Canggung, itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan sekarang ini. Banyak spekulasi miring tidak sengaja tercetus dari masing-masing orang dalam keadaan yang seperti ini.
Merisa pun tidak benar-benar tahu apa yang harus ia perbuat sekarang, ia benar-benar terkejut. Kenapa harus ada kejadian yang serba kebetulan ini?
Lima orang yang saling mengenal dan berusaha saling menghindari ternyata saling berkumpul ditempat yang sama, layaknya reuni dadakan.
Merisa tidak pernah berfikir akan bertemu dengan orang yang ia hindari, Niko dan Ernest, sedangkan Leon tidak menyangka akan bertemu dengan Stefani.
Bukankah ini cukup.
Berpandangan selama lima menit bukankah terasa tambah canggung.
"Apa kabar?" Leon berusaha mencairkan suasana tetapi sepertinya lontaran kalimat sederhananya belum mampu melakukan hal itu.
Apalagi ditambah dengan tindakannya yang berusaha memposisikan Merisa dijangkauannya membuat keadaan semakin penuh dengan tanda tanya.
"Apa kabar, Ernest?" Leon membungkukkan sedikit badannya, menyapa sepupu Merisa yang menatap mereka dengan penuh selidik.
Niko tertawa, berusaha membantu Leon mencairkan suasana sebelum semuanya terasa janggal.
"Sudah lama kita tidak bertemu yah, Leon." Bohong, Niko berbohong. Pasalnya baru saja dua hari yang lalu ia meeting dengan si bungsu Alvalendra itu.
"Seperti reuni saja." Tawanya renyah.
"Tetapi ini bukan reuni yang menyenangkan karena kita ada di depan toilet kan?" Stefani ikut menimpali, sama-sama berusaha mencairkan suasana.
Sementara Merisa sendiri, ia hanya terdiam kikuk dan tanpa sadar semakin mengeratkan pegangan tangannya di punggung Leon untuk mengatasi kegugupannya dari pandangan Ernest yang seakan meminta penjelasan lebih.
"Alvalendra, bisa aku berbicara dengan Merisa?" Pinta Ernest.
Merisa terkejut. Cepat-cepat ia menatap onyx Leon, entah dengan maksud apa. Seakan mengerti Leon menghela nafas berat. Ia melepaskan genggaman tangannya yang menggenggam pergelangan tangan Merisa.
"Selesaikan urusanmu…" Leon berbisik
"…hanya satu minggu."
.
.
.
.
Sinar hangat mentari pagi baru saja memasuki ruangan, meneranginya dengan sinar fajar yang kemerahan. Bunyi jam yang berdetik juga bunyi ketukan pulpen yang saling beriringan memecah keheningan di dalam ruangan kerja Leon.
Merasa bosan, ia menghentikan ketukan pulpennya. Menaruhnya begitu saja di meja kerja. Ia memejamkan matanya, berusaha rileks di kursinya.
"Kenapa tidak telfon!" Ia menggeram. Rahangnya terkantup rapat.
"Ahgggg… Brengsek! Kenapa jadi begini!" Ia memaki sambil mengacak rambut kebanggaannya, frustasi.
Bunyi ketukan pintu mengalihkan perhatiannya.
"Masuk!"
Seorang pria dengan kaca mata bundar masuk kedalam ruang kerjanya. Ia acuh ketika pria yang menjadi sekertaris pribadinya itu membungkukkan badan sambil menyapanya.
"Tuan, sudah saatnya kita pergi."
Leon berdecak kesal.
"Sebentar lagi." Leon melirik telfon yang ada di sudut mejanya, berharap telfon itu berdering.
"Kita bisa terlambat, Tuan."
Lagi-lagi Leon menggeram.
"Aku tau, Fer." Leon bangkit dari kursinya mengikuti arahan Ferdi dan keluar dari ruang kerjanya.
…
Leon terlihat bosan. Ia terus memandang keluar jendela mobil. Terus saja ia menghela nafas, kemudian menumpukan kepalanya di jendela.
"Anda baik-baik saja, Tuan?" Ferdi hanya bisa prihatin dengan keadaan majikannya yang sejak awal hanya diam lesu tanpa gairah untuk bekerja seperti sebelum-sebelumnya. Merasa tidak di perhatikan, akhirnya Kabuto hanya bisa menghela nafas.
"Sebaiknya Anda saja yang menelfonnya."
Seketika Leon langsung berbalik melihat Ferdi. Dengan ekspresi bingung dan terkejut, ia melihat Ferdi yang hanya mendelik menjawab ekspresi majikannya itu.
"Semua yang ada di rumah tahu hal ini. Kenapa terkejut?"
"Apa terlihat jelas?" Tanya Leon berbisik.
Ferdi hanya mengangguk. Lalu disusul dengan helaan nafas berat dari Leon.
"Tapi kenapa dia tidak merasakannya?" Leon kembali melihat keluar jendela mobil.
"Nona adalah orang yang tidak berani mengambil kesimpulan sendiri apalagi dalam hal cinta. Dia tidak akan berani mengira-ngira atau berkhayal apapun yang menurut kacamatanya tidaklah jelas atau bisa dikatakan tidak mungkin." Ferdi hanya mendelikan bahu, kemudian beralih lagi pada lembaran-lembaran kertas yang ada di pangkuannya.
Leon hanya berdecak pelan.
"Kau lebih mengenalnya, Ferdi. Jangan-jangan kau menaruh perhatian padanya."
Lagi-lagi Ferdi menghela nafas lelah.
"Ini hanya saran…" Ia membalikkan lembaran kertasnya. "…sebagai teman."
"Kau pikir aku bodoh tidak pernah mengatakan hal itu." Rahang Leon terkantup rapat, menahan sesuatu.
"Lebih baik anda konsentrasi saja dengan rapat pemegang saham. Mereka pasti akan bertanya tentang produksi mobil terbaru kita yang ditunda walaupun kita sudah tahu siapa pelakunya tetapi aku rasa mereka masih mempersoalkannya. Aku masih mengendus niat mereka untuk menggeser posisi anda. Aku rasa salah satu mereka adalah otak dari pencurian rancangan baru produk kita." Ujar Ferdi cepat.
"Hm , aku mengerti." Leon kembali menghela nafas.
Sesampainya di Kantor, secepat kilat Leon masuk kedalam ruang meeting yang sudah di penuhi oleh semua pemegang saham lainnya.
To be continue...