Ba-baiklah. Ta-tapi…" Merisa sedikit ragu untuk mengatakannya.
"…ja-jangan melakukan pelecehan padaku."
Leon hanya tertawa sinis.
"Bangga sekali kau dengan tubuh papanmu." Ucapnya sinis.
.
.
.
.
Iringan permainan piano mengalun lembut di dalam ruangan mewah yang ada di lantai atas dari hotel bintang lima. Riuh kumpulan manusia yang berkumpul membentuk-bentuk kelompok kecil.
Mereka sedang mendiskusikan sesuatu ataupun saling melontarkan pujian untuk tuan rumah. Kebahagiaan terpancar dari seluruh tamu undangan.
Tetapi tidak untuk seseorang wanita pirang dengan kuncir kudanya . Ia sengaja menempatkan dirinya di pojok ruangan. Matanya yang tajam meneliti seluruh ruangan mencari sesuatu yang ia harap akan ia temukan di sini. Ia tertawa kecil ketika tahu sesuatu yang ia cari tidaklah ada. Ditegug wine merah yang ada di tangannya.
Sekali lagi, pandangannya ia edarkan menyusuri setiap sudut ruangan. Matanya membulat tiba-tiba melihat sesuatu atau lebih tepatnya seseorang yang sejak awal ia cari baru saja masuk kedalam ruangan bersama seorang wanita yang terlihat seperti duplikat orang itu. Pandangan mereka bertemu. Wanita itu membenarkan posisi berdirinya, mamastikan tampilannya tidaklah buruk.
Orang itu sedikit membungkuk saat melihatnya. Tapi dibalas dengan senyum sinis dari wanita ini. Perlahan orang itu berjalan mendekati wanita ini. Tidak benar-benar menghampirinya, sedikit memberi ruang.
"Kau masih sama seperti dulu." Ucap wanita ini sinis. Ia lagi-lagi meneguk winenya berusaha menghilangkan kegugupannya.
"Jangan terlalu banyak meminum, tidak baik untuk kesehatan." Nasehat orang itu dengan nada suara seperti biasa, datar dan terkesan dingin.
"Jangan berbasa-basi, kau tidak pantas bersikap seperti itu," Ucap wanita ini disertai dengan tawa sinis.
"Hm," Gumamnya.
Dilihatnya Mata coklat milik Pria itu.
"Aku akan menikah…" Wanita itu memberi jeda.
"…dengan Devan William," Ucapanya langsung. Ia berharap mata coklat itu menampakkan keterkejutannya. Tapi ternyata dia salah. Sedikitpun tidak ada ekspresi di wajah bahkan dimatanya.
"Selamat! Semoga kau bahagia," Ucap pria itu datar.
Wanita ini hanya tertawa sinis. Ia menghembuskan nafas berat.
"Semakin lama aku semakin membenci dirimu Ernest Ann ."
.
.
.
Merisa tercengang melihat betapa megahnya hotel ini. Matanya tidak henti-hentinya melihat keatas, melihat atap kaca berbentuk pyramid. Kilauan bintang-bintang yang bertaburan di langit yang gelap terlihat sangat indah jarang sekali ia melihat bintang seperti ini kecuali…
"Sudah puas?"
Yang ada di mata orang itu.
Merisa tersenyum kemudian berlari kecil menghampiri Leon.
"Terima kasih," Ucap Merisa berbisik. Ia menunjukan gaunnya pada Leon. Gaun berwarna cream selutut tanpa bahu, mewah tetapi terkesan sederhana. Leon berusaha acuh walaupun sejak awal jantungnya berdetak kencang.
Merisa menautkan jari-jarinya, matanya tertutup rapat.
"Semoga, aku menemukan pria kaya yang mencintaiku, " Ucapnya berdoa. Leon hanya terkikik geli. Membuat Merisa merengut kesal.
"Dasar aneh!"
To be continue ....