Malam sudah larut. Udara seakan-akan seperti jarum yang menusuk pori-pori kulitnya. Dilihatnya jam tangan bututnya sudah menunjukkan pukul dua malam. Senyumnya mengembang melihat jam bututnya yang terlihat seperti pertama kali ia menerimanya dari ibunya. Ia bertekat akan mengucapkan terima kasih pada Leon yang sudah memperbaikinya.
Ia menghembuskan nafas berat.
Seharusnya kemarin ia sudah kembali ke Mansion tetapi untuk meyakinkan ayah juga Ernest memakan waktu, akhirnya ia baru dapat kembali ke Mansion esoknya. Dipercepat langkah kakinya menyusuri jalan. Ia tidak ingin pulang ke Mansion sesudah majikannya pulang. Merisa terkejut ketika melihat Sandra dan Olivia sedang ada di depan pintu Mansion dengan raut wajah yang khawatir.
"Merisa!" Sandra melambaikan tangannya memanggil Merisa menyuruhnya mendekat.
"Kau cepat ganti bajumu! Akhir-akhir ini Tuan Leon moodnya sedang buruk jadi kuharap kau tidak menyulut emosinya…" Ucap Sandra cepat.
Terlihat ia sangat khawatir melihat Merisa. Merisa hanya mengangguk dan dengan cepat ia masuk ke kamarnya dan segera mengganti bajunya dengan seragam maid.
Buru-buru ia keluar dari dalam kamarnya. Merisa membeku melihat keadaan Leon. Leon jalan dengan sempoyongan tetapi tidak membiarkan seorang pun menyentuhnya.
Sandra dan Olivia hanya bisa mengikuti tuannya dengan raut wajah was-was. Tampilan Leon yang biasanya rapih, sekarang terlihat seperti berandal. Setelan jasnya berubah menjadi jaket kulit berwarna hitam dengan jeans berwarna biru beserta asesoris yang mendukung penampilannya. Langkahnya berhenti ketika berjarak dua meter dari Merisa. Ia berdecak sinis melihat Merisa tetapi matanya menunjukkan kesedihan yang mendalam.
Merisa hanya diam.
Perlahan Leon kembali berjalan dengan sempoyongan melewati Merisa. Bau alcohol menguar tercium oleh indra pembau Merisa.
Merisa hanya bisa melihat Leon dengan nanar. Ia mulai mengikuti Leon ke kamarnya berusaha menolong.
"Tuan baik-baik saja?" Tanya Merisa pelan. Leon tidak menjawab. Merisa mengikuti Leon masuk ke dalam kamarnya. Sedikit berlari, Leon pergi ke toilet. Tidak beberapa lama ia menumpahkan isi perutnya ke dalam westafel.
"Kau kenapa?" Merisa khawatir dengan keadaan Leon. Ia melakukan hal yang sama yang pernah Leon lakukan saat ia muntah, mengusap punggung Leon, berusaha untuk meredakan mualnya.
"Jangan sentuh!" Leon berteriak sambil menepis tangan Merisa. ia segera membasuh mulutnya.
"Pergi!" Ia mendorong merisa keluar lalu dengan cepat ia membanting pintu kamar mandi.
"Keluar dari kamarku!" Teriak Leon dari dalam kamar mandi disusul dengan suara air mengalir yang menyamarkan suara Leon yang sedang muntah.
…
Sudah dua hari, sejak ia pulang dalam keadaan mabuk. Sudah dua hari pula ia tidak tidur. Terlihat dari lingkaran hitam dimatanya. Ia selalu marah padaku dan terkadang berteriak padaku. Aku tidak mengerti apa yang salah. Apa karena aku terlambat kembali ke Mansion?
Sekarang dia sangat dingin. Dia selalu menepis tanganku ketika aku mengulurkan bantuan seakan-akan aku menjijikan untuknya. Sikapnya yang seperti itu membuatku insomnia. Setiap malam aku merasa bersalah untuk sesuatu yang tidak ku mengerti.
Setiap kali aku ingin minta maaf dia selalu menghindar.
Kemarin aku tidak sengaja melihatnya berpanggutan dengan Olivia di ruang kerjanya. Ia menyeringai menatapku. Cepat-cepat aku mengalihkan pandangan dan perlahan menutup pintu. Kepalaku mendadak pusing dadaku sesak, dengan sempoyongan aku berjalan entah kenapa hatiku sakit melihat Leon bercumbu dengan Olivia.
.
.
.
.
Sekarang aku disini, di depan pintu kamarnnya membawakannya jus tomat dan sandwich untuk sarapan.
"Masuk!" Panggilnya dari dalam kamar. Perlahan aku buka pintu kamarnya. Ia terkejut melihatku.
"Saya membawakan sarapan untuk Anda." Belum sempat aku meletakkan sarapannya di meja dia sudah menarikku keluar. Mati-matian aku menjaga keseimbangan agar sarapannya tidak tumpah. Dia terlihat sangat marah. Aku menepis tangannya.
"Ke-kenapa kau kasar?"
Ia menatapku sambil tertawa sinis. Dilihatnya nampan yang ada di tanganku dan dengan cepat ia menjatuhkannya kelantai. Bunyi benturan piring dan gelas membuatku terkejut dan tanpa sadar menutup kedua telingaku.
"Keluar!" Ia berteriak padaku. Tangannya mengacung menunjuk pintu keluar. Aku hanya diam. Tanganku perlahan turun. Sebegitu bencinya kah dia padaku?
Air mataku menggenang di pelupuk mata.
"A-aku minta maaf…" Ujarku lirih.
Dia hanya mengendus lalu menarikku keluar. Pintu dibanting.
Aku hanya berdiri di luar menatap pintu kamarnya. Air mataku mengalir.
"Kenapa? A-aku minta maaf karena terlambat pulang ke mansion. Tetapi kau tidak perlu semarah itu padaku… A-aku memang bodoh karena itu beritahu aku apa yang salah…" Dengan terisak aku mengatakannya.
Tidak ada jawaban. Aku terus saja berdiri di depan pintu. Menunggu dia membukakan pintunya tetapi percuma, dia sama sekali tidak membuka pintu kamarnya untukku. Aku menyerah.
Krieet…
Perlahan pintu kamarnya terbuka. Aku mengembangkan senyum tanpa sadar.
"Maaf…" Hanya satu kata yang ia ucapkan. Ia menunduk. Jarak kami sangat dekat.
"Aku…" Perlahan ia mengangkat wajahnya. Tangan kanannya ia angkat untuk membelai pipiku yang basah karena air mata. Keningnya menempel pada keningku. Ia mendekatkan wajahnya sampai ujung hidung kami bertemu. aku bisa merasakan nafasnya menerpa wajahku. Ia berali pada puncak kepalaku , Perlahan ia mengecup keningku dengan lembut.
Hangat, itu yang kurasakan. Tidak sedikitpun aku takut akan kehadirannya.
Perlahan mataku tertutup. Berharap waktu berhenti saat ini juga.
"sekali lagi maaf" ucapnya lirih
To be continue.....