Selama perjalanan menuju pasar Ciputat, Niko terus memikirkan Sabine. Ada kekecewaan yang sangat mendalam yang dia rasakan. Apalagi begitu mengetahui bahwa Sabine menjalin hubungan yang sangat dekat dengan Akhyar, atasannya. Dia sangat tahu Akhyar sangat piawai memanjakan para gadis-gadis.
Tapi kekecewaan itu tidak ingin dia rasakan terus menerus. Yang terpenting baginya, dia harus segera bertemu dengan Sabine. Apapun kondisinya.
Cerita mengenai Sabine dari mulut Bella sangat menyentuh Niko. Tidak menyangka gadis kecil yang sangat manja itu mampu melewati masa-masa sulit. Niko kembali mengingat masa-masa mengasuh Sabine, terutama saat memandikan tubuh kecil Sabine. Sabine memang suka dimandikan.
Kini yang menjadi pertanyaan besar di benak Niko adalah kenapa Sabine tidak pernah menghubunginya saat musibah terjadi pada keluarganya? Apa mungkin karena dirinya sudah menikah? Rasanya aneh saja. Berulang kali dia mengecek sosmed dan kontak di ponselnya di saat mengetahui peristiwa naas yang menimpa orang tua Sabine, tidak ada kabar dari Sabine. Hingga akhirnya Niko berkesimpulan bahwa Sabine sudah pergi jauh dan melupakan dirinya. Dirinya pun sempat melupakan Sabine karena kesibukan di kantor yang tidak dapat dia hindari.
Niko memarkirkan mobil besarnya di pinggiran pasar tradisional. Awalnya dia kesulitan mencari parkiran yang pas, karena parkiran sudah penuh. Untungnya ada petugas parkir yang mengizinkannya memarkirkan mobilnya di pinggirian pasar tersebut.
"Pak, lapak jual ikan di mana ya?," tanya Niko sopan.
"Oh. Mas masuk aja lewat sini. Lurus ke depan, mentok belok kanan. Tapi kalo udah siang begini mah ikan yang segar udah habis, Mas. Harus pagi-pagi kalo mau dapat yang segar mah. Paling sisa-sisa doang sekarang..., sama yang bekuan,"
Niko tersenyum simpul mendengar penjelasan si tukang parkir. Dia pun berlalu dari bapak itu setelah tidak lupa mengucapkan terima kasih.
_____
Meski sudah siang, pasar masih tetap saja ramai. Mungkin karena awal bulan, para pembeli masih banyak yang lalu lalang. Niko yang terlihat tidak terbiasa menyusuri jalanan hitam berair di tengah pasar, berulang kali menghentikan langkahnya berusaha menghindari jalanan yang becek. Dia juga berulang kali mengusap-usap hidungnya karena bau sampah sayur-sayur yang masih tergeletak di sisi-sisi lapak para penjual.
Niko kini sudah berada di tepi lapak ikan. Ternyata ada banyak lapak ikan di sana.
"Cari ikan apa, Mas ganteng?" tanya ibu-ibu pedagang ikan sungai yang melihat Niko tengah mengedarkan pandangannya ke lapak-lapak ikan lainnya.
"Maaf, Bu. Ibu kenal penjual ikan yang bernama Sabine?," tanya Niko ramah.
Ibu itu langsung tanggap.
"Ooo, anak buahnya Ridwan. Bukan di sini, Mas. Dia di bagian ikan laut. Noh..., Mas jalan ke sonoan lagi, ada lapak yang paling rame. Itu dia lapaknya."
Niko lega dengan petunjuk ibu itu. Ternyata Sabine memang berada di sini.
"Hm..., siapanya Sabine, Mas?" kepo ibu pedagang itu.
"Oh..., saya dulu pengasuhnya. Lama nggak ketemu," jawab Niko seraya menundukkan kepalanya.
Niko kembali melanjutkan pencariannya.
Benar saja. Ada lapak ikan yang dikelilingi para pembeli. Saking ramainya, Niko agak kesulitan melihat si penjual.
"Lae! Pilih yang bagus, Lae!" teriak ibu-ibu gendut ke seorang pria berkulit gelap yang hanya memakai kaos putih dalam. Ada kalung rantai emas melingkar di lehernya. Dia Ridwan, 'abang' Sabine.
"Ikan aku tak ada yang tak bagus! Bagus semua yang aku jual! Kau pilihlah sendiri!" balas Ridwan sedikit menghardik.
"Kotor tanganku, Lae!" keluh ibu itu lagi.
"Banyak kali tingkah kau! Sabine! kau pilihkan!" Ridwan memerintah Sabine yang masih bekerja.
"Aku sibuk, Bang! Suruh Giok noh, lagi nanggung nih!" elak Sabine.
"Tolonglah abang kau ini, Sabine! Nanti lari pelanggan cantik kita ini!"
Sabine tersenyum mendengar keluh Ridwan.
"Bentar ya, Bu...," mohonnya sambil memotong-motong ikan yang sudah disiang milik pelanggan lain.
"Oke, Cantik...,"
Berdesir jantung Niko saat melihat Sabine yang lincah mengolah ikan yang ada di hadapannya. Betul kata Bella, Sabine sangat kurus. Tapi tetap saja kecantikannya tidak luntur. Ada beberapa suara pelanggan terdengar memanggilnya si cantik sambil sesekali menggodanya. Tapi Sabine tetap bersikap santai.
"Bah! Kau mau malam mingguan dengan Sabine! Kau hadapi aku dulu! Maju kali muncungmu!" bentak Ridwan ke salah satu pelanggan yang usil menggoda Sabine.
"Lae! Jangan marah-marah. Cepat tua...," sela ibu yang tidak ingin tangannya kotor tadi. Sabine sekarang sudah mengolah ikan yang ibu itu pesan.
Saking ramainya pelanggan. Niko memutuskan untuk menunggu lapak itu agak sepi. Dia tidak ingin mengganggu kegiatan Sabine yang sangat sibuk di siang itu.
Kira-kira sepuluh menit kemudian, pelanggan mulai bubar, karena masing-masing sudah mendapatkan ikan yang diinginkan. Ucapan terima kasih terdengar dari mulut mereka karena puas dilayani dengan baik.
Dan Niko kini sudah berhadapan dengan Sabine yang masih sibuk membereskan ikan-ikan yang ada di hadapannya.
"Baramundinya, Dik. Dua yang besar," ujar Niko berusaha tenang. Padahal perasaannya sangat kacau melihat tirus wajah Sabine.
Sabine langsung meraih dua ikan laut itu dengan cekatan tanpa melihat si pelanggan. Dia kesampingkan ikan Baramundi yang dipinta Niko sambil membereskan kotoran ikan-ikan yang dia bersihkan sebelumnya.
"Mau dipotong gimana, Bang?," tanya Sabine sambil menimbang ikan pilihan Niko.
"Potong fillet bisa, Dik?" Niko balik tanya.
"Oh bisa...," jawab Sabine. Dia langsung meraih jenis pisau khusus yang sangat tajam, lalu memulai memotong-motong Ikan yang dipesan Niko.
"Berapa, Dik?"
"Bang Ridwan! 3 kilo 5 ons. Baramundiiii," seru Sabine yang sudah memulai menarik kulit ikan dengan hati-hati tapi cepat.
"Empat ratus saja, Bang," ucap Ridwan sambil membuka tas pinggangnya. Niko langsung membayarnya.
Niko mengamati Sabine yang mengolah ikannya. Dia mulai merasa heran. Karena sepertinya Sabine lupa akan dirinya. Sabine sama sekali tidak lagi mengenalnya. Padahal Sabine jelas-jelas melihat wajahnya.
"Ini, Bang. Makasih ya, Bang," ucap Sabine sambil menyerahkan plastik berisi ikan yang sudah dibersihkan ke hadapan Niko. Sabine melayani Niko penuh senyum. Kemudian dia sibuk kembali mengolah ikan lainnya, sambil sesekali bercanda dengan Ridwan yang tampak senang mengibas-ngibas uang-uangnya.
Dengan langkah gontai Niko berlalu dari lapak Sabine. Tapi hanya beberapa langkah saja. Niko membalikkan badannya menuju Sabine.
"Iya, Bang? Ada lagi?" tanya Sabine ramah. Dia sedikit kaget karena Niko kembali lagi ke lapaknya.
Niko sudah tidak tahan lagi.
"Kamu lupa sama Om?" tanya Niko sambil menatap wajah Sabine lamat-lamat.
Sabine menghentikan pekerjaannya. Lalu ditatapnya wajah Niko dengan dahi mengernyit.
"Om Niko, Sabine...," desah Niko serak. Senyumnya sungguh kecut.
Sabine menganga. Dia sangat terkejut. Hampir saja pisau yang di tangannya terjatuh. Cepat-cepat dia amankan di atas meja.
"Om?" Sabine mulai mengingat-ngingat. Dadanya mulai sesak.
"Siapa dia, Sabine?" tanya Ridwan yang heran melihat gelagat Sabine yang hendak menangis. Dia juga heran dengan kehadiran Niko.
"Om Nikoooo...," teriak Sabine sambil merentangkan dua tangannya yang masih kotor penuh darah ikan.
Niko langsung memasuki bagian dalam lapak Sabine. Diburunya tubuh kurus itu, lalu memeluk Sabine yang terisak erat-erat. Niko tidak peduli dengan celemek dan tangan kotor Sabine. Diusap-usap kepala Sabine penuh rasa rindu.
"Ooooom...," teriak Sabine serak.
Dia benar-benar lupa akan Niko.
Setelah itu, tidak ada kata-kata yang terucap. Mereka hanya berpelukan sambil menangis. Ridwan dan orang-orang yang di sekitarnya terharu melihat keduanya. Seakan mengerti bahwa mereka adalah dua orang yang terpisah cukup lama.
"Saya pengasuh Sabine, Bang..., saya yang mengasuhnya waktu dia kecil dulu...," ujar Niko ke Ridwan yang memandangnya penuh tanya. Niko masih terus mendekap Sabine sambil mengusap-ngusap kepala Sabine. Sabine masih menangis kencang.
Ridwan tersenyum penuh hormat ke arah Niko. Dibiarkannya Sabine berada di pelukan Niko.
***