"Oh, tuan pendekar!" Wan Cai langsung berkata sambil mengelus dada, "Anda mengagetkan kami!"
Suro turun dari atas pembaringannya dengan gerakan lemah dan gontai. Ia merasa kepalanya masih terasa pusing dan pandangan berkunang-kunang ketika berdiri.
Melihat Suro masih berjalan sempoyongan, Chien Cou langsung berdiri menyambutnya agar tidak jatuh kemudian menuntunnya untuk duduk bersama diantara mereka.
"Seharusnya, anda tetap berbaring dulu. Anda sudah banyak kehilangan darah," katanya memberi saran pada Suro, tetapi pemuda itu mengangkat tangannya sambil tersenyum.
"Aku tak apa-apa," ia menjawab sambil memijat-mijat kedua sisi kepalanya.
"Hei, Xiou Yu," Wan Cai berkata pada lelaki lainnya yang bernama Xiou Yu, "Tolong kau siapkan makan siang kita!"
Yang dipanggil Xiou Yu mengangguk, lalu dia berdiri ke sisi lain dimana terdapat beberapa perabotan masak, mengambil beberapa potong daging dari salah satu tembikar, kemudian meletakkannya pada sebuah nampan besar dan membawanya kembali ke tempat mereka duduk.
"Ayo, tuan pendekar. Anda pasti sangat lapar," katanya mempersilahkan.
Suro sejenak ragu melihat daging bakar yang sudah dipotong-potong dan tersedia dihadapannya. Tetapi, ia merasa sangat lapar dan butuh makan untuk memulihkan tenaganya. Ia ingat terakhir kali menikmati makanan adalah kemarin pagi.
Mou Li langsung mengambil sepotong, disusul kemudian dengan Chen Cou yang tak lama diikuti pula oleh anggota yang lainnya.
"Mohon maaf jika kami tak sopan. Maklumlah, karena pada dasarnya kami ini perampok, bukan pelajar." Mou Li mengatakannya pada Suro sambil tertawa terkekeh.
Suro masih terlihat ragu mengulurkan tangannya untuk meraih sepotong daging dihadapannya.
"Apakah anda tidak merasa lapar?" Xiou Yu yang memperhatikan Suro ragu langsung bertanya.
"Aku memang lapar," jawabnya dengan sedikit tersenyum, "Ini daging apa?"
Wan Cai dan yang lainnya langsung menatap ke arah Suro dengan pandangan heran. Selama ini, kebiasaan mereka adalah tidak pernah bertanya tentang makanan apa yang mereka dapatkan. Bagi mereka, yang penting adalah mengenyangkan.
"Sepertinya ini daging kelinci," jawab Wan Cai seperti terpaksa, "Aku mencurinya dari para prajurit itu."
Kalimat Wan Cai membuat yang lain tertawa.
"Dalam keadaan genting, ia masih sempat mencuri makanan," Mou Li menimpali sambil tertawa gelak.
Wan Cai tak memperdulikan tertawaan kawan-kawannya sambil mulutnya terus asyik menngunyah. Ia cuma menatap mereka satu persatu dengan senyuman penuh makanan.
"Jika tidak begini, apa mungkin hari ini kalian bisa makan daging?" kalimatnya membuat rekan-rekannya tertawa sambil mengayun-ayunkan kepalan tangannya memohon maaf.
"Kau benar,....Kau benar!" Mou Li berkata dengan masih menunduk-nunduk.
Akhirnya mereka sama-sama tertawa.
Memperhatikan suasana itu, Suro enggan untuk bertanya lagi. Tatapan mata heran para perampok tadi yang telah menolongnya membuat ia merasa tidak sopan. Maka ia mengambil sepotong daging dan mengunyahnya pelan-pelan sambil beristigfar dalam hati.
Sepotong daging baginya sudah cukup untuk menghilangkan rasa lapar. Setelah selesai sepotong, perlahan ia merasakan tubuhnya sudah merasa bertenaga, pandangannya pun sudah mulai lebih terang.
"Ini," Chien Cou menyodorkan sebuah kantong dari kulit kepada Suro, "Minumlah!"
Sebelum meminumnya, ia mencium mulut kantong kulit tersebut. Yakin bahwa isinya bukan arak, lalu meminumnya beberapa teguk.
"Bagaimana cara kalian bisa membawaku ke tempat ini?" Suro bertanya ketika mereka selesai makan.
Mereka saling pandang dan saling menunggu siapa yang akan menceritakan kisah penyelamatan Suro malam itu.
"Anda tahu, bahwa wilayah gurun ini dan seluk-beluknya adalah pengetahuan kami. Menyelamatkan anda di wilayah ini bukanlah sesuatu yang amat sulit. Cukup memulai penyergapan dan membunuh beberapa prajurit penjaga, menyelinap, kemudian mengangkatmu tanpa meninggalkan suara," Mou Li akhirnya yang bercerita.
"Dan mencuri makanan!" Wan Cai langsung menambahkan, membuat suara tawa kembali menggema.
Suro mengangguk-angguk, lalu ia mengangkat kedua tangannya kembali, "Saya berhutang nyawa pada anda semua. Saya sangat berterima kasih untuk itu."
Wan Cai membuat tepisan dengan tangan kanan sambil memberi penampakan raut wajah seperti mengatakan agar Suro tak perlu bersikap seperti itu, "Tak usah difikirkan, anggap saja hutang kita lunas."
Semua yang mendengar perkataan Wan Cai sama mengangguk dan tersenyum, beberapa diantaranya mengacungkan jempol.
"Mohon maaf tuan pendekar," Wan Cai melanjutkan, "Kalau boleh kami tahu, mengapa anda sampai bisa tertangkap oleh para prajurit itu?"
Suro terdiam sejenak untuk berfikir, lalu menarik nafas panjang sebelum memulai bercerita.
***
Satu hari berlalu....
Sejak berhasil lolosnya Suro yang merupakan buronan pemerintah, Chen Lian benar-benar sangat marah. Saat itu ia tak kembali ke ibukota, melainkan tetap berjaga diperbatasan jalan ke arah laut. Perkiraannya, jika Suro selamat kemudian sehat kembali, pastilah ia akan memanfaatkan musim angin selatan untuk kembali melaut. Maka, selama musim itu pula, ia akan terus melakukan penjagaan.
Beberapa kali ia menenggak arak secangkir demi secangkir hingga menghabiskan beberapa teko sendirian di dalam ruangannya. Wajahnya yang sudah memerah karena marah semakin bertambah kusut dan masam. Beberapa kali ia mengumpat dengan kata-kata kotor dan beberapa kali pula menggebrak meja.
Padahal ia sudah membayangkan hadiah yang sangat besar yang akan ia terima atas keberhasilannya menangkap Suro. Tetapi, bayangan itu lenyap bagai asap.
Keberhasilannya menangkap pemuda itu sebenarnya merupakan suatu keberuntungan. Melalui pertarungan singkat dengan Suro, ia sudah bisa merasakan bahwa pemuda itu mempunyai ilmu beladiri yang tinggi jauh diatasnya dan tak akan bisa menangkapnya dengan mudah jika ia tak menyandera dua orang gadis yang bersama Suro waktu itu.
Kini barulah ia tahu, mengapa perwira Chou tidak bisa mengalahkan pemuda itu sampai-sampai membuatnya menyimpan dendam yang sangat dalam, bahkan sampai meminta bantuan seorang pendekar tingkat tinggi bernama Ye Chuan si Naga Api yang keberadaannya kini entah dimana.
Melihat Suro bisa berkeliaran, ia menduga kalau pemuda itu sudah mengalahkan Ye Chuan. Hal ini semakin membuatnya sangsi untuk bisa menangkapnya kembali tanpa sebuah keberuntungan.
Kini pertanyaan yang mengganggu fikirannya adalah bagaimana Suro bisa lolos dari tangannya. Dugaannya sementara ini, Suro diselamatkan kembali oleh orang-orang dari kelompok organisasi Bayangan Merah.
Disaat asyik dengan dramatisir keadaannya, tiba-tiba pintu kamar diketuk, membuatnya terlonjak dan menaikkan emosinya. Ia menatap ke arah pintu kamar dengan pandangan mata sangat marah. Dalam hati ia mengumpat dan bertanya siapa orang yang berani mengusiknya dalam keadaan demikian.
"Siapa!" dia tidak bernada bertanya, tetapi membentak.
Tak ada sahutan, tetapi ketukan kembali terdengar membuatnya merasa dipermainkan.
"Kurang ajar!" bentaknya lagi, "Kalian berani mengusikku, benar-benar cari mati!"
Ketika ia berdiri, pintu kamarnya mendadak terbuka dengan keras akibat dua sosok tubuh berpakaian prajurit melayang ke arahnya.
Kedua tangannya sigap menahan laju dua sosok tubuh yang akan menimpa dirinya, lalu membantingnya ke lantai.
Ia menjadi lebih terkejut ketika melihat tubuh yang ia banting tak bergerak dengan mata masih terbuka dan dalam keadaan sadar.
Buru-buru ia melemparkan pandangannya ke arah pintu, dimana satu sosok tubuh melangkah santai. Hampir seluruh tubuhnya tertutup dengan jubah panjang berwarna gelap.
Sekitar beberapa langkah dari Chen Lian, sosok tubuh itu berhenti. Chen Lian memicingkan matanya mencoba melihat rupa sosok tubuh itu yang tertutup kain jubahnya dalam keadaan menunduk.
Tak lama terdengar suara tawa terkekeh dari mulut manusia berjubah.
"Chen Lian, si Burung Phoenix!" manusia berjubah itu berkata, "Lama tak berjumpa!"
Wajah Chen Lian langsung berubah gembira begitu mendengar namanya disebut. Ia juga merasa tak asing dengan suara orang itu.
Kemudian ia tertawa terkekeh sambil memegang dua bahu si manusia berjubah.
"Ma Han, si Mata Iblis!" serunya berbalik menyebut nama dan gelar sosok tubuh yang berdiri dihadapannya.
Orang yang disebut Ma Han lalu membuka jubah penutup kepalanya sambil tersenyum menyeringai. Wajah lelaki yang kini terbuka itu nampak datar, dipipinya terdapat satu goresan panjang bekas luka, bibirnya terlihat berwarna hitam. Yang mengejutkan adalah matanya yang nyaris berwarna gelap menyeramkan, sehingga gelar si Mata Iblis memang cocok disandangnya.
Ma Han, seorang lelaki berilmu tinggi dengan kekuatan sihir yang menyeramkan. Tatapan matanya mampu membekukan tubuh orang yang melihatnya. Dan hal itulah yang terjadi pada dua sosok tubuh prajurit itu.
Ma Han lalu menunduk, kemudian menepuk tubuh dua prajurit yang diam mematung dilantai. Sontak saja, kedua prajurit itu langsung bangun dan berlutut memberi hormat dengan tubuh bergetar.
"Ampuni kami tuan!" ucap mereka kompak.
Ma Han tersenyum tampak mengerikan, barisan giginya yang hitam terlihat dari celah bibirnya yang juga agak gelap, lalu memberi isyarat dengan kepalanya agar mereka berdua segera keluar.
Tanpa diperintah kedua kali, prajurit itu langsung berlari secepatnya dan meninggalkan kamar dengan pintu dalam keadaan terbuka.
Chen Lian kembali tertawa menyambut Ma Han, lalu memegang bahu lelaki itu dan mengarahkannya untuk duduk dikursi.
Ia langsung menuangkan arak ke dalam sebuah cangkir dan memberikannya pada Ma Han.
"Minumlah arak ini," katanya sambil menyodorkan cangkir yang sudah berisi arak kepada Ma Han.
Lelaki penyihir itu tertawa dingin menyambutnya dan langsung menenggak habis arak dalam cangkir.
"Aku mendapat perintah dari tuan Chou agar aku membantumu. Makanya aku langsung kemari," katanya.
Chen Lian mengangguk-angguk, selanjutnya ia bertanya, "Bagaimana latihan tuan Chou?"
"Tinggal beberapa tahap lagi, ia akan keluar dari gua Bukit Awan Perak," Ma Han menjawab, suaranya yang terdengar datar dan berat cukup menggetarkan bagi orang yang pertama kali mendengarnya. Kemudian tangannya bergerak mengambil teko berisi arak dan langsung menenggaknya.
"Hmmm.... Baguslah," ucap Chen Lian.
Sekali lagi, Chen Lian menggangguk-angguk. Berarti tak lama lagi, perwira Chou akan berdiam di ibu kota menunggu kabar darinya.
"Tahukah kau kalau Ye Chuan telah tewas?" Ma Han berkata lagi.
Meskipun selama ini ia sudah menduga kalau Ye Chuan telah tewas, namun berita dari Ma Han cukup membuatnya terkejut.
Chen Lian terlihat menarik nafas, "Sebenarnya, aku sudah menduganya. Namun, selama belum ada berita, aku masih belum yakin."
Dengusan suara Ma Han terdengar berat, ia kemudian menatap Chen Lian sangat lekat dengan matanya yang aneh sembari mendekatkan teko araknya ke bibir.
"Jika Ye Chuan bisa dikalahkan, artinya orang itu mempunyai ilmu kungfu yang tinggi." Katanya dengan suara khas, kemudian melanjutkan berucap, "Jika demikian, memang wajar jika tuan Chou memintaku untuk membantumu dengan kekuatan gaibku."
Chen Lin mendengar ucapan Ma Han terkesan menyombongkan diri. Secara kemampuan ilmu Kung Fu, Chen Lian merasa lebih unggul dari Ma Han. Tetapi yang mengerikan adalah kekuatan ilmu sihir Ma Han yang mampu membuat siapa pun lawannya membatu. Itu ilmu sihir Ma Han yang ketahuan, belum lagi yang masih tersembunyi. Jelas lelaki itu tak mau bermain-main dan memancing kemarahannya. Salah-salah, dirinya bisa mati tanpa perlawanan sama sekali.
Dengan kemampuan yang demikian, seharusnya Ma Han juga mampu menundukkan Perwira Chou, tetapi manusia misterius itu sepertinya sangat patuh pada Perwira Chou. Apakah perwira Chou memiliki ilmu atau kekuatan yang mampu menangkal ilmu sihir Ma Han, ia tidak tahu, yang jelas sampai saat ini jika ia bertanya pada Ma Han, lelaki itu hanya menjawabnya dengan senyuman.
"Orang yang berhasil membunuh Ye Chuan berusia masih sangat muda, barangkali usianya antara tujuh belas sampai sembilan belas tahun. Kemarin, aku sudah berhasil menangkapnya dalam keadaan hampir mati. Tiba-tiba saja karena keteledoran pasukanku, seseorang atau bahkan sekelompok orang berhasil menyelamatkannya," Chen Lian mengatakannya dengan malu.
Ma Han menyambutnya dengan tertawa keras, ia merasa tak percaya ada orang berusia belia seperti yang diceritakan oleh Chen Lian bisa membuat Ye Chuan kalah.
"Aku tak percaya seorang anak muda bisa sehebat itu." Ucapnya, "Paling-paling, ia hanya beruntung!"
"Tapi anda juga harus tahu," Chen Lian langsung mengatakan pembelaan ucapannya, "Jika ia tidak setangguh itu, bagaimana bisa tuan Chou sampai kerepotan hingga meminta bantuan Ye Chuan, kemudian memberimu perintah untuk membantuku."
Ma Han seperti mengabaikan sanggahan Chen Lian. Kemampuan ilmu hitam yang dimilikinya membuat ia masih belum bisa percaya jika belum berhadapan langsung dengan orang yang diceritakan oleh Chen Lian. Maka, lelaki itu tertawa merendahkan.
Sikap Ma Han membuat Chen Lian tersinggung, tetapi ia berusaha bersikap biasa agar tak terbaca oleh Ma Han. Di dunia para penjahat, tak ada kata sahabat. Sewaktu-waktu, jika terjadi permasalahan akan menimbulkan pertarungan. Seandainya ia bisa memiliki penangkal sihir Ma Han, sudah pasti ia akan mendamprat habis Ma Han karena sikapnya itu.
Ma Han berhenti tertawa, kemudian bertanya pada Chen Lian, "Aku perlu barang yang dikenakan oleh pemuda itu, barangkali kau memilikinya?"
Chen Lian tampak berfikir, dahinya berkerut.
"Apakah tali bekas pengikat tubuhnya bisa digunakan?" Chen Lian bertanya balik.
Ma Han langsung mengangguk.
Tak lama, Chen Lian memerintahkan prajuritnya untuk membawa tali yang pernah digunakan untuk mengikat tangan Suro.
Setelah tali tersebut sudah berada ditangannya, Chen Lian langsung memberikannya pada Ma Han.
Lelaki penyihir itu memperhatikan tali yang dipegangnya, dan melihat ada bekas darah yang menempel, dan itu membuatnya tertawa kecil menampakkan barisan gigi-giginya yang berwarna hitam menjijikkan.