Setelah berkuda semalaman, mereka memutuskan untuk berhenti sejenak melepas penat disalah satu rumah makan bertingkat dua yang juga cukup ramai dikunjungi orang-orang, sekaligus memberi kesempatan kuda yang mereka tunggangi untuk beristirahat. Kebetulan, ketika mereka tiba hujan gerimis turun membasahi bumi.
Mereka mengambil ruang yang berada di lantai dua sambil menunggu makanan dan minuman terhidang.
"Perkiraan besok pagi atau siangnya kita akan sampai jika tengah hari berangkat dari sini," Chien Cou menyampaikan waktu tempuh yang ia ketahui.
Suro mengangguk. Sepertinya ia terlihat begitu gelisah. Barangkali jika tidak memperhatikan kondisi kuda ditambah lagi hujan gerimis yang turun, ia pasti akan memaksakan diri untuk melanjutkan perjalanan dengan mengganti kudanya dengan kuda yang baru.
Mereka bukannya tidak tahu apa yang digelisahkan oleh Suro, sangat kentara sekali pemuda itu tidak setenang biasanya.
"Tenanglah pendekar Luo," Wan Cai mencoba menenangkan dengan bahasa agak bercanda, "Aku tak tahu, engkau khawatir akan keselamatan nona Li Yun dan Rou Yi atau engkau rindu dengan mereka..."
Mendengar kalimat Wan Cai, Suro tersenyum kecut. Untuk mengurangi kegelisahannya, ia memandang berkeliling ke seluruh ruang makan.
Tiba-tiba, ada satu sosok lelaki berusia 30 atau 40 tahun yang duduk tak jauh dari tempat mereka tersenyum padanya, yang dibalas senyum pula oleh Suro.
Lelaki itu kemudian mengambil pedang yang ia letakkan di atas meja makannya, kemudian berdiri dan melangkah mendekati meja Suro.
Suro bisa melihat, kalau lelaki itu tidak mempunyai gelagat yang buruk, makanya ia bersikap santai. Sementara orang-orang Serigala Merah diam-diam bersiap sambil menyentuh pedang masing-masing.
"Tenanglah," Suro berkata pada kelima orang yang sekarang menjadi rekannya itu.
Lelaki itu sampai sejarak kira-kira dua langkah, lalu menangkupkan tangannya ke depan sambil memegang pedang, kemudian membungkuk memberi hormat dengan senyum ramah.
"Mohon maaf mengganggu ketenangan tuan sekalian," katanya, "Kalau saya tidak salah, bukankah anda adalah He Pinggu Jianke, pendekar muda Luo, atau tuan muda Yang?"
Suro agak terhenyak dari kursinya, begitu juga yang lain.
Ia merasa heran, sebab ia tak pernah berhubungan dengan orang-orang luar selama berada di negeri ini, dan ia juga tak merasa kenal dengan lelaki yang sekarang sedang berdiri dihadapannya itu. Jika pun ada yang mengenalnya, pastilah itu dari orang-orang jahat yang pernah bertarung dengannya.
"Maaf," Suro tak langsung menjawab, ia harus sedikit waspada, "Anda siapa?"
Si lelaki tadi kembali tersenyum ramah, ia merasa maklum kalau Suro curiga.
"Mungkin anda kenal dengan tuan Cheng Yu?" ia malah balik bertanya.
Suro terdiam sejenak, dahinya berkerut sedang mengingat-ngingat nama orang yang disebutkan lelaki itu. Tak lama ia tersenyum dan memandang kembali ke arah orang yang berdiri dihadapannya.
"Ya, aku mengenalnya. Lalu tuan ini siapa?"
Akhirnya lelaki itu tertawa ringan, dan kembali menunduk hormat pada Suro. "Aku adalah anak buah tuan Cheng Yu, nama saya Zhu Lie Xian."
"Oh," Suro langsung berdiri dan memegang lengan lelaki yang bernama Zhu Lie Xian, kemudian mempersilahkan mengambil tempat duduk disebelahnya, "Silahkan."
Sebelum duduk, Zhu Lie Xian memberi hormat pada kelompok Serigala Merah. Karena lelaki itu ternyata bukanlah ancaman, mereka menyambutnya dengan senyum ramah pula.
"Kami fikir, anda adalah bagian dari mata-mata orang pemerintah," Mou Li berkata sambil tertawa kecil, dan dia menunduk sekali lagi, "Mohon maafkan kami."
"Ternyata, anda adalah salah satu anggota perompak lautan yang terkenal itu," Chien Cau menambahkan.
Zhu Li Xian menyambutnya dengan tertawa pula sambil kepalanya mengangguk-angguk.
"Ha.ha.ha.....Dulunya kami memang perompak dibawah komando tuan Cheng Yu. Tetapi setelah kami bertemu dengan pendekar Luo, kami memutuskan untuk membubarkan diri dan menjadi pedagang antar negara," katanya menjelaskan.
Wan Cai dan lainnya langsung memandang Suro dengan pandangan kagum. Betapa tidak, Cheng Yu yang terkenal kekejamannya sebagai perompak, berakhir dalam keadaan insyaf dengan menjadi pedagang setelah bertemu Suro. Kini wajar pula jika itu terjadi pada mereka, di luar pengetahuan mereka, barangkali masih banyak lagi orang jahat yang bertobat ketika bertemu dengan Suro.
Pemuda itu terlihat senang mendengar penuturan Zhu Lie Xian, mulutnya langsung mengucapkan kalimat syukur.
"Aku tak menyangka bisa bertemu tuan muda Yang di sini," lanjutnya lagi.
"Aku juga," sahut Suro, "Ternyata, tidak terasa sudah beberapa tahun aku tidak bertemu tuan Cheng Yu. Entah bagaimana kabarnya sekarang."
Zhu Li Xian mengangguk, dengan senyuman yang masih menghias wajahnya, "Tuan Cheng Yu dalam keadaan baik-baik saja sekarang."
"Oh, ya," Suro langsung meneruskan ucapannya, "dimana tuan Cheng sekarang?"
"Beliau sementara ini masih ada di kapal. Rencana kami akan berlayar ke negeri tuan dalam perdagangan," jawabnya, kemudian wajahnya menatap ke arah Suro, "Barangkali tuan muda Yang mau ikut?"
Wajah Suro langsung berubah cerah begitu mendapat tawaran dari Zhu Lie Xian, matanya berbinar-binar. "Kapan kalian akan berangkat?"
"Enam bulan kedepan," jawab Zhu Lie Xian.
Suro berfikir, itu adalah suatu kesempatan yang tidak boleh ditunda. Maka ia langsung menganggukkan kepalanya.
"Jika diizinkan, aku akan ikut bersama kalian," pemuda itu langsung mengatakan niatnya.
Zhu Lie Xian menunjukkan rasa senangnya begitu Suro mengatakan niatnya akan ikut dalam pelayaran mereka.
"Tentu saja kami tak keberatan. Tuan Cheng Yu pasti menantikan saat-saat itu." Zhu Lie Xian menyahut, kemudian melanjutkan kata-katanya, "Apakah tuan Muda Yang sudah sangat rindu kampung halaman?"
Suro terdiam sesaat sambil menundukkan kepalanya sebentar. Sepertinya ia akan menceritakan kisah perjalanannya kepada Zhu Lie Xian.
***
Hari menjelang Sore, ketika pertemuan antara Chen Lian dan Sepasang Pendekar Pedang Api dan Angin bertemu.
Tien Lie dan Tien Jie yang melihat terlebih dulu, sekumpulan orang sedang melaju di hadapan mereka, dan ketika tahu bahwa itu adalah Chen Lian dan pasukannya, Tin Lie dan Tien Jie langsung memapas mereka.
"Ahh..." Chen Lian langsung tersenyum melihat Sepasang Pendekar Api dan Angin, "Hendak kemana kalian?"
Yang ditanya tertawa keras masih di atas punggung kudanya.
"Kami diperintahkan untuk menyusulmu ke Pelabuhan, tak disangka malah bertemu disini," Tien Lie berkata.
Mendengar ucapan Tien Lie, Chen Lian sudah bisa menebak kalau mereka juga diperintahkan oleh Perwira Chou untuk membantunya, sama seperti Ma Han.
"Oh, begitu," Chen Lian menanggapinya sambil mengangguk-angguk.
"Ya," Tien Lie menjawab, kemudian ia berkata lagi, "Tuan Chou kehilangan kabarmu, dan juga Ma Han,"
Chen Lian langsung tertawa keras begitu nama Ma Han disebut. Ia seperti membenci nama itu dan mengejeknya dengan tertawa.
"Aku tak tahu nasib penyihir itu. Ia merasa hebat dengan sihirnya, lalu menyuruhku kembali ke ibukota untuk menangkap orang-orang yang bersama Luo," ia berkata sambil memasang wajah benci, "Dan sekarang, aku tak tahu lagi bagaimana nasibnya. Apakah berhasil membunuh Luo ataukah justru dia yang dibunuh Luo."
Ia kembali tertawa sambil membayangkan dua kemungkinan yang bakal menimpa Ma Han si Mata Iblis. Tetapi dalam hati ia berharap, Luo dapat mengalahkan Ma Han dan bahkan telah membunuhnya.
Meskipun Tien Lie dan Tien Jie tak pernah bertemu dengan Ma Han, sehingga tidak mengetahui keangkuhannya, tetapi mereka bisa merasakan kalau Chen Lian begitu membenci penyihir itu.
Tien Lie dan Tien Jie kemudian ikut tertawa, seolah turut berempati dengan Chen Lian, lalu Tien Jie memutusnya dan berkata, "Siapa orang yang bersama dengan Luo Bai Wu itu? Dan untuk apa kita menangkapnya?"
Chen Lian langsung tersadar, ia teringat akan tugasnya. Lalu ia singkirkan rasa kebenciannya pada Ma Han untuk memulai diskusi.
"Aku tak tahu namanya, cuma mereka dilindungi oleh wanita yang bernama Huang Nan Yu." Chen Lian menjawab.
Tien Lie dan Tien Jie saling pandang ketika Huang Nan Yu disebut. Lalu memajukan kudanya lebih dekat ke arah Chen Lian.
"Maksudmu pendekar Tai Chi, Huang Nan Yu?" Tien Jie memastikan kembali dengan mengulang nama yang disebut oleh Chen Lian.
Lelaki itu mengangguk, kemudian berkata, "Semula aku berhasil menangkap Luo Bai Wu dengan menyandera dua orang gadis yang ikut bersamanya...."
Chen Lian menceritakan kepada Tien Lie dan Tien Jie panjang lebar dari hasil perburuannya, hingga Suro kembali lolos.
Tien Lie dan Tien Jie tampak mendengarkannya dengan seksama, sambil sesekali mengangguk-angguk.
"Dari ceritamu, orang yang bernama Luo Bai Wu itu berilmu tinggi. Sampai-sampai kau menggunakan sandera untuk menangkapnya," Tien Lie berkesimpulan.
Lelaki itu tak bisa memungkiri jika Suro memang berilmu tinggi, maka ia mengangguk mengiyakan yang dikatakan oleh Tien Lie.
"Ma Han memintaku untuk mencari dan menangkap orang dekat Luo. Siapa tahu ia kalah dalam pertarungan, maka strategi kedua adalah memaksa Luo untuk menyerah dengan memanfaatkan orang terdekatnya sebagai sandera," Chen Lian melanjutkan, "Jika bertarung satu lawan satu atau pun dibantu dengan beberapa prajurit, akan sangat sulit untuk menangkapnya. Bisa-bisa kita yang malah terrbunuh olehnya."
Tien Lie seperti sedang memikirkan apa yang baru dikatakan oleh Chen Lian, kemudian ia memandang saudaranya untuk kemudian beralih ke Chen Lian.
"Kalau hanya Huang Nan Yu, kita bisa saja menaklukkannya, tetapi kita harus pula memikirkan untuk menghadapi Zhu Xuan dan anggotanya. Sepertinya mereka sudah saling bantu untuk melindungi orang-orang yang akan kita tangkap," katanya.
Chen Lian mengangguk, "Itulah yang kufikirkan. Aku berencana akan menemui tuan Chou untuk meminta bantuan. Ternyata, ia sudah jauh-jauh memikirkannya dengan mengirim kalian berdua."
Mereka sama-sama tertawa selesai Chen Lian mengatakannya.
***
"Aku tak apa-apa," Rou Yi berkata dengan suara lemah.
Dalam keadaan demam, ia masih saja mencoba berkutat di dapur untuk memasak makanan kesukaan Suro seperti hari-hari biasa. Ia berbuat demikian dengan harapan sewaktu-waktu bisa saja pemuda itu datang.
Sudah seharian ini Rou Yi nampak pucat, tubuhnya demam tinggi. Ini terjadi di hari sebelumnya, ia nekat berhujan-hujan memanen sayuran yang ada di kebun kecil sekitar halaman belakang rumah tetua Huang Nan Yu, sedangkan semalam, Li Yun nampak sibuk mengompres dahi Rou Yi yang selalu mengigau.
"Istirahatlah," Li Yun mengulanginya lagi, ketika Rou Yi tetap bersikeras, "Tadi malam kau terus-terusan mengigau."
"Oh, maafkan aku," katanya sambil terus beraktivitas, "Sedikit lagi. Setelah itu aku akan beristirahat."
Li Yun tak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya bisa berjaga-jaga sambil membantu Rou Yi memasak makanan yang hampir matang.
Ia memperhatikan wajah Rou Yi yang pucat.
"Wajahmu pucat, terlalu banyak fikiran ditambah dengan kehujanan membuatmu sakit. Kalau terus dipaksakan, takutnya akan bertambah parah," Li Yun memperingatkan sekali lagi.
Tetapi Rou Yi seperti tak perduli.
Selesainya, dengan dibantu Li Yun, ia membawa beberapa masakan ke ruang makan. Baru saja selesai ia menghidangkan makanan, tiba-tiba tubuhnya lunglai dan nyaris terjatuh ke lantai jika Li Yun tidak buru-buru menangkapnya.
Tan Bu yang kebetulan membantu mempersiapkan masakan di meja makan juga langsung panik. Tetapi ia tak bisa begitu saja menyentuh tubuh Rou Yi, dan membiarkan Li Yun memapahnya menuju kamar.
"Apa kubilang barusan?" katanya dengan agak dongkol,"Bagaimana kalau kakak Luo datang dan menemuimu dalam keadaan begini?"
Rou Yi tak bisa menjawab, ia menurut tubuhnya dibantu Li Yun berbaring di pembaringan sambil memegang kepalanya. Li Yun pun dapat merasakan kalau tubuh gadis itu sangat panas.
"Kau tahu?" tiba-tiba Rou Yi berkata lirih dengan suara lemah,"Aku berbuat demikian supaya aku bisa lupa kalau kakak Luo tidak ada disini. Aku ingin sepertimu yang bisa begitu tenang..."
Li Yun tersenyum mendengar kata-kata Rou Yi, ia menarik nafas panjang sejenak dan mengambil duduk di sisi pembaringan gadis itu.
"Tahukah kau, bagaimanapun aku adalah seorang gadis yang sama sepertimu. Jika mengikuti perasaanku, aku bisa lebih buruk dari yang kau fikirkan. Bagaimana pun aku juga perlu memikirkan keadaanmu, seandainya aku juga mengalami sakit sepertimu, siapa yang akan merawat?" Li Yun berkata setengah bercanda, dan itu membuat Rou Yi tersenyum.
Sejenak kemudian, Li Yun menatap Rou Yi. Lalu menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut.
"Aku akan meninggalkanmu sebentar, sekalian aku akan kembali membawakanmu obat. Tenangkan dirimu, ya," Li Yun meneruskan ucapannya, yang dijawab dengan anggukan lemah dan senyum tipis dari bibir Rou Yi.
Li Yun melangkah keluar kamar meninggalkan Rou Yi berbaring, dan langsung menuju ke ruang makan. Ia sudah membayangkan tetua Huang Nan Yu dan Tan Bu pasti akan menanyakan kondisi Rou Yi.
Sambil berjalan, fikirannya sudah melayang kemana-mana. Jika dirinya sakit, pasti Rou Yi akan tahu bagaimana meracik obat untuknya sesuai keluhan, tetapi jika gadis itu yang sakit, ia bisa apa selain memberi ramuan biasa yang umum digunakan.
Tiba-tiba ia tertegun ketika langkah pertamannya memasuki ruang makan. Bagaimana tidak, diruangan itu ia mendapati Tan Bu dan Tetua Huang Nan Yu berdiri dengan memasang wajah tersenyum, lalu dibelakang mereka berdua, ada lima orang lelaki yang pernah ia lihat sewaktu dalam perjalanan menuju biara Shao Lin. Yang membuat ia tercengang, mereka berlima juga tersenyum ramah padanya.
Jarinya langsung menunjuk satu-satu ke wajah lima orang itu dengan bibir bergetar dan wajah keheranan tak percaya.
"K-Kalian...Kalian.... perampok!" katanya dengan kalimat tersendat-sendat, "Serigala Merah!"
Selesai Li Yun mengucapkan kalimat itu, lima orang dari kelompok Serigala Merah langsung menangkupkan kedua kepalan tangannya ke depan, lalu menunduk memberi hormat, dan seperti dikomando, mereka berkata serentak, "Salam hormat Nona Muda Yang Li Yun!"
Li Yun tak bisa mempercayai apa yang dilihatnya, bagaimana mungkin gerombolan perampok itu mengetahui namanya.
Belum hilang rasa kebingungannya, Anggota Serigala Merah, termasuk Tan Bu dan Huang Nan Yu perlahan memecahkan barisan. Nampak seseorang berada dibalik barisan mereka berdiri.
"Nona Yang," Huang Nan Yu berkata sambil mengayunkan telapak tangannya ke arah seseorang pemuda yang terlihat setelah mereka memecahkan barisan, "Kami punya kejutan untukmu!"
Li Yun sontak menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua telapak tangannya. Air matanya langsung tumpah ruah tak terbendung. Tubuhnya terguncang-guncang bersamaan dengan suara tangisannya yang tiba-tiba saja menyeruak dari dalam dadanya seperti letusan gunung berapi.
"Assalamu'alaikum, gadis manja..." suara yang selama ini tak terdengar, suara yang selama ini ia rindukan, dan suara yang ia tak yakin masih bisa ia dengar lagi, kini tiba-tiba saja tertangkap oleh gendang telinganya.
"W-wa'alaikum salam," ia menjawab dengan bibir bergetar.
Senyumnya mengembang diantara tangisnya. Kini ia yakin, kalau matanya tak salah melihat.
"Kakaaaak!!!!" ia menjerit dengan suara keras, berlari sambil merentangkan kedua tangannya dan menubruk Suro seperti harimau menerjang mangsa, lalu memeluknya begitu erat seolah tak akan dibiarkannya lepas lagi.
Suro membiarkan Li Yun memeluk tubuhya, hingga ia bisa merasakan hangatnya air mata gadis itu menembus pakaian yang ia kenakan.
Dengan lembut ia membelai rambut Yang Li Yun yang panjang terurai. Membisikkan kalimat-kalimat yang menenangkan gadis itu sambil beruraian air mata.
Suasana haru menyelimuti pertemuan sepasang kekasih yang baru saja bertemu. Tak satupun mereka yang menyaksikan tanpa menangis haru, seolah tengah menyaksikan sebuah drama cinta yang berakhir bahagia.
"Kakak.....kakak...." Li Yun berbisik sambil terus menangis bahagia, tubuhnya terus berguncang, "Tahukah kakak,... Kami takut tak akan bisa melihatmu lagi.... Kami takut...."
Suro langsung memegang bahu Li Yun, membuat jarak antara tubuhnya dan gadis itu lalu menatap lekat matanya yang banjir dengan air mata. Dengan jari-jari tangannya yang kasar, ia menyeka air mata yang membasahi pipi Li Yun.
"Bukankah kakak sudah katakan, semua sudah diatur...." katanya sambil tersenyum.
Sejenak, Suro membiarkan Li Yun menangis puas-puas sambil menatap wajahnya. Hatinya merasa lega kalau Yang Li Yun sudah pulih, tetapi kemudian ia merasa heran ketika tidak mendapati Yin Rou Yi diantara mereka.
"Oh, ya, mana adik Yi?" tanyanya kemudian.
Buru-buru, Li Yun tersadar sambil menyeka air matanya dan menarik tangan Suro kemudian membawanya ke dalam kamar mereka.
Sesampainya, Suro melihat Rou Yi sedang terbaring dipembaringan. Wajah gadis itu yang terlihat pucat dan nampak tak sehat membuat hati pemuda itu khawatir. Terlebih lagi ketika mendapati tubuh Rou Yi dalam keadaan sangat panas.
Ia langsung meraih tangan Rou Yi dan memeriksa nadinya.
"Oh, ada radang di daerah organ perutnya!" ia mengatakannya pada Li Yun yang berada dibelakangnya dengan suara berbisik. Takut jika Rou Yi terbangun.
Benar saja, suara berbisik itu membuat Rou Yi membuka matanya dalam keadaan sangat lemah.
Ia masih belum sadar kalau yang sedang dilihatnya adalah Suro. Ia masih menganggap kalau itu adalah pengaruh demamnya yang tinggi.
Suro tersenyum melihat Rou Yi yang memandangnya dengan tatapan mata kosong.
"Lihat, Rou Yi," Li Yun berkata, berdiri disebelah Suro dengan senyuman, "Masakanmu telah mengundang jiwa kekasihmu untuk datang."
Perlahan, Rou Yi menampakkan perubahan wajah yang seolah tak percaya. Berkali-kali matanya berkedip untuk memastikan apa yang dilihatnya. Ketika benar bahwa ia melihat Suro bukan dalam bentuk halusinasi, air matanya langsung tumpah, tangisannya pun pecah, dan tubuhnya berguncang hebat seperti Li Yun yang pertama kali menyadari kehadiran Suro.
"Kakaaak!" katanya dengan suara bergetar, tangannya langsung meraih wajah Suro yang juga basah dengan air mata, lalu kemudian meraih telapak tangan Suro dan menciumnya beberapakali sebagai ungkapan rasa rindunya yang begitu besar.
"Mengapa lama sekali... " Rou Yi mengucapkannya sambil tersenyum, "Aku sangat merindukanmu, tahu tidak?"
Suro tersenyum, melihat wajah Rou Yi yang begitu gembira sambil terisak menangis haru menatapnya.
"Kakak tahu," jawabnya, "Kakak juga sangat merindukan kalian."