Suro memutar pandangan matanya ke arah Yang Li Yun adiknya itu yang tersenyum malu, lalu memandangi Yin Rou Yi yang diam tak berani mengangkat kepalanya. Tetapi ia bisa melihat, keduanya tak ada yang membantah perkataan Tan Bu yang dianggapnya sekedar candaan.
Ia lalu melihat Tan Bu yang masih menundukkan tubuhnya. Lalu memegang kedua tangan lelaki itu agar kembali ke posisi semula. Raut wajah Tan Bu terlihat cerah dengan senyuman lebar.
"Kakak, apa yang kau katakan. Jangan bercanda..." Suro berkata, wajahnya nampak serius.
"Kau sebut aku bercanda?" tanyanya pada Suro, pandangannya lalu mengarah pada dua orang gadis dibelakang pemuda itu.
"Lihat para gadis cantik ini...." ia menunjuk Li Yun dan Rou Yi bergantian, "Ini adalah hadiah terbesar dari yang maha kuasa. Pemuda baik sepertimu sudah sepantasnya mendapatkan gadis yang baik seperti mereka."
"Kakak Tan...." Suro hendak menyahut ucapan Tan Bu, tetapi lelaki itu langsung mengangkat tangannya.
"Ayo kita makan dulu," katanya sambil mengambil dua potong bilah untuk memanggang ikan, lalu menyerahkannya masing-masing pada Li Yun dan Rou Yi, "kebetulan sudah matang. Ini nyonya Yang..."
Mendengar kallimat terakhir Tan Bu, membuat Suro kembali salah tingkah sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Tan Bu menyembunyikan tawanya dalam hati sambil memakan ikan yang sudah matang.
***
Lelaki itu menggebrak meja yang ada disampingnya, hingga nyaris barang-barang yang ada diatasnya bergetar dan terangkat. Matanya melotot marah pada beberapa orang prajurit yang sedang berlutut didepannya.
"Pekerjaan seperti ini saja tidak bisa!" katanya dengan suara keras dan penuh emosi, "Jumlah kalian 'kan banyak, mengapa hanya melawan satu orang saja tidak sanggup!"
Lelaki itu berusia lebih kurang 40 an tahun, badannya kekar dan tinggi. Tampangnya terlihat bengis dan kejam.
Namanya adalah Chen Lian. Dia adalah salah satu orang kepercayaan dari Perwira Chou. Bukan merupakan prajurit, tetapi seorang pendekar yang diberi kepercayaan oleh Perwira Chou sebagai penggantinya bila ia berada ditempat lain.
Chen Lian di Kota Gezi dikenal juga dengan sebutan Pendekar Phoenix karena aliran kungfunya.
Wajah-wajah para prajurit itu nampak pucat, mereka tak ada yang berani mengangkat kepalanya, apalagi bersuara memberikan alasan. Mereka harus menerima makian dari Chen Lian yang diucapkan berulang-ulang dengan suara yang keras dan kasar.
"Jika tuan Chow tahu kegagalan kalian, " ia menghentikan kalimatnya sejenak sambil menatap orang-orang didepannya dengan pandangan mengancam, "Habislah kalian semua!"
"Ampuni kami, tuan Chen!"
"Ampuni kami, tuan Chen!
Mereka ramai-ramai meminta ampun atas kegagalan mereka, menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Perwira Chou menangkap lelaki bertopeng di Lembah Gezi.
Jangankan mereka, Yun Se si Pedang Ular yang berilmu tinggi pun kini hidup dalam keadaan sakit dan cacat seumur hidup akibat Suro.
Chen Lian kembali menenangkan diri dikursinya. Nampaknya ia sangat penasaran terhadap orang bertopeng itu. Setinggi apa ilmunya sampai ia meminta bantuan dari Ye Chuan. Ia cuma bisa membatin.
Barangkali, dirinya maupun Chen Lian belum mengetahui, bahwa Ye Chuan si Naga Api sebenarnya telah mati terbunuh dalam pertarungan melawan Suro, yakni orang yang menjadi buruannya selama ini.
"Kita punya waktu satu bulan untuk menangkap manusia bertopeng itu sebelum tuan Chou kembali dari latihannya!" ia berkata, lalu berdiri dan melangkah melewati para prajurit itu, "Besok pagi-pagi sekali, aku yang akan memimpin langsung ke Lembah Gezi!"
Mereka pun serempak menjawab sambil menangkupkan kepalan tangan mereka, "Siap, tuan!"
Mereka tidak tahu, bahwa kediaman tabib Hu sudah kosong ditinggalkan penghuninya beberapa hari yang lalu. Jelas, jika mereka sampai dan tidak mendapati apa yang mereka cari, Chen Lian pasti sangat marah.
***
Hari berikutnya, disaat Chen Lian dan para prajurit kerajaan sedang bergerak menuju lembah Gezi, rombongan Suro dengan menaiki kereta kuda dengan Tan Bu sebagai kusir pun tengah bergerak keluar dari kota itu.
Saat ini mereka dalam perjalanan menuju dermaga pelabuhan, yang arahnya satu jalur dekat dengan biara Shao Lin. Berdasarkan arah angin, maka saat ini diperkirakan belum ada kapal dagang yang akan berangkat ke negeri seberang, negeri dimana Suro lahir.
Maka dari itu, sembari menunggu angin yang tepat datang, Suro bermaksud untuk menginap di kuil Shaolin beberapa hari, lalu melanjutkan perjalanannya.
Di luar kereta, Suro duduk di sebelah Tan Bu menemaninya. Mereka sudah berada di separuh perjalanan menuju kuil Shao Lin.
"Adik," Tan Bu berkata ketika melihat Suro terkantuk-kantuk disampingnya, "Sebaiknya kau istirahat saja dulu didalam menemani Nona Li dan Nona Yi."
Pemuda itu langsung tertawa kecil, "Kakak fikir jika aku berada didalam juga bisa tertidur?"
Tan Bu menoleh sekejap, lalu menatap kembali ke arah jalanan.
"Memangnya kenapa?" ia bertanya.
Kereta itu ditarik oleh dua ekor kuda, sehingga kecepatannya juga lebih maksimal.
Suro cuma menjawab dengan senyuman. Tapi Tan Bu nampaknya dapat menebak apa yang ada dalam fikiran Suro.
"Oh," katanya, "Karena mereka semua adalah para gadis yang bukan sekandung, ya?"
"Hmmm," pemuda itu mengangguk.
Tan Bu tersenyum melirik pemuda itu yang nampak terkantuk-kantuk.
Suro merasa, selama ini ia sudah merasa banyak berdosa. Beberapa kali ia melanggar larangan dalam agamanya, seperti bersentuhan dengan dua gadis itu. Memegang tangan, memeluk dan bahkan dengan beraninya ia mengusap air mata mereka.
Walaupun kondisinya bisa dikatakan tak bisa ditolak, tetap saja yang dilakukannya membuat darahnya berdesir.
Tan Bu sangat-sangat kagum dengan Suro, pemuda itu sampai rela dirinya tak nyaman demi menjaga kehormatan dirinya dan juga diri para gadis itu. Makanya, Tan Bu berfikir, gadis mana yang tidak jatuh cinta pada Suro, selain gagah, ketinggian budi pekertinya jarang ditemukan pada orang seusianya.
Memikirkan itu, Tan Bu tertawa kecil, dan tawanya itu membuat Suro menoleh padanya.
"Mengapa kakak tertawa?"
Tan Bu melirik, "Aku kagum padamu, adik."
Suro seperti penasaran. Ia kemudian membetulkan posisi duduknya agar lebih nyaman. Rasa kantuknya seolah menguap seperti air embun terkena sinar matahari.
"Kenapa?" tanyanya melihat Tan Bu tak berhenti tersenyum.
"Kakak fikir, sebaiknya kau segera menikahi mereka berdua," ucapan Tan Bu mengejutkan Suro.
Kemudian ia mendesah panjang. Dalam hatinya, ia memang berencana akan menikahi Li Yun dikemudian hari. Tetapi nampaknya, melihat kondisi Li Yun yang selalu bersamanya saat ini, mau tidak mau rencana itu harus dipercepat demi menghindari perasaan berdosanya.
Tiba-tiba, ia jadi teringat janjinya pada Tabib Hu untuk membawa Rou Yi, menjaga dan melindunginya. Jelas maksud tabib Hu meskipun tidak secara terang-terangan memintanya untuk menikahi Rou Yi juga. Bagaimana mungkin ia bisa membawa gadis itu kemanapun ia pergi. Tak mungkin Rou Yi hanay akan ia jadikan sebagai pelayan.
Ia memang menyukai Rou Yi, tetapi bukan berarti juga mencintainya. Meskipun Ia tahu pasti karena Rou Yi sendiri yang mangatakan kalau ia mencintainya. Perasaan Suro sangat peka dan sentimentil, Rou Yi gadis yang baik hati dan lemah lembut, mana mungkin ia tega menyakiti hatinya.
Tan Bu melihat Suro dalam keadaan bimbang ketika pemuda itu menghela nafasnya panjang.
"Apa lagi yang kau fikirkan?" tanyanya pada Suro.
"Kakak Tan benar, aku memang harus menikahinya." Katanya pasrah tak berdaya. "Aku akan membicarakannya dengan Li Yun."
Tan Bu langsung tertawa keras, lalu menyentak kuda yang ia kendalikan agar melaju lebih kencang. Ia nampak gembira sekali mendengarnya.
"Nanti kau ajarkan aku cara menikahkan orang dalam Islam!" ia berteriak seolah sengaja agar suaranya bisa didengar oleh dua gadis dalam kereta.
***
Perwira Chou tertegun mendapati sebuah makam tak jauh dalam gua di Lembah Awan Perak. Matanya langsung terbelalak ketika melihat tulisan yang tertancam disisi makam itu.
"Ye Chuan!"
Hatinya merasa geram, rencananya untuk membunuh Suro, si manusia bertopeng yang ia sendiri belum tahu namanya melalui tangan Ye Chuan gagal.
Ia tak bisa membayangkan, bagaimana Ye Chuan si Naga Api yang sangat ahli didunia persilatan bisa kalah. Artinya, orang itu mempunyai ilmu yang lebih tinggi lagi.
Ia sendiri sudah pernah merasakan bagaimana ia kalah telak ketika bertarung dengan Suro, beruntung pemuda itu tidak membunuhnya dan hanya meninggalkannya dalam keadaan luka dalam terkena pukulan telapak Kupu-kupu.
Dengan langkah kesal, ia langsung masuk ke dalam gua setelah menyalakan sebatang obor sebagai penerang.
Tepat dimana Ye Chuan dulu ia penjarakan, ia masuk ke dalam, mengambil sebuah buku dari balik bajunya. Kemudian ia duduk bersila lalu membaca buku itu lembar demi lembar.
Nafsu membunuhnya menjadikan ia bertekad untuk memperdalam kemampuannya dalam ilmu bela diri. Ia bertekad, kalau ia sendiri yang akan mencari dan membunuh manusia bertopeng itu.
***
Rombongan prajurit berjumlah puluhan orang yang dipimpin oleh Chen Lian sudah tiba di kediaman Tabib Hu di lembah Gezi.
Mendapati tempat itu sudah kosong dan hanya menjumpai barang-barang berserakan akibat pertarungan, membuat Chen Lian naik darah.
Ia mencari pelampiasan dengan membakar tempat itu hingga rata dengan tanah.
"Kurang ajar!" ia memaki orang-orang yang ada disitu, "Aku tidak mau tahu, kalian harus mencarinya walaupun sampai ke ujung dunia sekalipun!"
Karena tak mendapat petunjuk apa pun, ia memerintahkan rombongannya untuk kembali ke kota dan menyusun rencana selanjutnya.
***
Melintasi daerah tandus dan gersang....
Sekelompok orang berkuda tiba-tiba muncul mengejarnya dari arah belakang, lalu dengan cepat menghalangi jalannya hingga terpaksa Tan Bu menarik tali kekang kuda agar kudanya berhenti.
"Serahkan barang-barang kalian jika kalian masih ingin tetap hidup!" salah satu dari mereka berkata, jumlah mereka ada 5 orang berpakaian merah-merah.
Suro tersenyum melihat 5 orang pengendara kuda itu yang bermaksud merampok. Lalu dengan santainya ia turun dari atas kereta. Bersamaan dengan itu pula, Rou Yi dan Li Yun membuka tirai yang menutup jendela kereta.
"Ada apa, kakak Luo?" Li Yun bertanya sambil melongokkan kepala, dan melihat Suro sedang berdiri dikelilingi oleh kelima orang itu.
Suro menoleh kebelakang dan tersenyum pada Li Yun, "Tidak ada apa-apa, hanya reuni kecil."
Suro mengatakannya dengan santai. Reuni kecil? Gadis itu berrfikir.
Tetapi dalam hatinya tak ada rasa khawatir, sebab ia yakin akan kemampuan beladiri Suro yang sangat tinggi, pastilah jika kelima orang itu bermaksud buruk, tak akan berkutik menghadapi Suro.
Orang yang berkata pertama kali tadi nampak marah begitu melihat Suro seperti meremehkan mereka dengan cara tersenyum mengejek. Ia tak melihat kalau ancamannya tadi tak membuat Suro ketakutan.
"Kamu berani sekali. Mau mati, ya?" katanya dengan mengancam menghunuskan pedangnya.
Suro menggaruk-garuk kepalanya, lalu berdiri berkacak pinggang di depan mereka. Senyum mengejek masih menghias wajah Suro yang tenang.
"Kalian rupanya belum kapok, ya?"
Mendengar ucapan Suro, mereka saling pandang dan merasa heran. Lalu yang lain mengacungkan pedangnya ke arah Suro dengan tatapan menyeringai.
"Kamu siapa? Berani berbantahan dengan kami, kelompok Srigala Merah, penguasa gurun ini!"
Suro balik menunjuk dengan jari telunjuknya. Matanya memandang seperti mengejek.
"Seharusnya kalian waktu itu sudah kuhabisi bersama ketuamu! Berharap kalian mau bertobat, ternyata aku salah." Katanya, "Kalau begitu, daripada kalian berbuat jahat kembali, lebih baik kalian akan aku kirim saja menyusul ketua kalian!"
Selesai berkata demikian, Suro memasang kuda-kuda silatnya.
Sontak, mereka langsung teringat bahwa pemuda yang mereka hadapi saat ini adalah orang yang telah membunuh ketua mereka dahulu, tepat ditempat ini. Mereka sudah tahu bahwa pemuda itu mempunyai ilmu beladiri yang tinggi.
Mereka saling pandang, lalu tiba-tiba tersungkur bersamaan dengan tubuh gemetar ketakutan.
"Oh, ampun tuan pendekar," berkata orang yang pertama kali mengancam, rupanya sekarang dialah yang menjadi pemimpin Srigala Merah. "Kami buta, tidak mengenali dengan siapa kami sedang berhadapan!"
Mereka bersujud beberapa kali pada Suro, dengan ketakutan. Jelas saja mereka takut, ketua mereka yang berilmu tinggi saja dapat dikalahkan oleh pemuda itu, apa lagi mereka.
Suro tertawa geli, Tan Bu, Li Yun dan Rou Yi yang melihat kejadian itu pun ikut tertawa.
"Hei, kakak!" Li Yun berseru dari dalam kereta dengan mengeluarkan kepalanya, "Kakak bisa juga ya mengancam orang."
Suro hanya tersenyum mendengar ucapan adik angkatnya itu. Lalu ia kembali mengarahkan pandangannya kepada gerombolan Srigala Merah.
"Sudah-sudah...Pergilah kalian, jangan ganggu perjalanan kami!" katanya sambil memberi isyarat dengan tangannya.
Mereka mengangguk-angguk kembali sambil mengepalkan kedua tangannya.
"Terima kasih tuan pendekar, semoga engkau selamat sampai tujuan!" jawabnya, lalu memberi isyarat kepada yang lain untuk segera pergi meninggalkan tempat itu dengan memacu kuda mereka masing-masing.
Setelah mereka menghilang dari pandangan, Suro kembali naik ke atas kereta dan duduk disamping Suro untuk kembali melanjutkan perjalanan.