kedua bocah ini memang tidak pernah akur ketika bertemu, selalu berisik. Dan seperti biasa, apabila Roy datang disaat Bella ada disana, Alisku tambah mengkerut, kali ini kelihatan dengan jelas urat di dahiku. Tak tahan dengan debat kusir mereka.
Tak lama dari itu, keluar anak kecil bertopi dari pintu kamar Bang Cafe.
"Yuhuuu, semuanya sudah berkumpul! Daritadi aku sudah menunggu kalian! " teriak anak kecil riang berlari menghampiri kami.
"Tonyyy!" reaksi Bella senang menghampiri bocah itu.
Anak ini bernama Tony, anak yatim piatu. Bang mengdopsinya untuk tinggal di Bang Cafe bersama Roy. Bedanya, Roy adalah anak yang super liar, bahkan Bang sendiri sulit untuk mengontrolnya. Tony hanyalah bocah polos yang ceria. Karena suatu alasan, sikapnya berbeda kepada Bang, kadar cerianya ia sengaja kurangi. Dia juga berperan sebagai kesatria penyelamat alis kerutku, karena hanya dengan kedatangan dia, perdebatan absurd Roy dan Bella bisa berakhir.
"Suasana seperti biasanya ya, bagaimana menurutmu, Erwin?!" tanya Bang.
"Aku tidak terlalu membencinya, walau diluar nampak berantakan, aku percaya sebenarnya mereka semua bersenang-senang".
"Termasuk engkau?".
"Huh, kau membuatku terlihat seperti orang yang sangat depresi".
Jika dipikirkan lagi. Aku teringat perkataan Dokter Abraham. The Black Virus, dan para dokter yang tengah depresi.
Lalu dengan intuisi yang tajam, Bang bertanya dengan pertanyaan yang menancap
"Erwin, apakah pihak medis sudah menemukan solusi untuk Virus ini?" volumenya menajam.
"Masih belum, " jawabku singkat.
Bang spontan bertanya dengan mengangkat suara
"Kalian semua, tidak terkena The Black Virus kan?!".
Seketika suasana yang ricuh, menjadi hening
Lalu dengan polosnya Bella menjawab
"Mana mungkin aku terkena Virus bodoh itu! Mungkin si berandalan itu lebih cocok!" menunjuk Roy.
"Apa katamu?! Tubuhku ini super kuat, mana mungkin aku bisa terkena virus!".
Lalu perdebatan mereka berdua dimulai kembali
"Sepertinya mereka baik-baik saja, Bang!" ocehku dengan senyum lega.
Pengidap The Black Virus memang sudah diisolasi seluruhnya, ini mudah karena kita bisa melihat dari warna matanya. Namun, kekhawatiranku tidak reda. Tidak menutup kemungkinan masih ada di luar sana yang terkena virus, dan matanya belum menghitam. Kurasa disini memang tempat pelarian terbaik dari pikiran yang terlalu menumpuk.
***
Kubuka pintu
"Aku pulang, Bi".
"Yaa, selamat datang, masuklah".
Aku tinggal di sebuah apartemen kecil, bersama Bibiku, Dina Jeslyn.
"Bi, bisa kau singkirkan poster itu. Mengganggu sekali!".
Bibiku penggemar berat Max Alehandro, sang legenda petinju dunia. Ini aneh, karena wanita seperti Bibiku harus fanatik dengan petinju. Jika kau pernah bertemu perempuan paling tomboi, maka ketomboiannya akan kalah dengan Bibiku.
Walaupun dia wanita, aku sama sekali tidak merasakan aura wanita dari wanita ini. Terlihat jelas dari mukanya kalau dia jenis manusia yang tidak ingin diganggu.
"Biarkan saja! Itu keren, nanti kau akan mengerti! " jawab Bibiku santai.
"Keren darimananya! Sekarang ada 5 poster Max Alehandro menempel di dinding yang sempit ini!".
"Sudahlah, Erwin. Kau terlalu mempermasalahkan hal yang kecil".
Dina Jeslyn tidak seperti Bibi kebanyakan orang. Dia tidak banyak bertanya kepadaku, sikapnya sangat santai, dia selalu duduk di sofa dengan cemilan dan soda khasnya sembari menonton televisi, mengenakan kemeja kedodoran dan celana jeans, gaya rambut pixie, tetapi sedikit agak panjang. Siap menerkammu apabila kau membuat masalah dengannya.
Wanita ini sama sekali tidak mengerti bagaimana caranya menjadi wanita. Bang pernah datang satu kali kesini, dan tidak mau lagi datang kemari. Alasannya adalah, karena Bang dan Dina pernah berdebat panas soal keberadaan Max Alehandro, Bang tidak pernah sekalipun percaya dengan eksistensi Max. Katanya, dari semua petinju yang ia tahu, dia tidak pernah mengetahui keberadaan petinju bernama Max. Karena hal ini, Dina sebagai fans fanatik marahnya bukan main, sampai akhirnya mereka berdebat panas yang berujung Bang diusir dari apartemen kami. Jika kuingat lagi, saat kejadian itu aku menonton perdebatan mereka sembari menyantap cemilan milik Dina dan duduk santai di Sofa singgasananya. Bukan apa-apa, ini tontonan menarik, jarang sekali melihat Bang serius dalam perdebatan.
Tidak mau membahas lebih panjang soal bertambahnya jumlah poster yang menempel, akupun memilih untuk segera beristirahat untuk mempersiapkan roda rutinitasku esok hari.
***
Lagi-lagi, aku bermimpi tentang itu
Sama seperti mimpi sebelumnya
Terus berulang-ulang.