"Anda teman Tuan Alvalendra."
"Bukan."
Merisa mengangguk mengerti. Suasana diantara mereka kembali hening.
.
.
.
Splas…
.
.
.
Seketika kilatan kamera mengagetkan mereka berdua. Merisa mengerjapkan matanya, berusaha menormalkan pandangannya yang kabur karena kilatan kamera yang diarahkan tepat di depannya.
"Nona, boleh kami minta waktu sebentar? Apa anda kekasih Alvalendra? Kapan anda akan menikah? Siapa nama anda?" Tanya seorang wartawan beruntun.
Ia membawa krunya yang senantiasa mengambil gambar Merisa tanpa henti. Membuat pandangan Hinata kabur dan berkunang-kunang. Mereka mengerubungi Merisa dan lontaran pertanyaan tanpa henti yang semakin memperparah keadaan.
.
.
.
Merisa berpegangan pada pinggir meja tanpa sadar menyenggol gelas yang tadi ia gunakan. Isinya tumpah dan mengotori gaun Merisa kemudian disusul oleh bunyi pecahan gelas yang membentur lantai.
.
.
"Permisi!" Daniel menarik Merisa, berusaha menyelamatkan Merisa dari wartawan itu. ia menarik Merisa menjauh keluar.
.
.
.
Sementara Leon yang awalnya berniat menghampiri Merisa, kaget Merisa sudah di bawa oleh Daniel keluar. Dengan kesal ia mengikuti mereka. Dilihatnya Merisa dan Daniel masuk kedalam toilet wanita membuatnya tanpa sadar berfikiran negative.
.
.
"Kalian sedang apa!" Mata Leon menampakkan kilatan amarah. Merisa dan Daniel terkejut melihat kehadiran Merisa tetapi tidak lama. Perhatian mereka teralih pada Merisa yang kembali menumpahkan isi perutnya di westafel.
"Kau kenapa?" Leon panik melihat Merisa yang terus memuntahkan isi perutnya. Diusapnya punggung Merisa berulang kali, berusaha meredakan mualnya.
Daniel berdecih,
.
.
.
.
"Tidak kusangka kau sudah melakukannya pada pacarmu." Tatapan mata Daniel terlihat merendahkan lalu dibalas tatapan bingung dari Leon.
Daniel memutar bola matanya.
.
.
.
"Dia hamil." Ucapnya datar.
"APA!" Pekik Leon. Merisa terbatuk mendengar ucapan Daniel tentang dirinya. Pandangan Leon beralih pada Merisa sementara Merisa menatap horror Leon dan dengan cepat ia menggelengkan kepalanya.
"Urus urusan kalian." Daniel meninggalkan mereka berdua di toilet wanita.
"Bu-bukan…" Merisa menggeleng kepalanya. Dengan horror ia menatap mata Leon yang terlihat menakutkan.
"Siapa ayahnya, katakan!" Leon menggeram. Ia mencengkram bahu Merisa.
"Sa-sakit." Merisa meringis.
"Cepat katakan!"
"I-itu…" Merisa menundukkan kepalanya, tidak berani menatap mata Leon.
"…a-aku ke-kenyangan makanya a-aku mual da-dan lagi ta-tadi wartawan me-membuatku pu-pusing ja-jadinya tambah mu-mual." Perlahan cengkraman di bahu Merisa mengendur.
Raut wajah Leon berubah merah, malu akan tindakannya sendiri. Sedangkan Merisa hanya memainkan jari-jarinya gugup ditambah malu.
"Be-begitu yah." Leon menyunggingkan senyum kemudian tertawa geli.
"Tuan jangan menertawakanku!" Merisa merengut.
Leon berusaha kembali kewajah stoicnya tetapi belum sampai 5 detik, ia kembali tertawa.
Merisa membuka kran air lalu membasuh mulutnya sambil memandang kesal pada majikannya itu. Selesai membasuh mulutnya ia membersihkan noda tumpahan wine di gaunnya. Kesal karena warna merah dari wine tidak kunjung hilang malah semakin membesar, ia menggeram.
"Sejak kapan kau bisa menggeram, Azkanida?" Leon mengeluarkan sapu tangannya kemudian menbasahinya sedikit. Ia berjongkok kemudian membantu Merisa membersihkan noda di gaunnya.
"Sejak mengenalmu, mungkin."
Leon hanya berdecak kesal.
"Jadi aku pengaruh buruk untuk mu?" Merisa terkikik pelan.
.
.
.
.Hening.
.
.
"Tuan, berapa uang yang kau keluarkan untuk menebus rumahku?" Tanya Merisa pelan.
"Dua ratus juta," Jawab Leon cepat.
Merisa membulatkan matanya kaget.
"Besar sekali."
Leon menengadahkan wajahnya. Menatap wajah Merisa yang sedang memandanginya.
"Jangan berhutang pada rentinir lagi, mengerti!" Ancam Leon. Merisa mengangguk mengiyakan
Kembali hening. Leon masih sibuk membersihkan noda di gaun Merisa.
"Tuan…" Merisa memberi jeda.
"…maaf." Ia terdiam. Begitu juga dengan Leon.
"Pernah menganggapmu jahat." Ujar Merisa lirih.
Leon berdecak kesal.
"Jadi itu alasanmu, selalu ketakutan melihatku…" Leon menggosok gaun Merisa dengan sapu tangannya sedikit keras.
"…bahkan saat kita di high school." Merisa diam, tidak membantah.
"Maaf." Suara Merisa semakin kecil. "Tidak datang saat…" Ragu mengucapkannya.
"…ulang tahunmu." Leon terdiam. Kepalanya kembali terangkat, melihat Merisa dengan raut wajah sangat menyesal. Kemudian tidak beberapa lama ia tundukan lagi wajahnya.
"Kau tahu saat seventeenku, aku sendirian. Hanya ada kakak sepupuku, Alya, juga ayah." Merisa tertawa dipaksakan.
"Terima kasih sudah mau jadi temanku Leon Alvalendra." Kali ini Merisa memberikan senyum tulusnya.
"Aku tidak mau." Leon kembali berdiri.
"Kita bukan teman." Tegas. Onyxnya menatap mata coklat Merisa penuh keseriusan. Senyum yang tadinya terkembang diwajah Merisa perlahan memudar.
"Maaf." Ucapnya sambil menundukkan kepala.
"Kita pulang!"
Merisa mengangguk kemudian melangkahkan kakinya keluar dari toilet melewati Leon yang masih diam ditempat.
Merisa keluar sambil menundukkan kepalanya tidak sadar akan kedatangan seseorang dari arah sebaliknya.
"Maaf," Merisa membungkukkan badannya berulang kali, menyesal karena sudah menabrak orang yang ada di depannya.
"Tidak apa." Ucapnya ramah. Dilihatnya Merisa yang tadi tidak sengaja menabraknya.
"Melano ?." Ucap Merisa kaget. Sementara Stefani hanya diam membeku melihat Merisa. Bukan, lebih tepatnya melihat seseorang yang ada di belakang Merisa, Leon Alvalendra.
Perlahan mata zamrud nya beralih pada mata coklat Merisa. Pemandangan yang berusaha ia tidak percayai. Seorang Leon Alvalendra, keluar dari toilet wanita bersama dengan Merisa Azkanida.
Oke, dimana ada Stefani Melano di situ ada Niko Zevano. Yap, sekarang Niko menyusul Stefani dan ia pun terkejut melihat Leon ada di toilet wanita bersama
Merisa Azkanida.
"Merisa!" Keadaan bertambah semakin sulit ketika kedatangan Ernest Ann yakni sepupu dari Merisa Azkanida.
Lima orang dalam keadan yang sulit.
.
.
.
…
To be continue...