Niko tersenyum melihat beberapa buku dongeng berbahasa Inggris yang tergeletak di atas meja kecil di kamar Sabine. Dia ingat dirinya yang selalu membacakan buku-buku tersebut menjelang Sabine tertidur.
"Masih dibaca?" tanya Niko sambil meraih salah satu buku.
"Masih, Om. Kalo nggak, aku nggak bisa tidur," jawab Sabine yang sedang menunggu lampu kettle air panas padam. Sabine hendak membuat minuman panas buat Niko.
Tak lama, air panas sudah masak dan Sabine pun siap menyeduh teh buat Niko.
"Om Niko sekarang tinggal di mana?" tanya Sabine sambil mengaduk air panas yang sudah bercampur dengan teh di wadah kecil. Lalu diletakkannya di hadapan Niko.
"Alam Sutera...,"
"Wah jauh...,"
"Jadi..., ceritanya tau posisi aku dari siapa?,"
Niko tergelak.
"Bentar..., Om mau nanya. Kenapa kamu nggak pernah balas pesan Om. Kenapa kamu nggak pernah hubungi Om lagi? Kenapa kamu nggak kasih kabar tentang orang tua kamu?,"
Sabine terdiam. Ternyata Niko juga menghubunginya dulu.
"Karenaa..., karena Om nggak pernah balas pesan aku," jawab Sabine.
Niko terhenyak dengan jawaban Sabine. Kok bisa?
"Terakhir aku dapat pesan dari Tante Evi, dia bilang Om sibuk bolak balik Jakarta-Malaysia..., trus setelah itu aku kirim pesan terus-terusan, nggak pernah dibalas. Trus, kayak dihapus gitu...,"
Niko memejamkan matanya. Ini pasti ulah Evi, batinnya. Karena Evilah satu-satunya yang mengetahui kata kunci semua media sosialnya. Tapi kenapa? Padahal Evi dulu sangat menyukai Sabine. Apa Evi berubah saat itu?
"Aku pikir Om nggak mau peduli aku lagi,"
Niko menyeruput teh yang dibuat Sabine. Kini dia lega, karena sudah tahu penyebab kenapa dirinya dan Sabine sulit saling kasih kabar.
"Om keliling cari kamu, Sabine. Om Syok. Dari Kemang sampai ke sekolah kamu. Hingga akhirnya Om berpikir bahwa kamu ikut Mama kamu ke Melbourne,"
Sabine mencibir.
"Mana mau Mama ajak aku ke sana, Om. Dia nggak peduli aku lagi."
Niko menghela napas panjang, menatap langit-langit kamar Sabine.
"Trus..., kamu..., Akhyar?"
Sabine menelan ludahnya. Dia sebenarnya sudah tidak ingin membicarakan masalah besarnya yang terjadi dulu.
Sabine cemberut. Perasaannya mulai terganggu.
"I don't wanna talk about it," desahnya dengan raut wajah kecewa.
"Ok..., Om sudah tau semuanya. Dari Bella, teman kamu. Dia cerita sedetail-detailnya," ungkap Niko akhirnya. Dia tidak ingin mengacaukan perasaan Sabine. Toh, hubungan Sabine dan Akhyar sudah tidak diinginkan Sabine lagi sepertinya.
Sabine menatap kosong lantai kamar kosnya. "Bella...," batinnya. Dia bingung, apakah dia senang atau tidak dengan apa yang telah dilakukan Bella. Tapi akhirnya dia cukup menghargai Bella. Bella sangat peduli dengannya.
"Makasih, Om. Masih mau ketemu aku," ucap Sabine akhirnya.
Niko tersenyum.
"Kamu nggak punya hape? Kalo Om suatu hari pingin ketemu kamu lagi gimana hubungi kamu?," tanya Niko yang sudah siap-siap beranjak dari kamar Sabine.
"Kan tinggal singgah di pasar," balas Sabine.
"Kamu pegang hape Om ya? Om punya dua. Satu ada di rumah...," bujuk Niko seraya meraih tangan Sabine dan meletakkan ponselnya di genggaman Sabine.
Sabine mengangguk pasrah.
Niko bangkit dari duduknya. Dia sudah bersiap-siap pulang. Dia tidak ingin berlama-lama di dalam kamar Sabine, karena khawatir pandangan miring orang-orang sekitar, meski Ridwan mengizinkannya.
"Makasih banyak, Om Niko..., sudah mampir," ucap Sabine saat Niko sudah berada di depan pintu kamarnya.
"Jaga diri ya, Sabine..., jangan gegabah lagi...," balas Niko.
Sabine memeluk Niko sekali lagi. Dia senang sekali bertemu dengan pengasuhnya itu. Tak masalah sebentar atau lama. Baginya hari ini adalah hari yang paling indah. Bertemu dengan orang yang menyayanginya.
"Om..., salam buat Tante Evi!" seru Sabine ketika Niko hendak menuruni tangga luar kamar kosnya. Niko menghentikan langkahnya sejenak. Ditolehnya Sabine yang masih berdiri di sisi pintu kamarnya.
"Om sudah cerai, Sayang," balas Niko tersenyum. Dipandangnya wajah Sabine yang terkejut. Lalu kemudian melanjutkan langkahnya meninggalkan lokasi tempat tinggal Sabine.
______
Malamnya...,
meski berulang-ulang membaca buku cerita menjelang tidur, Sabine tidak bisa tidur. Kata-kata cerai dari mulut Niko terngiang-ngiang di telinganya.
"Jadi Om Niko duda?," gumamnya. "Kenapa?,"
***
Sikap Ridwan yang banyak diam sedikit mengundang tanya para pelanggan dan pedagang sekitar pasar. Sejak pertemuan Niko dan Sabine sore kemarin, pria bertubuh gemuk itu seperti tidak bergairah berjualan.
"Lae! Lemas kali kau. Tak ada semangatpun?," tanya Bu Mona, penjual bumbu-bumbu yang lapaknya bersebelahan dengan lapak Ridwan.
"Kepo kali kau! Mau aku diam, mau aku ribut. Segala macam kau tanya. Bah! Urus bumbumu itu," rutuk Ridwan sambil sesekali melirik Sabine yang sibuk mengupas udang. Bu Mona hanya tertawa kecil. Ridwan, meski kata-katanya tidak enak didengar, tapi dia adalah pria baik hati.
"Jadi, kau itu anak diplomat, Sabine?," tanya Ridwan pelan saat lapaknya sepi pembeli, karena hari sudah beranjak sore.
Sabine mengangguk. Tangannya masih sibuk mengupas udang.
"Jadi, Niko itu yang mengasuh kau?,"
Sabine mengangguk lagi.
Ridwan turut manggut-manggut.
"Jadi Emak Bapak kau mati di pesawat?," Ridwan mulai mengatur deru napasnya. Tidak kuasa melihat wajah Sabine.
"Lalu tak ada yang peduli kau?,"
"Kan ada bang Ridwan. Peduli sama aku,"
Ridwan menggelengkan kepalanya. Kemarin, sebelum Niko meminta izin mengunjungi kamar kos Sabine, Niko sempat bercerita sedikit mengenai hidup Sabine ke Ridwan. Ridwan sangat kaget sekaligus terenyuh mendengarnya.
Ridwan meraih baskom kecil berisi udang yang sedang dikupas Sabine. Dia turut membantu Sabine.
"Apa cerita kau semalam sama pengasuh kau itu? Gagah kali. Tak ada hatikah kau sama dia?,"
Sabine tertawa kecil.
"Iya. Adalah, Bang. Dia itu cinta pertama aku yang nggak bisa aku lupa. Waktu itu usiaku sepuluh. Masih SD kelas 4. Tapi dia sudah punya pacar,"
Ridwan tersenyum. Baru kali ini Sabine tampak tenang mencurahkan isi hati.
"Terus dia menikah. Setelah itu dia nggak hubungi aku lagi. Aku berusaha menghubungi dia, nggak pernah dibalas. Hingga aku pikir dia nggak peduli aku lagi. Baru kemarin itu kita bertemu. Aku benar-benar lupa wajahnya," Sabine mendengus tertawa.
"Ternyata dia juga cari aku, Bang. Cuma pesan-pesannya nggak sampai juga. Kita semalam cuma bahas itu. Trus dia pamit pulang,"
Ridwan melirik wajah cantik Sabine. Hatinya tersentuh. Ternyata Sabine selama ini sangat menderita. Ah, kamu belum tahu kisah-kisah yang lain, Ridwan. Pasti akan membuatmu lebih terenyuh lagi.
"Dia tak ajak kau? Kasih duitkah dia?"
Sabine tersenyum menggeleng.
"Ooo. Cuma rindu ya," gumam Ridwan.
"Dia sudah cerai...," desah Sabine lirih.
Ridwan menghentikan pekerjaannya.
"Hah..., kau kejar dia. Nanti terlambat,"
Sabine terkekeh.
"Aku nggak mau maksa, Bang. Dia masih kayak dulu. Cuma sayang aku. Masih anggap aku ini anak kecil yang diasuhnya."
"Apa perlu bang Ridwanmu ini turun tangan?"
Sabine tertawa keras.
"Kupas udang ini cepat. Bentar lagi yang mesan datang."
***