"Semoga, aku menemukan pria kaya yang mencintaiku, " Ucapnya berdoa. Leon hanya terkikik geli. Membuat Merisa merengut kesal.
"Dasar aneh!"
Semua pandangan beralih pada mereka saat mereka masuk kedalam tempat berlangsungnya acara. Merisa sedikit kikuk dengan tatapan-tatapan ingin tahu yang dilemparkan oleh semua orang pada mereka. Apalagi melihat tautan tangan mereka.
Bukan saling bergandengan tetapi lebih tepat Leon yang menggenggam pergelangan tangan Merisa, membuat Merisa harus menunduk menutupi wajahnya, menghindari para wartawan yang tanpa henti-hentinya mengambil foto mereka.
Merisa mengutuki dirinya sendiri. Ia tidak berfikir kalau sampai pesta ini akan dihadiri banyak wartawan. Pantas saja, pesta ini dihadiri banyak selebritis.
Georgi merupakan perusahan yang menjadi icon fashion di Asia pastinya sayang untuk dilewatkan, apa lagi banyak sekali pengusaha kaya raya yang datang juga para selebritis papan atas. Hal sepenting ini Merisa melupakannya.
Satu hal lagi yang ia lupakan, dengan siapa dirinya datang. Leon Alvalendra, pengusaha muda yang banyak prestasi juga kaya raya.
"Tuan!" Panggil merisa berbisik. Leon hanya menengok Merisa sekilas lalu melanjutkan kegiatannya menyapa tuan rumah.
"Selamat datang, Leon Alvalendra." Seorang pria berambut coklat pekat hampir berwarna ke hitam hitaman menyapa mereka. Lingkaran hitam di matanya menandakan ia jarang beristirahat. Ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Leon.
"Hm," Jawab Leon sekenanya.
"Tidak suka berbasa-basi. Kau memang berbeda Alvalendra," Ucapnya sambil menyunggingkan senyum, senyum mengerikan.
Merisa bergidik ngeri. Pandangan mata pria itu beralih pada Merisa, sontak Merisa terkejut dan mematung.
"Salamat datang, Nona…" Ia mengernyitkan dahinya meminta Merisa menyebutkan namanya.
"Me-merisa," Tangan Merisa gemetar walaupun begitu ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan pria itu, bersikap sopan. Mereka berjabat tangan dan…
Cup…
Merisa dihadiahi kecupan dipunggung tangannya, membuat wajahnya yang pucat menjadi memerah seperti uang seratus ribu bergambar Soekarno dan Hatta. Leon yang melihatnya hanya berdecak kesal melihat romantisme yang tersaji di depannya.
"Cemburu, Alvalendra?" Pria itu menyunggingkan senyumnya mengejek leon sambil terus menggenggam tangan Merisa dan menautkan jari-jarinya disela jari-jari Merisa.
Merisa hanya bisa mematung, otaknya berusaha memutar ulang kejadian yang baru saja terjadi. Baru pertama kalinya, ada seorang pria yang pencium puggung tangannya membuatnya merasa seperti seorang lady yang biasa ia tonton di film-film barat. Sedangkan Leon hanya bisa memasang deathglare andalannya yang pastinya tidak akan mempan untuk Georgi yang satu ini.
Alhasil mereka saling beradu deathglare.
Leon segera menarik tangan Merisa, memposisikan
Merisa agar berada di sampingnya.
Tindakan posesif Leon menyulut gelak tawa Audric Georgi, tawa yang mengerikan.
"Nikmatilah pestanya, Alvalendra." Ucapnya sambil berlalu.
"Apa-apaan dia?" Leon menggeram. Kemudian menyadarkan Merisa yang masih berkelana dalam khayalannya.
"Jangan bermimpi Azkanida!" Ucap Leon geram seakan bisa membaca pikiran Merisa.
"Apa?"
"Jangan jauh-jauh dariku!" Perintah Leon. Lagi-lagi ia menggenggam tangan Merisa dan membawanya menemui relasi-relasi bisnisnya.
Mereka menjadi pusat perhatian di pesta ini, walaupun banyak sekali selebritis papan atas yang datang tetap saja tidak menyurutkan para pencari berita untuk mencari berita tentang Alvalendra bungsu ini. Pasalnya, Alvalendra ini sangat tertutup pada urusan pribadinya setelah kematian kedua orang tuanya lima tahun lalu dan kepergian kakak laki-laki nya ke Jerman Untuk mengurusi bisnis di sana.
Pasalnya saat itu, Leon Alvalendra adalah anak berumur 20 tahun, yang masih terlalu muda untuk menjadi penerus perusahaan .
Bahkan adanya isu bahwa terjadinya sabotase kepemimpinan perusahaan oleh pemegang saham lainnya sempat terdengar dan menimbulkan beberapa masalah besar seperti penurunan saham Alvalendra Corp. tetapi seiring berjalannya waktu Alvalendra Corp. mulai stabil di bawah pimpinan Leon bahkan beranjak naik. Hal ini menimbulkan banyaknya lontaran kekaguman untuk Leon.
Diusianya yang semuda ini dia sudah bisa menimba puluhan juta dollar tiap tahunnya membuat semua wanita pasti ingin menjadi pendamping pria ini dan sekarang seorang Leon Alvalendra membawa seorang wanita ke sini menjadi tanda tanya besar yang membuat para wartawan getol mengikuti setiap gerak-geriknya.
Tetapi tidak sekarang, Leon pasti akan tutup mulut dan menghindar dari incaran wartawan seperti sebelum-sebelumnya. Perlu waktu yang tepat untuk menanyai mereka. Bukan, akan lebih mudah menanyai wanitanya dari pada Leon.
Merisa hanya bisa menghembuskan nafas bosan melihat sebagian besar relasi bisnis Leon bukanlah orang-orang muda, yang paling muda saja adalah pria seumuran ayahnya yang genitnya bukan main membuat Merisa bergidik ngeri dan menyembunyikan dirinya di belakang Leon.
Pria itu senang sekali bercerita, terkadang melontarkan kata-kata vulgar yang membuat semua orang tertawa geli melihat kelakuannya. Sementara Leon, masih dengan wajah stoicnya walaupun sesekali ia menyunggingkan senyum aneh yang dipaksakan, berusaha membaur. Senyum Leon yang aneh setidaknya menjadi hiburan kecil buat Merisa.
"Tuan, boleh saya makan?" Bisik Merisa, matanya melirik meja di pojokkan yang penuh dengan sajian yang terlihat menggiurkan. Leon mengangguk dan melepas genggaman tangannya.
"Jangan kemana-mana sebentar lagi aku menyusul." Bisik Leon. Merisa menggangguk meng iya kan kemudian mendekati meja itu.
Merisa tersenyum simpul. Matanya berbinar-binar melihat sajian yang ada di atas meja. Segera saja ia mengambil piring kemudian memenuhi piringnya dengan makanan-makanan enak. Dengan lahap ia memakannya, sesaat melupakan tujuan ia datang kemari. Sampai seseorang menghampirinya.
"Apa makanannya begitu enak?" Tanya seseorang di belakang Merisa.
Merisa terbatuk, cepat-cepat ia mengambil minuman dan meminumnya. Wajah Merisa memerah melihat pria itu. Daniel Georgi, pewaris perusahaan Georgia, orang kaya, pria yang mencium punggung tangannya. Target yang tepat.
"Kau kekasih Alvalendra itu kan?" Pria itu menatap Merisa tidak percaya. Dimatanya Merisa adalah wanita rakus yang suka makan dan terkesan tidak tahu manner.
Dengan cepat Merisa menggoyangkan tangannya yang masih memegang garpu, menyangkal ucapan Daniel. Daniel hanya mengernyitkan alisnya, 'Benar-benar tidak tahu tata krama' Batinnya.
"Aku hanya…" Merisa memutar otak mencari alasan yang tepat.
"…sekertarisnya." Ucap Merisa.
Daniel tersenyum sinis, memandang Merisa dari ujung kaki hingga kepala. 'Biasa saja' Pikirnya.
"Memangnya kenapa?" Merisa merasa Daniel meremehkannya.
"Tidak," Ucapnya datar. Daniel mengambil minuman yang disediakan. Ia berbalik, menyenderkan tubuhnya di meja. Pandangannya menerawang kedepan, melihat kumpulan orang yang saling bersosialisasi.
Merisa mengangkat bahunya, acuh. Kembali ia menyantap makanannya, sesekali dirinya melirik si bungsu Georgia.
"Ada apa?" Tanya Daniel dingin, merasa dirinya diawasi.
Merisa menggeleng kepalanya cepat. Inginnya Merisa, ia bisa saling mengobrol dengan Daniel tetapi ia bingung bagaimana cara berbasa-basi.
"Anda teman Tuan Alvalendra."
"Bukan."
Merisa mengangguk mengerti. Suasana diantara mereka kembali hening.
Splas…
To be continue....