Chereads / My Boss My Lover / Chapter 23 - Teman masa kecil

Chapter 23 - Teman masa kecil

Bulatan mentari dengan warna kuning yang berpadu dengan semburat jingga ketika senja, mampu menghipnotis siapapun yang melihatnya.

Tak heran jika ada cukup banyak penyuka atau penikmat, bahkan pemburu senja, meski hanya sekedar untuk memandang keindahannya saja, yang memang mampu menyejukkan hati.

Begitu pun Merisa ,gadis itu menikmati senja dengan berjalan kaki sambil bernyanyi nyanyi kecil, ia berniat untuk pulang setelah pertemuan nya dengan sepupunya . Ia berniat mampir karena ingat bahan bahan di mansion hampir habis.

"Selamat datang", ucap salah satu pegawai tersebut, Merisa hanya tersenyum hangat menanggapi pegawai itu , langsung saja ia menuju kearah rak rak bahan makanan , sayur segar ,juga beberapa potong daging segar dan dimasukkan ke dalam troli

Di rasa cukup ia langsung melangkah kearah kasir untuk mengambil antrian.

"Terima kasih atas kunjungan Anda", kata pegawai tersebut mengucapkan kata sebagai kata perpisahan.

" Ah iya ini sudah hampir jam 06.15 sebentar lagi makan malam, aku harus cepat kembali" , Merisa melajukan kaki nya tergesa-gesa takut Tuan nya memarahi nya .

.

.

.Bruuk ..

Seketika Merisa terjungkal kebelakang dan kantong plastik yang tadinya ada di tangan Merisa jatuh berserakan

"maaf nona ,apa nona tidak apa apa", terdengar seorang pria dengan jas merah marun nya mengulurkan tangan kepada Merisa khawatir

"Ah, tidak apa-ap....FI-AN!", ucap Merisa sambil menerima uluran tangan berusaha untuk berdiri .

" Ica ...", Ucap laki laki yang disebut Fian itu tak kalah kaget

"Benarkah kamu Fian temanku saat di high school?",

Ya , dia adalah Teman merisa sejak high school bahkan teman masa kecilnya ,Fian yang dulunya seorang pria cupu dengan kacamata tebal ,sekarang menjelma menjadi pria tampan Tanpa kacamata , banyak anggapan orang- orang bahwa mereka berdua saudara kembar .

Sifat Fian dan Merisa juga hampir sama dia juga seorang pria yang pemalu sama seperti Merisa . saat acara kelulusan ia bahkan tidak mengikuti acara tersebut ,kabarnya ia langsung terbang ke Amerika untuk melanjutkan studi di sana tanpa berpamitan dengan Merisa ,entah sejak kapan Fian merubah semua penampilannya, mungkin saat studi di sana . Sehingga ia terpengaruh dengan kehidupan luar negeri.

"Iya itu aku ,apa kabar Ica ?," Fian memanggil Merisa dengan nama kecilnya sambil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.

Canggung , itulah kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan saat ini.

"Emm..A- aku baik ,kamu sendiri bagaimana?," ucap Merisa mencairkan suasana yang menurutnya aneh.

"Aku juga baik, bagaimana kalau kita cari tempat buat ngobrol dulu" ucap Fian menawarkan

"Emm ... Sorry aku masih ada urusan ,jadi nggak bisa lama-lama , maaf ya ," cicit Merisa menolak halus ajakan Fian . akan jadi apa kalau seandainya Merisa menerima ajakan Fian dan terlambat pulang ke mansion .

" ini nomerku, mungkin lain kali kita bisa ngobrol bareng ," ucap Fian menyodorkan kertas berukuran kecil itu ke Merisa ..

" Baiklah , aku pergi dulu ,sampai jumpa," Merisa merapikan barangnya dan bergegas melangkahkan kaki ..

"Biar kuantar," Fian menghentikan lengan Merisa membuat Merisa berbalik melihat Fian .

"Ti-tiidak usah tempatku tidak jauh dari sini kok,"Tolak Merisa halus .

"Sampai jumpa", tambahnya lagi meninggalkan Fian yang masih menatap punggung Merisa menjauh .

'Kau masih sama seperti Merisa yang dulu , Merisa yang selalu ceroboh,' ucap Fian berlalu meninggalkan tempat tersebut..

.

.

.

.

.

"Sudah pulang, Nona." Sindir Leon yang melihat Merisa mengendap masuk ke mansion lewat pintu belakang layaknya seorang pencuri. Merisa tersentak kaget melihat Leon yang tidak biasanya ada di pintu belakang padahal sebelumnya Merisa sudah susah payah memutar dan berakhir di taman sakura yang ada di belakang mansion tetapi ujung-ujungnya ketemu juga. Lagi pula apa Leon tidak bekerja?

"Maaf," Ujarnya sambil menunduk dalam.

"Berani sekali kau meninggalkan tanggung jawabmu." Cibir Leon.

"Maaf," Sekali lagi Merisa menunduk dalam. Ia mengeluarkan amplop coklat berisikan dua ratus juta yang pernah diberikan oleh Ernest untuknya.

"Ini, tolong terima uang dua ratus juta ini. Mulai sekarang aku sudah tidak punya hutang padamu lagi."

Leon mengendus kesal, tidak mengerti dengan tingkah Merisa. Dua ratus juta adalah hal kecil untuknya. Dia tidak butuh uang itu.

Apalagi setelah kejadian hari itu. Entah kenapa dia selalu bertanya, terbuat dari apa otak Azkanida satu ini? Begitu na'if atau bodoh?

Ernest saja jelas-jelas tahu dia ingin sesuatu dari Merisa. Terbukti dari cara Ernest yang tanpa ragu menolak kesempatan emas berbisnis dengannya di tengah krisis global yang terjadi hanya karena tidak ingin mengorbankan Azkanida yang satu ini.

"Kau pikir 200 juta cukup? Harga uang semakin lama semakin menurun. Kau pikir 200 juta yang kemarin sama dengan 200 juta yang sekarang, heh?" Tanya si Alvalendra ketus.

"Selama ini akukan bekerja tidak beri gaji. Apa belum cukup?" Merisa memelas.

"Makan dan tidur." Ujar si Leon mencari-cari alasan.

Kembali Merisa tertunduk lesu.

"Jadi berapa kurangnya?"

"Banyak!"

"Berapa?"

"Pokoknya banyak!" Leon tetap kekeh menjawab pertanyaan Merisa dengan jawaban yang absurb.

"Jangan membantah!" Ia mencengkram erat pergelangan Merisa.

Merisa mengembungkan pipinya, merajuk.

"Sebenarnya Ayah sedang sakit, dan A-aku ingin merawatnya" ucap Merisa menundukkan wajah .

Mungkin inilah alasan yang tepat untuk kembali pulang kerumah . Seketika cengkraman Leon di pergelangan Merisa mengendur.

"Jadi kau berniat untuk mengundurkan diri?," tanya Leon mengintrogasi

"Ya , Tapi Aku janji ,aku akan mencicilnya ," tambahnya.

"Baiklah jika itu yang kau mau,"

"Dan lagi , ambil saja uang itu untuk pengobatan ayahmu, kau tak perlu membayar hutang lagi padaku." ucap Leon berubah dingin dan berlalu meninggalkan Merisa sendiri.

"Ta-tapi...".

"Tidurlah , besok kuantar kerumahmu",

Bingung , itulah yang di rasakan Merisa , apakah ia harus merasa senang karena telah lepas dari pekerjaannya ,ataukah sedih karna harus pergi meninggalkan mansion .entah kenapa memikirkannya dadanya terasa sakit seperti di remas bayangan tak kasat mata .

'apa yang kupikirkan, kebahagiaan ayah adalah yang terpenting untuk saat ini.' Ucap Merisa dalam hati.

.

.

.

To be continue...