"Seharusnya, Ma Han datang tidak sendirian melainkan bersama dengan Chen Lian untuk menyerangmu," Mou Li mengatakan sesuatu yang dirasanya aneh tentang penyerangan yang dilakukan oleh Ma Han.
Setelah melakukan pembakaran pada jasad Ma Han, mereka kembali berkumpul di dalam gua untuk berdiskusi kembali.
Mengelilingi perapian yang mereka buat, pembicaraan mengenai keberadaan Chen Lian merupakan hal yang penting dibahas karena menyangkut keselamatan keluarga Suro.
Jika tujuan mereka adalah Suro, paling tidak Ma Han akan didampingi beberapa pasukan untuk membantunya jika Chen Lian sendiri tidak ikut dalam penyerangan.
Chien Cou mengangguk tanda ia setuju atas apa yang disampaikan oleh Mou Li.
"Aku juga menyangka demikian. Melihat karakter Ma Han, barangkali karena ilmu sihirnya yang dirasa tak tertandingi membuatnya percaya diri dan tak ingin dibantu oleh Chen Lian dan pasukannya," sahutnya, "Aku curiga kalau Ma Han dan Chen Lian berbagi tugas. Makanya ia tak muncul bersama Ma Han."
"Lalu adakah kemungkinan Chen Lian masih berada di sini, memanfaatkan kekuatan Ma Han untuk menghadapi pendekar Luo? Setelah pendekar Luo berhasil mengalahkan Ma Han, bisa jadi ia dan pasukannya keluar dan kembali memblokade jalan menuju pelabuhan," Wan Cai mengatakan satu kemungkinan yang juga tak bisa diabaikan.
Wajah Suro terlihat gelisah. Kemungkinan yang disampaikan Wan Cai bisa jadi demikian, tetapi kemungkinan Chen Lian pergi ke kota kediaman tetua Huang Nan Yu juga ada.
"Aku mengkhawatirkan keselamatan keluargaku," Suro berkata setelah sebelumnya menarik nafas panjang, "Aku tak mau kejadian yang menimpa keluargaku terjadi di saat aku tidak ada bersama mereka."
Suasana hening sesaat ketika Suro selesai mengatakan kalimat itu, sesekali nampak suara penyesalan keluar dari mulutnya. Suro sendiri sudah pernah menceritakan kejadian dimana tragedi berdarah yang menimpa keluarganya selalu terjadi di saat dia berada di tempat yang jauh. Mereka dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Suro.
Terlepas dari situasi itu, sebenarnya rasa rindu pada Li Yun dan Rou Yi cukup memberatkannya untuk mengambil keputusan sesuai nalar. Jelas, jika disuruh memilih, pasti ia akan lebih memilih untuk mendatangi dua kekasihnya itu.
Ia merasakan baik Yang Li Yun maupun Yin Rou Yi sedang dalam keadaan bersedih menunggu kepastian berita apakah dirinya masih hidup atau mati.
Beruntunglah ia karena dalam situasi demikian, ada orang-orang yang masih berfikiran netral dan mampu memberikan pendapat yang akan ia pilih.
"Kalau menurutku, alangkah lebih baik jika kita pergi menyelamatkan keluarga pendekar Luo. Paling tidak jika kemungkinan Chen Lian memang sedang menuju kesana, kita juga ada di sana menyelamatkan mereka, dan jika kemungkinan Chen Lian masih berada di sini, hati pendekar Luo akan lebih tenang dengan bersama mereka," kali ini Mou Li berkata.
Semua anggota Serigala Merah bersamaan mengangguk, sebagai tanda sepakat dengan pendapat yang dikatakan Mou Li. Hal itu membuat Suro terdiam dengan mengerutkan dahi, memikirkan pendapat Mou Li.
Tak lama kemudian, ia mengangguk.
"Kalau begitu aku akan pergi ke sana!" Suro katanya.
"Aku akan ikut!" Wan Cai tiba-tiba mengajukan diri.
"Hei!" Mou Li menyela, "Kau jangan bersenang-senang sendiri!"
Wan Cai tersenyum mengejek sambil memperhatikan wajah Mou Li.
"Aku juga ikut!" akhirnya yang lain menimpali dan mengajukan diri.
Melihat kekompakan orang-orang dari Serigala Merah yang dengan sukarela ikut dengannya, membuat Suro terharu.
Saat ini, disamping masalah yang ia hadapi, ada juga hikmah yang bisa ia petik dari pertarungannya melawan Ma Han, yakni pertobatan kelompok perampok itu dari perbuatannya selama ini, dan bertekad untuk selalu berbuat kebaikan.
Kini, kelompok Serigala Merah seperti berlomba berbuat kebaikan untuk membantu menyelamatkan keluarganya. Tentu saja, ia tak serta merta berkenan menerima bantuan dari mereka. Masalahnya, ini adalah urusan pribadinya, tak ada kaitannya dengan kelompok mereka, dalam arti Suro tak ingin melibatkan mereka dalam masalah yang lebih besar.
"Sejujurnya, aku sangat berterima kasih atas bantuan kalian semua, tetapi aku juga tak ingin melibatkan kalian. Ini adalah masalah keluargaku dengan pemerintah. Kami adalah buronan," Suro menolak halus bantuan kelompok Serigala Merah.
Semuanya nyaris mengangkat tangan, berebut untuk menyanggah penolakan Suro.
"Kami sudah sepakat, anda menolak atau tidak bantuan kami, kami tetap akan berangkat bersamamu!" Chien Cou akhirnya yang berbicara mewakili rekan-rekannya.
"Terlepas dari anda buronan atau tidak, kami juga termasuk penjahat yang diburu oleh pemerintah sekarang ini. Jadi, sekarang sudah tidak ada bedanya antara pendekar Luo dan kami, sama-sama menjadi incaran pemerintah juga," Mou Li menegaskan dan memberi alasan mereka agar bisa ikut bersama Suro.
Wan Cai maju ke depan lebih dekat sembari mengepalkan dan menyatukan kedua tangan di depan dada, lalu berkata, "Jangan buang-buang waktu untuk memikirkan masalah ini. Lebih cepat kita berangkat, maka akan lebih baik."
Seperti diberi aba-aba, anggota Serigala Merah yang lain pun menunduk. Suatu isyarat agar mereka tetap akan pergi meskipun Suro melarangnya.
Melihat mereka bersikeras, akhirnya Suro terlihat pasrah. Ia melihat niat baik dari orang-orang Serigala Merah tak bisa ia tolak. Kemudian ia mengangguk, disusul dengan mengepalkan kedua tangan ke depan.
"Terima kasih banyak atas bantuan saudara-saudara sekalian!" katanya sembari menundukkan kepala.
Matanya berkaca-kaca karena terharu.
Dalam hati, ia kembali bersyukur. Sebentar lagi ia akan menemui dua gadis calon isterinya itu, "Li Yun, Rou Yi .... Aku tahu kalian menungguku. Bersabarlah, sebentar lagi kita akan bertemu."
***
Lewat tengah malam, di sebuah kamar di atas pembaringan terpisah di kediaman Huang Nan Yu sekitar ratusan mill.
Yang Li Yun dalam keremangan malam tak bisa lagi menahan air mata, mengingat nasib Suro yang sampai saat ini tak diketahui keberadaannya. Ia menangis membelakangi Yin Rou Yi yang berada dipembaringan disisi lain.
Dihadapan semua orang, ia bisa menyembunyikan perasaannya, tetapi dikala sendiri disaat malam datang, rasa itu tak dapat ia tahan. Semua rasa kesedihan yang ia kurung sepanjang hari hanya bisa ia tumpahkan dengan menangis.
Kenangan bersama Suro sejak ia merebahkan tubuh sudah bermain dalam ingatannya begitu jelas, membentuk alur cerita drama yang indah dalam sebuah kisah cinta yang penuh liku-liku dan perjuangan.
Tetapi, kejadian terakhir membuat alur kisahnya seperti berakhir. Ia tak tahu apakah kekasihnya selamat atau telah mati setelah itu.
Ia menyadari, kemungkinan hidup Suro sangat kecil jika mengingat perlakuan Chen Lian pada Suro yang sedang dalam kondisi terluka parah. Tetapi disisi lain ia sepenuhnya percaya, bahwa tidak ada yang mustahil jika Yang Maha Kuasa berkehendak memberi pertolongan.
Ia yakin, Suro pemuda yang baik dan hidupnya selalu dipenuhi keberuntungan karena ia tak pernah melepaskan dirinya sendiri dari keyakinannya pada tuhan. Beberapa kali tragedi, maut nyaris merenggut nyawanya, tetapi beberapa kali pula maut pun menjauh darinya.
"Tiada keberuntungan yang sangat besar dalam hidup ini, kecuali orang yang tidak memiliki sandaran, selain bersandar kepada Allah. Dengan meyakini bahwa memang Allah-lah yang menguasai segala-galanya; mutlak, tidak ada satu celah pun yang luput dari kekuasaan Allah, tidak ada satu noktah sekecil apapun yang luput dari genggaman Allah. Total, sempurna, segala-galanya Allah yang membuat, Allah yang mengurus, Allah yang menguasai."
Itulah nasehat yang pernah disampaikan Suro kepadanya waktu itu.
"Kakak..." ia berbisik dengan suara lirih, "Apakah keadaanmu baik-baik saja? Aku rindu nasehatmu."
Dadanya tiba-tiba bergetar ketika ia berusaha menahan suara tangisannya yang mulai tak terkendali. Ia khawatir jika terdengar oleh Rou Yi, dan akan membuat gadis itu bertambah sedih.
Buru-buru ia langsung mendekap mulutnya sendiri, membiarkan air matanya saja yang bersuara dalam diam membasahi pipinya yang lembut.
"Kakak, segeralah datang, kami merindukanmu," katanya dalam hati.
Tiba-tiba, ia mendengar suara tangis yang lain seperti tertahan dari sisi pembaringan lain. Tangisan itu berasal dari Rou Yi yang ternyata juga berusaha menahan suara tangisannya.
"Ah, kakak..." Li Yun kembali berkata dalam hati, "Tidakkah kau di sana merasa, dua orang gadismu ini sedang bersedih?"
***
Menjelang tengah hari, dua orang lelaki yang baru datang bersamaan itu menunduk memberi hormat dihadapan Perwira Chou di Lembah Awan Perak, persis di mulut gua tempat Ye Chuan di tahan.
Perwira Chou tersenyum menyambut kedatangan mereka dengan senyum datar sambil memposisikan kedua tangannya dibalik punggung.
"Tin Jie, Tien Lie," ia menyebut nama kedua orang lelaki itu, "Kalian memang orang yang patuh!"
Mendengar pujian dari Perwira Chou, keduanya kembali membungkuk dengan kedua kepalan tangannya menyatu dan berayun.
Tien Jie dan Tien Lie adalah saudara kembar identik yang sama-sama memiliki rupa dan tubuh tinggi kekar. Mereka berdua adalah sepasang pendekar beraliran hitam yang memiliki keahlian ilmu pedang berpasangan.
Dalam dunia persilatan, mereka juga cukup punya nama dan terkenal dengan sebutan Pendekar Pedang Api dan Angin. Tien Jie si Pedang Api dan Tien Lie si Pedang Angin.
Kekuatan pedang mereka tak bisa dianggap enteng jika mereka bersatu, karena gerakannya yang saling mendukung, mengisi dan melengkapi. Bagi pendekar berilmu rendah, tentu akan menjadi sasaran yang empuk bagi kekuatan mereka, dan jika berilmu tinggi, mereka tidak akan bisa menemukan celah untuk menyerang kelemahan mereka.
Perwira Chou dalam tugasnya tidak selalu mengandalkan prajurit-prajuritnya, tetapi juga melibatkan orang-orang dunia persilatan yang beraliran hitam alias jahat. Karena sering terjadi, ia harus berrhadapan dengan pendekar kungfu yang berilmu tinggi yang tidak bisa hanya mengandalkan prajurit-prajurit berkemampuan rendah. Bisa dikata, pendekar aliran jahat yang direkrutnya merupakan pasukan khusus yang tunduk pada perintahnya.
"Apakah ada tugas untuk kami, tuan Chou?" Tien Jie bertanya.
Perwira Chou mengangguk tegas. Dihadapan Tien Jie dan Tien Lie, Perwira Chou sangat dihormati dan ditakuti, baik sebagai bagian dari Pemerintah atau pun karena ilmu kungfunya yang tinggi berhasil menundukkan kehebatan ilmu pedang mereka.
"Aku sudah mengirim beberapa utusan untuk memburu orang yang bernama Luo Bai Wu. Hanya saja, sampai dengan saat ini aku tidak tahu perkembangannya. Yang jelas, satu utusan telah tewas!" sambil berkata demikian, ia menunjuk sebuah makam yang berada tak jauh disampingnya.
Tien Jie dan Tien Lie mengarahkan pandangannya pada tempat yang ditunjuk oleh perwira Chou. Mereka baru menyadari ada sesuatu tak jauh disamping Perwira Chow begitu melihat sebuah gundukan bertuliskan Ye Chuan, si Naga Api. Sebuah makam.
"Ye Chuan?" mereka berkata dengan tidak yakin atas tulisan yang mereka baca pada makam.
Sesaat mereka saling pandang, lalu kembali menatap ke arah perwira Chou.
"Ye Chuan, seorang pendekar kelas atas dan belum pernah terkalahkan. Apakah benar ini makamnya?" Tien Jie bertanya lagi. Ia masih meragukan kalau di dalam makam itu terkubur jasad Ye Chuan.
Perwira Chou mengangguk, "Seperti yang kalian lihat. Ye Chuan telah tewas ditangan pemuda yang bernama Luo Bai Wu."
"Jika saja Ye Chuan bisa dikalahkan, itu artinya, pemuda yang tuan sebutkan itu berilmu sangat tinggi," Tien Lie berpendapat.
Lelaki dihadapan mereka berdua itu tersenyum dingin mendengar kalimat-kalimat Tien Jie dan Tien Lie.
"Sejujurnya pun aku tidak percaya Ye Chuan bisa dikalahkan," katanya, "Aku yakin ada keberuntungan yang membantu pemuda itu."
Sekali lagi, sepasang pendekar itu saling pandang. Keberuntungan? Keberuntungan seperti apa?
"Kami belum pernah mendengar nama Luo Bai Wu. Jika memang ia seorang pendekar, sudah pasti namanya juga masyhur didunia persilatan," Tien Lie berkata dengan kalimat terdengar penasaran.
Perwira Chou tertawa terkekeh. Ia tak langsung berkata-kata sebelum tawanya selesai.
"Wajah aslinya aku belum pernah tahu, karena ketika aku berhadapan dengannya, ia selalu mengenakan topeng. Menurut informasi yang kuperoleh, ia berasal dari sebuah pulau yang berada di seberang samudera selatan bernama Jawa. Datang ke daratan China sebagai anak angkat sebuah keluarga kaya yang sudah kumusnahkan," paparnya.
Sebelum melanjutkan, ia menarik nafas, "Aku sudah memerintahkan Chen Lian untuk memburunya, kemudian aku juga memerintahkan Ma Han si Mata Iblis untuk membantu Chen Lian. Tetapi hingga kalian datang, aku belum mendapat kabar terbaru dari mereka. Oleh sebab itu, aku memerintahkan kalian untuk membantu Chen Lian dan Ma Han jika ia masih hidup. Jika ternyata mereka telah tewas, segeralah kalian kumpulkan orang-orangmu untuk membantu kalian menangkap Luo Bai Wu. Hidup atau Mati!"
Tien Lie menangkupkan kembali kedua tangannya sambil menunduk. Ia merasa agak segan untuk bertanya lagi, tetapi ia masih membutuhkan beberapa informasi lagi untuk melaksanakan tugasnya.
"Maafkan aku, tuan Chow," katanya sambil menundukkan kepala seperti tak berani menatap ke arah Perwira Chou, "Adakah informasi terakhir keberadaan Luo Bai Wu atau Chen Lian?"
Perwira Chow terdiam sejenak seperti mengingat sesuatu.
"Terakhir informasi yang kudapat, Luo Bai Wu dan rombongannya sedang berada di biara Shao Lin untuk kemudian berangkat ke arah laut. Mereka akan pergi ke negeri Jawa. Saat itu, Chen Lian sedang melakukan pencegatan di jalan menuju pelabuhan. Tetapi, " Perwira Chou mengarahkan pandangannya bergantian pada dua saudara kembar itu, "karena tidak ada kabar dari Chen Lian, maka aku memerintahkan Ma Han untuk menyusulnya."
Mendengar informasi yang disampaikan oleh Perwira Chou, mereka saling pandang dan memastikan kalau tidak ada lagi informasi yang dibutuhkan.
Lalu mereka sekali lagi menunduk memberi penghormatan.
"Kami akan segera berangkat sekarang juga!" Sepasang pendekar itu berucap.
Tak lama kemudian mereka membalikkan badan dan melangkah pergi meninggalkan Perwira Chou.