Semakin hari, Sabine semakin lincah menyiang ikan-ikan. Ridwan yang melatihnya setiap hari. Apalagi saat menarik-narik jeroan dari kepala dan perut ikan, Sabine bertambah semangat melakukannya. Luka-luka kecil sudah tidak lagi dia rasakan. Sabine sudah terbiasa.
"Dendam kali kau sama ikan? Jangan kau tarik kencang-kencang isi perutnya. Pelan-pelan sikit!" tegur Ridwan yang mengamati kerja cepat Sabine.
"Biar cepetan, Bang. Noh, rame yang antri," balas Sabine cuek.
"Hancur ikan kau buat nanti."
Sabine tersenyum memandang wajah Ridwan yang cemberut.
"Nggak, Bang. Aman nih,"
"Terusin, Dik. Abang lo rese," sela pelanggan yang ikan-ikanya dibersihkan Sabine.
"Lagi bete, Mas. Soalnya belum sempat merokok dari pagi. Rame soalnya...," pungkas Sabine sambil menyerahkan bungkusan plastik berisi ikan-ikan yang dibeli.
"Mau dibawakan sampe motor, Mas?" tawar Sabine. Sepertinya dia sudah mengenal pelanggannya itu.
"Boleh boleh," balas pelanggan itu dengan raut wajah senang.
"Bah! Lagi rame ini, Sabine! Jangan kau antarlah!" cegah Ridwan. Dia masih bete.
"Bentar aja, Bang. Deket!"
Ridwan pasrah melihat kepergian Sabine. Sebenarnya dia tidak benar-benar memarahi Sabine. Mana sanggup dia marahi gadis itu. Terlalu cantik untuk dimarahi, menurutnya.
Ridwan adalah seorang duda satu anak. Anaknya perempuan, berusia sepuluh tahun. Ridwan memutuskan untuk tidak menikah lagi karena sudah terlanjur sakit hati. Istrinya dulu ternyata masih menjalin kasih dengan mantan kekasihnya. Ditambah pula dengan keadaan ekonomi keluarganya yang morat marit, akhirnya pernikahannya berujung perceraian.
Ridwan yang patah hati, merantau ke Jakarta. Namun, dia salah pergaulan, dia yang tidak tahu apa-apa malah berprofesi sebagai kurir narkoba. Entah berapa kali dia ke luar masuk bui.
Karena perawakannya cukup menyeramkan, dia pun sempat bekerja sebagai bodyguard artis-artis terkenal. Tapi, menurutnya pekerjaan itu sangat membosankan. Akhirnya, dia memilih menjadi pedagang ikan, karena dia suka makan ikan. Inilah karir terakhirnya. Berkat berjualan ikanlah, sudah ada beberapa aset yang dia miliki, salah satunya adalah kos-kosan sederhana di sekitar tempat tinggalnya.
Kini hadir Sabine di kehidupannya. Membuatnya semakin semangat. Karena Sabine selalu menemaninya setiap pagi mengambil ikan-ikan yang akan dijualnya di pasar. Wajah cantik Sabine membuatnya tidak lagi ngantuk saat menyetir. Sabine sangat menyenangkan hari-harinya.
***
Sabine menghentikan kegiatan merokoknya ketika dilihatnya Bella dan Katie turun dari mobil tepat di depan warkop Bu Ida.
"Heh! Lo ke mana aja, Sab!" pekik Bella. Dilemparnya tas kecilnya ke atas meja Sabine.
Sabine tertawa melihat ulat sahabatnya itu.
Bukannya melepas kerinduan, Bella dan Katie malah memasang wajah sinis ke arah Sabine.
"Cungkring lo, Sab. Kayak korban anoreksia," komen Bella. Katie seperti biasa melangkah menuju meja kasir memesan minuman buat Bella dan dirinya.
"Kuliah nggak lo?" tanya Sabine.
"Iya. Gue ambil D3. Akutansi," tanggap Bella.
"Katie?" tanya Sabine lagi.
"Sama..., mana bisa dia pisah dari gue,"
Sabine terkekeh.
"Lo? Jadi preman lo? Habis berantem? Hahahahah...," seloroh Bella.
"Tau darimana lo?"
"Noh. Bu Ida cerita,"
Sabine tersenyum simpul mengingat kejadian yang tidak mengenakkan itu.
"Mereka bubar loh, Sab...,"
"Udah. Gue nggak mau tau,"
"Cerita dong, Sab. Kisah lo ma Bos Akhyar,"
"Ogah..., bikin sedih gue aja lo,"
Bella terdiam. Dipandangnya wajah tirus Sabine.
Bella memindahkan kursi duduknya di samping Sabine.
Ditatapnya wajah Sabine dari samping.
"Udah..., gue baik-baik aja. Lo urus hidup lo. Jangan khawatirin gue," decak Sabine yang masih merokok. Matanya mengerjap ingin menahan bulir-bulir air mata yang tergenang di sepasang pelupuk matanya.
Katie yang baru memesan minuman, turut mendekati tubuh kurus Sabine.
Lalu terdengar isak tangis ketiganya.
______
Bella dan Katie mendengar cerita Sabine dengan seksama. Sabine akhirnya mau memberitahu di mana dia tinggal sekarang. Dia juga menceritakan kegiatan yang dia lakukan untuk membiayai hidupnya sehari-hari, yaitu sebagai pedagang ikan di pasar.
"Jadi, kuliah di Melbourne sekarang tinggal kenangan, Sab?" tanya Katie sedih.
"Yah..., nggak ada harapan lagi mau jumpa nyokap gue di sana. Nggak papa, Ket. Lagi pula mereka nggak ngarepin gue lagi. Gue aja yang sibuk ngangenin mereka," tanggap Sabine. Dia sudah pasrah dengan keadaan.
Katie menghela napas panjang. Dia tidak menyangka jalan hidup sahabatnya menjadi tragis seperti sekarang ini. Begitu juga dengan Bella. Dia senderkan tubuhnya ke bahu Sabine.
"Lo ikut gue, Sab...," gumam Bella.
Sabine tertawa kecil.
"Gue udah berada di posisi nyaman sekarang, Bel. Kalo deket-deket lo lagi, ngeri gue. Lo mau gue mati konyol,"
Bella mencubit pinggang Sabine.
"Emang gue pembawa sial?"
Sabine mengusap-usap kepala Bella.
"Eh, emang hubungan lo dengan Akhyar deket banget ya?" tanya Katie tiba-tiba.
"Lah..., mulai lagi,"
"Yaelah, Sab. Nanya doang,"
"Menurut lo?"
"Ah. Gue nanya, lo nanya balik,"
Sabine menghisap rokoknya dalam-dalam. Seketika wajah tampan Akhyar terlintas di benaknya.
"Ya. Deket. Banget,"
"Sex?"
Sabine mengiyakan lewat isyarat matanya.
Bella dan Katie menganga.
"Kok bisa?" tanya mereka bersamaan. Sepengetahuan mereka, Akhyar tidak pernah menginginkan hubungan terlalu jauh dengan gadis-gadisnya.
"Beduaan. Bisa dong,"
Bella dan Katie memandang Sabine tidak percaya.
"Tapi gue masih 'utuh'. Ya..., sayang-sayang..., sampe puas," decak Sabine santai.
"Lo masih ngarep dia nggak, Sab?" tanya Bella hati-hati.
"Nggak. Walaupun dia berdiri di depan gue sekarang, gue nggak bakal mau lagi. Cukuplah. Gue nggak mau berhubungan dengan orang-orang seperti dia. Digilai banyak orang,"
"Tapi dia nggak punya lagi loh, Sab?"
"Ada jaminan? Gue yang tau dia. Lo bayangin, gue lagi bugil-bugil dipeluk-peluk ama dia nih, masih sanggup dia ngobrol mesra dengan gadis-gadisnya. Sinting kan? Gue juga sinting...,"
Bella dan Katie tertawa mendengar gerutu Sabine.
"Dan gue nggak mau ketidakwajaran hubungan gue dengan dia berlanjut..., cukup."
Bella dan Katie kembali memeluk Sabine kuat-kuat.
***