Chereads / Pendekar Lembah Damai / Chapter 53 - Melamar Yang Li Yun

Chapter 53 - Melamar Yang Li Yun

Tan Bu bersikeras agar ia yang akan membuat tongkat untuk Li Yun, dan meminta Suro untuk mengajak Li Yun berkeliling, sementara karena hari itu adalah hari terakhir mereka di biara Shou Lin Rou Yi harus mempersiapkan apa yang akan mereka bawa.

Terpaksa Suro mengalah, lalu membawa gadis itu berjalan-jalan menuju bukit di belakang kuil Shao Lin.

Meskipun beberapa bulan berada di dalam kuil Shao Lin, sekalipun ia belum pernah pergi ke tempat itu. Dengan menempuh berjalan kaki sekitar seperempat jam. Matanya langsung terbelalak, mulutnya tak pernah berhenti bertasbih.

Sebuah lukisan alam terhampar di depan matanya, barisan bukit yang hijau, tinggi dan rendah, awan putih di langit yang membiru membuatnya terpana. Ia hampir tak percaya kalau dihadapannya itu bukanlah sebuah lukisan, suara decak kagumnya terdengar berulang kali.

"Kakak," Li Yun memegang jemari tangan Suro pada kursi rodanya. "Indah sekali, ya."

Suro mengangguk, senyumnya belum pupus menghias wajahnya. "Iya, sungguh pemandangan yang menakjubkan!"

Tiba-tiba Li Yun berteriak lepas seolah melepaskan beban yang ada dihatinya, lalu tertawa kecil, wajahnya terllihat begitu bahagia.

Suro memandang Li Yun dari belakang kursi rodanya. Hatinya juga bahagia melihat Li Yun.

"Kakak.... seandainya bisa, berkeliling dunia bersamamu, lalu ketika tak sanggup lagi berkelana, hidup di tempat terpencil, beternak, berkebun.... ah, mimpi yang indah..." ia ingat, Li Yun pernah mengatakan itu kepadanya dahulu.

Suro mempunyai mimpi yang sama dengan yang diucapkan Li Yun. Makanya, ketika melihat pemandangan yang terhampar dihadapannya, membuat dirinya seperti melayang, diliputi kebahagiaan.

"Adik Li," Suro berkata dan membuat Li Yun mendongak ke atas. Suro langsung merubah posisi dan duduk berjongkok dihadapan Li Yun, "Kau masih ingat mimpimu dulu?"

Li Yun tampak berfikir sejenak, mencoba mengingat apa yang pernah ia sampaikan ke Suro. Tak lama kemudian ia tersenyum sebelum mengangguk.

"Aku masih ingat, kakak," jawabnya, "Jika hari itu ada, aku ingin berakhir bersamamu di sebuah tempat yang penuh kedamaian, berternak, berkebun dan menjadi petani...."

Suro menunduk sebentar, ia juga tersenyum. Ia ingin mengatakan sesuatu pada Li Yun, tetapi rasa canggung membuat lidahnya kelu, bibirnya hanya terbuka kemudian menutup kembali tanpa bersuara.

Li Yun menyadari itu, lalu dengan senyuman dan tatapan yang lembut ia memandang mata Suro.

"Aku menunggumu mengatakannya, kakak," Li Yun berucap melihat Suro nampak ragu untuk berkata sesuatu.

Pemuda itu menarik nafas panjang lalu menghembuskannya beberapa kali. Ia sering takjub pada Li Yun dan juga Rou Yi. Seringkali mereka bisa menebak apa yang sedang ia rasakan, bahkan yang ia fikirkan. Ia sampai berfikir, apakah semua perempuan itu mempunyai kemampuan yang sama seperti Li Yun dan Rou Yi, atau itu berlakuk pada gadis yang mereka cintai saja. Sampai-sampai ia merasa takut sendiri.

Li Yun kemudian menarik kedua tangan Suro, dan menyatukannya di dalam telapak tangannya. Hal itu malah membuat Suro tambah gugup. Apalagi mata Li Yun yang bening dan bersih terus menerus menatap matanya tanpa berkedip. Bibirnya yang merah merekah menyungging senyum.

"Kau malah membuatku semakin gugup," Suro mengatakannya sambil menunduk.

Li Yun sepertinya tak perduli dengan ucapan Suro. Ia masih saja tak mau melepaskan genggamannya pada tangan Suro.

"Kakak," ia berkata dengan lembut, "Kau belum pernah mengatakan perasaanmu secara lisan, semuanya kau lakukan dengan tindakan. Bukannya aku tidak tahu, tapi aku hanya ingin mendengarnya langsung keluar dari mulutmu."

Suro mengangkat kepalanya, ia faham apa yang dimaksud oleh Li Yun dan ia masih belum berani mengatakannya dihadapan gadis itu. Lidahnya seperti kelu.

"Aku...."

Li Yun tertawa kecil mendengar ucapan Suro yang terputus.

Ia kemudian menghela nafas pendek.

"Baiklah, kakak. Aku akan mengatakannya lebih dulu," katanya diiringi dengan suara tawanya yang begitu renyah dan merdu di telinga Suro, "Kakak Luo, aku sangat mencintaimu."

Suro sudah pernah mendengar kalimat itu, ia tak habis fikir bagaimana Li Yun bisa mengatakannya begitu mudah seperti air yang mengalir.

"Apakah kakak juga mencintaiku?" Li Yun mengatakannya sambil tersenyum. Ia mencoba memancing Suro agar mengatakan perasaannya secara langsung.

"Emmm.... Aku... Aku juga mencintaimu," jawabnya.

Setelah selesai mengatakannya, Suro langsung bernafas lega seperti telah melepaskan beban yang berat, baginya bertarung melawan puluhan musuh lebih ia sukai dari pada mengeluarkan kalimat itu pada Li Yun.

Baru mengatakan cinta, aku sudah gemetaran begini, bagaimana aku bisa mengajukan kata lamaran? Ia membatin.

Kalimat yang keluar dari mulut Suro membuat gadis itu kembali tertawa kecil sambil melepaskan satu tangannya untuk menutup mulutnya menyembunyikan tawanya.

"Ah, kakak.... Aku sudah lama ingin mendengar kau mengatakannya langsung. Tapi,.... aku merasa kau juga ingin mengatakan hal lainnya, benar'kan?" gadis itu seperti menebak hati Suro, membuat pemuda itu sedikit terperanjat.

Sambil terperangah ia menganggukkan kepalanya pelan.

"Sebenarnya.... Aku...." Suro kembali menundukkan kepala.

"Kakak....." Li Yun mulai memancing Suro, "Aku menerima kakak, jika kakak bermaksud akan menikahiku."

Suro kembali terperanjat untuk kesekian kalinya, bagaimana gadis itu bisa tahu kalau ia bermaksud menikahi Li Yun dan itu membuat raut wajahnya memerah dan tersenyum malu. Ia menjawabnya dengan terkekeh-kekeh, menggaruk kepalanya dengan tangan yang lain.

"Itu'kan yang ingin kakak katakan?" tanyanya sekaligus memastikan tebakannya.

Suro mengangguk pelan. Ia semakin tak bisa berkata-kata.

Kemudian ia menarik tangannya dari pegangan Li Yun dengan perlahan, lalu kembali memandang lukisan alam yang terhampar dihadapannya.

"Tapi....." ia menghentikan kalimatnya sambil menarik nafas dalam, wajahnya berubah menjadi bingung, "Adik, bagaimana dengan janjiku pada Tabib Hu?"

Di sisi Suro, Li Yun tersenyum santai, wajahnya tak menyiratkan rasa cemburu. Ia tahu janji yang dimaksud oleh Suro pada tabib Hu kala itu.

"Kakak, janji adalah janji. Kakak harus tetap melaksanakan apa yang sudah kau katakan pada tabib Hu," Li Yun berkata, hal itu membuat Suro kembali menoleh padanya.

"Maksudmu?" Suro bertanya.

Li Yun tersenyum, ia tak tahu apakah Suro itu faham maksudnya atau memang pura-pura. Tetapi, ia anggap kakak angkatnya itu memang benar-benar tidak tahu.

"Kakak sudah berhutang nyawa pada Tabib Hu dan Rou Yi. Kalau tidak karena bantuan mereka kala itu, kakak pasti sudah tewas terkena racun Tujuh Ular. Jadi, mau tidak mau, suka tidak suka, kakak sudah berjanji. Meskipun aku tahu kalau kakak tidak mencintai Rou Yi, tapi apakah kakak tega menyakiti hati gadis lembut seperti dia?"

Suro terdiam sejenak, lalu ia berkata dengan nada bertanya meminta pendapat, "Bagaimana denganmu?"

"Aku sudah mengatakan kepada Rou Yi waktu itu, bahwa aku tidak rela jika kau mengambil gadis lain, tetapi berbeda jika gadis itu adalah Rou Yi," jawab Li Yun.

"Apa alasanmu?"

Li Yun menghela nafas lalu memandang ke depan.

"Kakak.... bagiku kau adalah hidupku. Aku sudah bertekad, selama apapun kau pergi, sampai kapan pun aku akan menunggumu. Meskipun sampai akhir kematianku. Saat aku tahu kau selamat dari kematian dengan bantuan mereka, maka aku berfikir kalau sebenarnya mereka juga telah menyelamatkanku dari ketidakpastian. Seandainya waktu itu kau mati, bisakah kau bayangkan bagaimana lamanya aku menunggumu? Aku akan menunggumu sampai aku mati!"

Suro terdiam mendengar penjelasan Li Yun. Perlahan dan lembut, gadis itu menarik tangannya kembali, dan menciumnya lalu mengusapkannya dipipinya yang lembut.

"Apalagi aku tahu kalau ternyata Rou Yi juga mencintaimu. Aku tahu cintanya padamu adalah cintanya yang sejati, ia tak butuh balasan cinta darimu. Asalkan dapat mencintaimu, ia sudah merasa bahagia. Maka dari itu, kakakku sayang,..." Li Yun menatap mata Suro, "Jangan jadikan dia pelayan yang hanya menemanimu kemanapun kau pergi. Dia terlalu berharga untuk itu. Dia adalah gadis yang baik.... Aku memohon kepadamu agar kakak juga menikahinya."

Jleb!

Suro merasa jantungnya seperti ditusuk. Bagaimana bisa ada seorang gadis mau merelakan bahkan meminta lelakinya untuk juga menikahi gadis lainnya. Pemuda itu berfirkir, tak ada orang yang seperti Li Yun.

Pikirannya langsung tertuju pada Rou Yi. Ia mengakui, kalau gadis itu selain baik hati juga sangat cerdas. Hari-hari yang dijalani bersama Rou Yi selama ia berada dikediaman tabib Hu sudah membuktikan semuanya.

Ia mengingat kenangan ketika Rou Yi merajuk di tepi hutan gara-gara ucapan yang ia tak tahu kesalahannya dimana, kemudian menggendongnya menuju pulang. Ia juga ingat, bagaimana ia dengan teliti menyiapkan perbekalan keberangkatannya menuju kuil shao lin dan menyisipkan beberapa botol obat yang akhirnya sangat berguna baginya. Ia juga ingat, bagaimana ia mengatakan kalau Suro boleh melupakan dirinya asal dia bisa selamat. Dan masih banyak lagi.

"Kakak...." Li Yun membuyarkan apa yang difikirkannya tentang Rou Yi.

Suro lalu tersenyum, "Adik, tidaklah mudah bagiku untuk berbagi hati. Aku takut akan berlaku dzalim pada salah satu dari kalian...."

Li Yun langsung menyentak tangan Suro sedikit, membuat pemuda itu menghentikan kalimatnya.

"Kakak, aku yakin aku tidak salah memilih. Dari kalimatmu tadi sudah membuktikan bahwa kau adalah orang yang takut berbuat tidak adil. Justru itulah yang akan membuatmu berusaha untuk berlaku adil. Bagaimanapun, kakak adalah manusia biasa, tak akan pernah bisa untuk berlaku adil, yang penting bagiku adalah usaha dari kakak untuk membahagiakan kami."

Suro terdiam tak bisa berkata lagi.

***

Suro mengantar Li Yun ke kamarnya. Gadis itu kini tidak lagi menggunakan kursi roda, melainkan menggunakan sepasang tongkat yang baru saja dibuat oleh Tan Bu agar ia bisa melatih gerakan kakinya.

Di dalam kamar, Rou Yi langsung berlari menyambut Li Yun yang akan masuk ke kamar mereka dengan senyum ceria menggantikan posisi Suro.

"Beristirahatlah dulu, ya..." Suro berkata demikian sambil membalikkan posisi tubuhnya.

"Kakak," Li Yun mencegahnya, "Hari masih belum tengah hari, mengapa kau tidak masuk dulu?"

Suro berdiri sejenak, ia agak ragu menanggapi permintaan adik angkatnya itu. Tapi demi melihat tatapan mata Li Yun yang terlihat memohon, akhirnya ia tersenyum lalu mengangguk setuju.

Di kamar itu memang sudah disediakan meja dan kursi, yang diatasnya juga tersedia sebuah teko dan beberapa buah cawan kecil, lalu Suro mengambil duduk setelah membantu Li Yun duduk di salah satu kursi.

Rou Yi kemudian mengambil teko dan menuangkan teh yang masih panas berbau harum dan wangi ke dalam dua buah cawan.

Cawan pertama ia suguhkan ke pada Suro, "Silahkan diminum, kakak."

Suro menyambutnya dengan tersenyum, "Terima kasih, adik Yi."

Kemudian ia juga menyuguhkannya pada Li Yun dan dibalas dengan ucapan yang sama seperti yang dikatakan Suro.

Rou Yi kemudian duduk dan menuangkan teh untuk dirinya sendiri.

"Kakak, apakah besok kita jadi berangkat?" tanya Rou Yi pada Suro.

Suro mengangguk, "Iya, semoga tidak ada halangan."

Mereka berdua mengangguk mengaminkan.

"Kakak," Rou Yi melanjutkan, tetapi dari wajahnya menunjukkan kalau ia ragu, "Apakah yakin kau akan membawaku?"

Suro tersenyum mendengar pertanyaan Rou Yi.

"Adik Yi, bukankah sudah kukatakan kalau aku harus membawamu sesuai janjiku pada almarhum ayahmu?"

Rou Yi mengangguk pelan, "Tapi...."

Ia memandang Li Yun yang tersenyum padanya.

"Hei, bukankah kau dulu pernah berkata ingin melihat tempat kediamanku?" pangkas Suro spontan begitu melihat keraguan Rou Yi.

Li Yun yang mendengar ucapan Suro langsung melirik kearahnya, tatapan matanya seolah berkata, apakah benar Rou Yi pernah mengatakannya.

Suro agak terkejut dan salah tingkah melihat tatapan mata Li Yun, lalu ia tersenyum aneh.

"Oooo...." Li Yun menggerak-gerakkan jarinya sambil mengangguk-angguk, Tapi senyumnya seperti mengejek Suro.

"Eh, anu...mmm..." Suro gelagapan.

Ia lalu mengangkat teh dan langsung meminumnya sampai habis, setelah itu meletakkannya kembali di atas meja. Tiba-tiba, Li Yun langsung menggenggam tangannya sambil tertawa cengengesan.

"He.he.he...he... Tidak apa, kakak. Santai saja, tak perlu panik begitu," ia berkata dengan lirikan bercanda dan bermaksud menggoda Suro.

Rou Yi tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan tangan.

"Rasanya aku tak sabar ingin segera pergi dari sini, berlayar menyebrangi samudera, lalu tinggal di Lembah Damai. Hmmmm.." Li Yun berkata sambil membayangkan, lalu pandangannya beralih ke arah Rou Yi, "Menurutmu, apa yang akan kita lakukan di sana?"

Rou Yi terperangah mendengar Li Yun yang tiba-tiba meminta pendapatnya. Ia tak bisa memikirkannya, dan hanya menggeleng beberapa kali.

"Kita?" Rou Yi balik bertanya, ia merasa heran dan bingung dengan pertanyaan gadis itu.

Li Yun mengangguk dan tersenyum.

***

Jalur pelabuhan kapal besar.

Chen Lian dan rombongan prajuritnya telah tiba di jalur pelabuhan. Ia menempatkan beberapa orang pengawalnya untuk berjaga-jaga dan memeriksa semua orang yang melewati jalur tersebut. Sedangkan dia sendiri berada di sebuah tempat lain dengan mendirikan tenda-tenda yang nantinya akan ia pergunakan untuk mengeksekusi.

Seorang prajurit masuk ke dalam tenda dimana Chen Lian berada, dan di dalam tenda, Chen Lian nampak duduk bersantai sedang menikmati arak yang memang disediakan untuknya.

"Lapor, tuan Chen," prajurit itu memberi hormat dengan menundukkan badan, "Semua persiapan sudah selesai, kita tinggal menunggu kedatangan buruan kita."

Chen Lian tersenyum datar, "Bagus, pemeriksaan akan kita mulai nanti malam."

Prajurit itu langsung mengangguk, "Siap laksanakan, tuan!"

"Bagus!" katanya, "Jangan sampai mereka lolos!"

"Baik, tuan!" sahutnya.

Setelah melihat isyarat tangan dari Chen Lian, prajurit itu mengangguk dan menundukkan badannya sekali lagi, kemudian beringsut mundur dan berbalik keluar tenda.