Aku Azkanida, Merisa Azkanida, wanita yang baru saja berumur 24 tahun. Aku tinggal di Mansion yang indah yang dikelilingi hamparan padang bunga lavender yang bermekaran. Aku memiliki puluhan kendaraan mewah, lusinan gaun indah, puluhan perhiasan mahal, dan juga pelayan yang setiap saat membantuku. Yah, tetapi itu semua dulu. Sekarang lihatlah aku!
Aku hanya Merisa Azkanida biasa, memakai seragam maid, memiliki banyak hutang, melakukan pekerjaan buruh, dan sering terkena kesialan, seperti saat ini.
"Ini milik siapa?" Suaranya yang khas terkesan mengintimidasi kami.
Ia menunjukan sebuah kotak hitam dengan gambar Pikachu pada kami bertiga. Ketakutan melanda kami. Seperti di terpa terjangan ombak yang sangat tinggi, membuat kami tidak bisa bernafas.
"Milik siapa?" Tanyanya sekali lagi. Uhhh… keadaan semakin sulit. Aku malu sekali untuk mengakuinya.
"Itu… milik sa-"
"Itu milik saya, saya!" Potongku, setengah berteriak. Tidak ingin Sandra mengakui kesalahanku. Ia mengerutkan keningnya.
"Kau bangga sekali, Nona Azkanida." Ia melipat kedua tangannya. Pandangannya seakan mengintimidasiku. Aku malu, malu sekali, tidak berani menatap matanya yang menusuk ke dalam Mata coklatku .
"Kalian boleh pergi kecuali dia!" Ia menunjukku.
Aku gelagapan melihat Sandra dan Olivia mundur dan pergi keluar dari kamarku. Kulihat dia menyeringai menatapku, mengerikan. Aku tidak tahan dengan tatapannya, cepat-cepat aku menundukan kepalaku. Hanya kami berdua di sini, di kamarku.
"I-itu…" Tenggorokan ku terasa kering.
"Lusa kau tidak boleh kemana-mana!" Suaranya memerintah.
"Setiap hari pun aku selalu di Mansion." Ucapku pelan. Miris mengingat hal ini. Sejak kejadian seminggu yang lalu di bar, aku sama sekali tidak boleh keluar mansion. Dia melarangku keluar sebagai hukuman atas kebodohanku.
Ia menghembuskan nafas berat.
"Itu salahmu." Menusuk-nusuk keningku dengan jari telunjuknya.
"Kau pikir karena siapa aku harus meninggalkan pekerjaanku, heh?" Apa dia mengkhawatirkanku?
"Kau menghawatirkanku?"
Ia tertawa, tawa meremehkan.
"Bermimpilah!"
Aku mengerucutkan bibirku. Seperti inilah dia, terkadang membuat keadaanku seperti diatas langit terkadang ia pun menjatuhkanku ke dasar nereka.
Berlebihan? Memang.
"Lusa kau ikut denganku." Ia memberikanku sebuah undangan. Aku tercekat membaca isi dari undangan tersebut. Dengan berkaca-kaca aku menatapnya.
"Kau mengajakku?" Tanyaku memasang tampang memohon padanya.
Ia sedikit kaget dengan ekspresi yang ku tunjukan.
"Kenapa?"
"Dengan ini aku bisa berkenalan dengan pria kaya."
"APA!", Suaranya tercekat di tenggorokannya.
…
"Silahkan!"
Merisa meletakkan segelas jus tomat di meja kecil, di samping meja kerja Leon. Ia tersenyum tetapi entah kenapa senyumnya sangat aneh menurut Leon. Diacuhkannya Merisa yang sejak tadi selalu saja mencari perhatiannya. Sejak tadi pagi hingga sekarang Merisa bertingkah layaknya penjilat.
Tanpa disuruh dia sudah mengerjakannya, entah membuatkan jus Tomat di pagi hari, memasangkannya dasi, mengucapkan selamat jalan saat ia berangkat kerja. Terasa begitu aneh untuk Leon yang biasa memerintahkan Merisa dengan seenaknya.
"Apa ada lagi yang anda butuhkan, Tuan?" Tanya Merisa.
"Hm." Leon masih saja berkutat pada berkas-berkas yang ada di mejanya.
"Apa anda butuh handuk hangat? Pijatan? Atau sedikit hiburan? Saya bisa bernyanyi." Tanya Merisa, beruntun.
"Kau terlihat mengerikan, Azkanida." Puluhan jarum seakan menghujani Merisa.
Kesal? tentu saja.
Walau rasanya ingin sekali lepas dari topengnya sekarang, Merisa tidak berdaya. Keinginannya sangat besar untuk ikut menghadiri acara perayaan ulang tahun perusahaan Georgi, perusahaan yang terkenal dengan produk-produk fashionnya yang merajai hampir seluruh perusahaan tekstil di Asia. Pastinya banyak sekali pria-pria kaya yang diundang disana. Itu artinya kesempatan untuk menikahi pria kaya yang akan mendongkrak hidupnya semakin besar. Licik sekali ternyata pemikiran Nona kita satu ini.
"Tuan bisa saja," Ucap Merisa disertai dengan tawa renyah, garing.
Leon hanya berdecak kesal. Ia bangkit dari kursinya berniat meninggalkan Merisa yang sejak awal tingkahnya terkesan sangat memuakkan.
"Tuan, anda tidak meminum jusnya. Apa anda ingin sesuatu?" Tanya Merisa sambil terus saja mengekori Leon.
Leon berbalik tiba-tiba, membuat Merisa tersontak kaget dan buru-buru melangkah mundur.
"Sudah ku katakan tidak. Yah tidak!" Ucap Leon disertai geraman sambil menusuk-nusuk hidung Merisa berulang kali.
Merisa hanya bisa merengut kesal.
"Kenapa? Awalnya kan Anda yang mengajak saya?" Kali ini Merisa menuntut.
"Niat mu sejak awal sudah tidak baik, Azkanida. Kau ingin kejadian seminggu yang lalu terulang, Heh?"Ucap Leon sambil melipat kedua tangannya didada. Merisa tertunduk lesu.
"Ingat?" Sebelah alis Leon terangkat.
"Aku ingat tetapi ini berbeda." Elak Merisa, sedikit keras.
"Jangan keras kepala!" Bentak Leon pada Merisa. Membuat Merisa sedikit ketakutan padanya. Merasa Merisa sudah mengerti. Ia berbalik lalu membuka pintu ruang kerjanya, berniat untuk pergi.
"Akan ku lakukan apa pun asal kau mengajakku."
Leon mematung. Ia berbalik melihat Merisa tanpa ekspresi lalu perlahan seringainya muncul membuat Merisa harus bersusah payah meneguk ludahnya sendiri.
"Apa pun?" Leon memastikan.
Melihat tatapan Leon yang mengerikan membuat Merisa berfikir dua kali dan langsung menggelengkan kepalanya cepat untuk membantah perkataannya barusan.
"Tidak jadi," Ucapnya was-was.
Leon hanya berdecak kesal.
"Ba-baiklah. Ta-tapi…" Merisa sedikit ragu untuk mengatakannya.
"…ja-jangan melakukan pelecehan padaku."
Leon hanya tertawa sinis.
"Bangga sekali kau dengan tubuh papanmu." Ucapnya sinis.
To be continue...