Chereads / Pendekar Lembah Damai / Chapter 54 - Melamar Yin Rou Yi

Chapter 54 - Melamar Yin Rou Yi

Beberapa hari sebelumnya, setelah peristiwa yang terjadi di Lembah Gezi, Tetua Huang Nan Yu terdiam begitu selesai membaca surat yang dikirimkan oleh Tan Bu yang isinya menceritakan peristiwa yang dialami oleh keluarga Tabib Hu, dan juga kabar mereka akan meninggalkan negeri China.

Wanita paruh baya itu sangat terpukul karena tak menyangka kejadian tragis menimpa kembali orang yang sudah ia anggap sebagai keluarganya sendiri.

Berita itu membuatnya seperti tersambar petir. Surat yang ia pegang terlepas dan melayang jatuh ke lantai, seiring dengan tetesan air mata yang perlahan mengalir dipipinya.

Timbul penyesalan dalam hatinya, mengapa waktu itu ia tidak bertahan lebih lama di Lembah Gezi dan tidak buru-buru pulang. Paling tidak, peristiwa ini tidak akan terjadi separah itu.

Hatinya yang terbakar emosi meluapkannya dengan tangan mengepal kuat hingga menimbulkan suara gemeretak. Ingin rasanya ia mengobrak-abrik seluruh barang atau perabotan yang ada disekitarnya untuk melampiaskan emosinya yang meluap-luap. Kebenciannya terhadap Perwira Chou semakin besar. Jika tidak karena melihat usia yang lanjut ditambah dengan penguasaan filsafat Tao dari kungfu Tai Chi-nya, tentu ia tidak mampu mengendalikan diri, dan langsung pergi mencari keberadaan Perwira Chou untuk membalas dendam.

Maka, ia harus berfikir jernih untuk membuka hati dan akalnya. Ia merasa harus berbuat sesuatu.

Tangannya yang semula mengepal kini membuka setelah ia merasa lebih tenang, lalu wajahnya nampak sedang berfikir dan mulutnya bergerak-gerak diiringi dengan gerakan ujung jemari tangannya yang bersentuhan satu sama lain seperti sedang menghitung.

Hanya beberapa saat, ia kemudian mengangguk sekali dan berkata pada dirinya sendiri, "Jika berangkat hari ini, masih bisa bertemu dengan keluarga Yang."

Selesai berkata demikian, wanita paruh baya itu langsung bergegas ke dalam kamarnya dan nampak sedang mepersiapkan perbekalan. Ia harus pergi ke Shao Lin, paling tidak menurutnya ia masih bisa menemui keluarga Yang yang di sana.

***

Di suatu tempat...

Zhu Xuan dan Wang Yun tampak sangat terkejut begitu ia mendengarkan penuturan Huang Nan Yu dan membaca surat dari Tan Bu yang dikirimkan kepadanya melalui wanita, guru Tai Chi Yang Li Yun itu.

"Aku juga merasa sangat berduka mendengar berita yang menimpa keluarga Yang dan tabib Yin Ke Hu," Zhu Xuan berkata sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Raut wajahnya menunjukkan kemarahan, apalagi yang melakukannya adalah anak buah dari Perwira Chou yang menjadi musuh besarnya. Di sebelahnya, Wang Yun pun terlihat menampakkan raut wajah yang sama.

"Tetua Zhu Xuan," Wang Yun berkata pada lelaki itu, "Aku merasa, pendekar Luo belum lepas dari bahaya selama mereka masih berada di negeri ini. Tak mungkin perwira Chou dan para prajuritnya akan melepaskan buruan mereka begitu saja. Aku yakin, mereka pasti akan berbuat sesuatu yang buruk."

Zhu Xuan seperti berfikir, ia menganalisa kemungkinan yang dikatakan oleh Wang Yun. Kemudian mengangguk setuju.

"Apa kira-kira prediksimu?" Zhu Xuan bertanya pada Wang Yuan.

Wang Yun terlihat mengerutkan dahi, akalnya mencoba merangkai kemungkinan rencana yang akan dibuat oleh orang-orang perwira Chou.

"Dari isi surat yang tuan Tan Bu kirimkan, sepertinya memang mereka masih diburu. Aku khawatir, ada mata-mata mereka yang berhasil mengamati dan mengikuti perjalanan mereka. Tentunya, selama mereka berada di kuil Shao Lin, musuh tak akan bisa berbuat macam-macam, dalam arti, mereka tidak mungkin berani menyerbu biara Shao Lin, mereka akan aman di sana. Tetapi yang kukhawatirkan, mereka akan mencegat pendekar Luo diperjalanan selepas mereka keluar dari kuil Shao Lin," Wang Yun memaparkan pendapatnya.

Tetua Huang Nan Yu kemudian berdiri, sambil menangkupkan kedua kepalan tangannya pada Zhu Xuan, "Aku merasa sepemikiran dengan tuan Wang Yun. Oleh sebab itulah, aku kemari memohon bantuan pada kelompok Bayangan Merah untuk membantu menyelamatkan tuan muda Luo dan yang lainnya, sampai mereka bisa pergi dengan selamat dari negeri ini."

Tetua Huang Nan Yu langsung menundukkan tubuhnya untuk memohon bahkan nyaris menjatuhkan tubuhnya ke lantai, tetapi buru-buru Zhu Xuan menahan kedua lengan wanita paruh baya itu.

"Jangan begitu berlebihan, tetua Nan Yu. Kami juga pernah diselamatkan oleh pendekar muda Luo. Budi baik tuan muda anda tidak akan pernah bisa kami balas dan lupakan. Tetua tidak perlu sungkan begitu," Ia menenangkan Tetua Huang Nan Yu yang suaranya bergetar.

Wanita paruh baya itu berharap permohonannya dapat dikabulkan oleh Zhu Xuan.

"Aku... aku memohon bantuan pada tuan-tuan sekalian," Huang Nan Yu kembali berkata, "Mereka itu orang baik,....tuan muda Luo orang yang sangat baik dan bijak. Aku tak rela jika Perwira Chou sampai berbuat sesuatu yang buruk kembali pada mereka!"

Suara Huang Nan Yu yang bergetar sampai membuat terharu dua orang petinggi Organisasi Bayangan Merah itu.

"Sungguh, keluarga Yang adalah orang yang sangat aku sayangi. Seribu nyawa tua ku tak lebih berharga dari mereka semua," Wanita itu melanjutkan perkataannya.

Zhu Xuan tersenyum simpul, ia mengagumi kesetian tetua Huang Nan Yu pada keluarga Yang. Seandainya ia berada diposisi wanita paruh baya itu, tentu ia pun akan berlaku hal yang sama seperti dirinya.

Zhu Xuan sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri prilaku keluarga Yang, termasuk Suro, sehingga dia bisa membuat sebuah penilaian yang sama dengan yang disampaikan orang kebanyakan, termasuk Huang Nan Yu. Dirinya sendiri yang bukan bagian dari keluarga mereka, juga terkena dampak kebaikan dari keluarga Yang.

Ia teringat detik-detik nyawanya yang sudah diujung tanduk ketika berhadapan dengan Perwira Chou. Saat itu ia sudah yakin akan menghadapi kematian, lalu tiba-tiba Suro muncul dari tempat yang tak disangka-sangka bagai seorang malaikat penolong yang akhirnya ia selamat dari ancaman kematian.

Dengan menarik nafas panjang dan mantap, Zhu Xuan lalu berkata meyakinkan pada tetua Huang Nan Yu, "Jangan khawatir, tetua Huang Nan Yu. Aku akan membawa beberapa orang anggota untuk bersama-sama pergi ke kuil Shou Lin, kemudian mengawalnya hingga mereka lepas ke samudera."

Wajah Huang Nan Yu langsung berseri, hatinya terasa lega mendengar kalimat Zhu Xuan. Semua rasa yang membebani hatinya seolah pupus bagai asap. Usahanya meminta bantuan pada Ketua Organisasi Bayangan Merah itu tidak sia-sia. Wajahnya pun kembali tersenyum, tetapi dengan mata yang masih berkaca-kaca karena terharu bahkan nyaris mengalir jatuh jika ia tidak buru-buru menyekanya dengan kain lengan pakaiannya.

"Sungguh, aku tak bisa membalas kebaikan kalian di dunia, tapi aku memohon pada langit dan bumi agar usaha kalian menegakkan keadilan dan kebenaran bisa terwujud," Tetua Huang Nan Yu kembali menunduk hormat dengan suara yang masih bergetar. Hatinya luar biasa lega!

"Kalau begitu, lebih cepat kita berangkat akan lebih baik. Aku akan mengajak beberapa anggota untuk ikut pergi bersama ke biara Shao Lin," Wang Yun berkata.

Lelaki yang merupakan Wakil dari Zhu Xuan itu juga merasa terikat budi dan hutang nyawa pada Suro. Makanya ia mengatakannya dengan sepenuh hati untuk membantu tetua Huang Nan Yu dalam membantu Suro.

Mendengar Wang Yun berkata demikian, Zhu Xuan langsung menoleh padanya sambil mengangguk tanda setuju, "Baiklah, kita tak perlu membuang waktu lagi. Tolong anda atur anggota-anggota kita yang akan kita bawa."

Wang Yun menjawabnya dengan menundukkan kepala sembari menangkupkan kedua kepalan tangannya di depan dada, lalu melangkah pergi meninggalkan Zhu Xuan dan Huang Nan Yu.

***

Malam sebelum keberangkatan, di biara Shao Lin.

Suro kembali ke tempat kesukaannya, duduk sendiri di bawah pohon sambil menatap rembulan. Hatinya terbagi dua, antara sedih dan gembira.

Ia sedih harus meninggalkan negeri yang sudah mulai akrab dengannya, dengan berbagai kenangan yang ia tinggalkan. Di sisi lain, ada juga perasaan rindu terhadap tanah kelahirannya, dan berharap agar ia bisa cepat sampai dinegerinya sendiri.

Tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki dari arah belakang, ketika ia menoleh, ia melihat wajah Rou Yi yang langsung tersenyum padanya.

"Oh, adik Yi," sambutnya.

Rou Yi langsung mengambil posisi duduk disebelah Suro. Ia menarik nafas sebentar, lalu mengarahkan pandangannya ke langit seperti yang biasa dilakukan Suro di tempat itu.

"Kakak senang menyendiri, ya," ia berkata dengan nada seperti bertanya.

Suro mengangguk, "Ya. Kakak lebih senang menyendiri, memandang rembulan sambil merenung."

Gadis itu butuh seseorang untuk mengobrol, menghibur perasaan hatinya yang belum lama berduka kehilangan ayahnya yang selama ini berada disisinya. Tetapi, mendengar perkataan Suro, Rou Yi langsung menundukkan kepala, seolah merasa kehadirannya tengah mengganggu keasyikan Suro.

"Maafkan aku..." Gadis itu berkata lirih.

Suro yang tersadar akan ucapannya buru-buru memotong ucapan Rou Yi, dalam remang-remang, ia melihat gadis itu sudah sesenggukan, "Bukan begitu maksud kakak. Aku memang senang menyendiri, tetapi bukan berarti tidak suka jika ada orang yang menemani."

Rou Yi tak bereaksi, membuat Suro semakin merasa bersalah. Harusnya, ia lebih peka dengan kondisi Rou Yi saat ini. Tragedi yang luar biasa di Lembah Gezi sudah membuatnya depresi.

"Adik jangan berfikiran seperti itu," sambungnya lagi, agar gadis disebelahnya itu tidak merasa bersalah, "Baiklah, kakak minta maaf kalau kata-kataku tadi menyinggung perasaan adik."

Suasana hening, Suro masih menatap Rou Yi berharap gadis itu untuk mengatakan sesuatu padanya.

"O, ya. Apakah Li Yun sudah tidur?" tanyanya mencoba mencairkan suasana.

Rou Yi mengangguk pelan, agak lama setelah dirasa tenang, baru ia menjawab "Aku juga heran, tidak biasanya ia sudah tidur."

"Apakah adik Yi juga belum mengantuk?" Suro kembali bertanya.

Gadis itu menarik nafas sebentar, kemudian menggeleng pelan, "Aku tidak bisa tidur...."

Suro tersenyum, lalu mengarahkan pandangannya ke langit. Ia tahu kalau sebenarnya Li Yun, adik angkatnya itu belum tidur tetapi berpura-pura sudah tidur. Ia yakin bahwa ini juga termasuk rencananya, memberi kesempatan agar Rou Yi bisa berbicara dengannya.

"Kakak,..." Rou Yi berkata terputus setelah Suro menatap ke arahnya.

Pemuda itu tak langsung menyahut, tetapi menunggu kalimat yang akan dikatakan Rou Yi. Ia melihat keraguan gadis itu untuk berkata kembali.

"Ada yang ingin adik sampaikan?" tanya Suro.

Sejenak, Rou Yi masih terdiam. Setelah ia menghela nafas, baru ia membuka mulutnya untuk berbicara.

"Terima kasih banyak atas pertolonganmu waktu itu," katanya sembari menundukkan kepalanya kembali, "Jika kakak waktu itu tidak segera datang, pastilah aku sudah....."

Tiba-tiba Rou Yi kembali menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan, membayangkan jika Suro tidak segera datang, Yun Se pasti sudah membuat kerusakan padanya yang bakal menimbulkan trauma seumur hidupnya. Rou Yi akan merasa dirinya adalah sampah yang hina dan akan memilih jalan kematian.

Ah, lagi-lagi..... Suro merasa paling tak tahan melihat gadis itu menangis. Tangannya hendak bergerak menepuk pundak Rou Yi, tetapi ia teringat kalau itu tidak boleh ia lakukan, maka ia menurunkan tangannya kembali.

Untuk beberapa lama, yang bisa ia lakukan adalah membiarkan gadis itu menangis hingga waktu lewat beberapa saat.

"Bersyukurlah pada Allah," katanya, "Allah sudah menghendaki adik itu suci, maka tak ada yang bisa melawan apa yang dikehendaki-Nya. Semuanya sudah diatur."

Rou Yi mengusap air mata dengan lengan gaunnya, dan berusaha menghentikan isak tangisnya. Kalimat sederhana yang keluar dari mulut Suro cukup membuat hatinya tenang. Ia cuma bisa menjawab menerima nasehat Suro dengan anggukan.

Suasana lalu hening kembali. Di saat seperti ini, Suro seperti mati kutu. Ia kehabisan bahan untuk dibicarakan. Kecuali jika gadis itu meminta pendapat atau nasehat, ia masih bisa mengeluarkan suaranya.

Jika ia bersama Li Yun, tak ada istilah suasana yang sepi terlalu lama. Karena karakter dua gadis itu memang bertolak belakang, meskipun sama-sama cantik dan baik hati. Itulah salah satu sebab ia lebih mencintai Li Yun daripada Rou Yi. Ia menyayangi Rou Yi karena sudah dianggapnya seperti adik kandungnya sendiri.

Tetapi yang menjadi bebannya saat ini adalah, janjinya pada tabib Yin Ke Hu. Tidaklah mungkin ia akan menjadikan Rou Yi sebatas adik kandung atau pelayan. Dia juga manusia, seorang gadis yang membutuhkan cinta dan kasih sayang.

Otaknya terasa penuh jika memikirkan itu. Tetapi hal yang sangat menguntungkan baginya adalah, Li Yun juga sangat menyayangi Rou Yi dan justru Li Yun sendiri yang mendesaknya untuk menikahi Rou Yi. Semestinya, ia tak perlu sepusing itu.

"Adik Yi," Suro memanggil Rou Yi sehingga gadis itu menoleh, "Jika kakak hendak....."

Suro menghentikan kalimatnya. Ia merasa jantungnya berdebar kencang dan lidahnya mendadak kelu. Sama seperti ketika ia hendak mengatakan kalimat yang diminta Li Yun untuk diucapkan padanya.

Dalam hati, ia cuma bisa mengumpat.

"Hendak?" Rou Yi bertanya penasaran. Tetapi ia memutuskan untuk menunggu hingga suasana menjadi hening kembali.

Suro menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya dengan cepat untuk mengusir rasa tidak enaknya.

"Terkait dengan janji kakak pada ayahmu,... bersediakah adik Yi mendampingi adik Li sebagai isteri kakak?" Suro mengatakannya dengan kalimat yang cepat sebelum ia merasakan lidahnya menjadi kelu.

Tiba-tiba saja, perasaannya menjadi lega kembali.

Rou Yi terkejut setengah mati. Ia sempat tak bisa berkata apa-apa. Kalimat pemuda itu seperti petir yang menyambar tubuhnya dan merasakan nyawanya terlepas melayang ke langit.

"Kakak, aku tak mau membebanimu dengan apa yang sudah kau janjikan pada ayahku. Aku sudah katakan sebelumnya kalau aku bisa mandiri sebagai seorang tabib, meskipun nanti aku berada dinegerimu. Aku masih bisa menghidupi diriku sendiri, janganlah itu menjadi beban buat kakak Luo" Rou Yi membalas pertanyaan Suro dengan kalimat yang tegas, meskipun dalam hati ia merasa berat untuk mengatakannya.

Bagaimana tidak, Ia sangat mencintai pemuda itu sepenuh hati, dan kini ada tawaran yang sangat ditunggu bagi semua gadis yang mencintai kekasihnya, apakah mungkin ia menolaknya?

Rou Yi mengatakan itu dengan menangis, dadanya serasa penuh dan sesak.

"Adik Yi," Suro berkata hati-hati dengan bahasa yang lembut, "Kakak memang mencintai Li Yun, tetapi bukan berarti aku tidak bisa mencintaimu juga karena Allah."

Pemuda itu sengaja membuat kalimat bertahap agar gadis disampingnya itu mudah memahami penjelasan yang ia sampaikan. Ia menunggu reaksi Rou Yi, ketika Rou Yi cuma menunduk sambil menangis dan berusaha menahan isak tangisnya terdengar oleh pemuda itu.

Suro melanjutkan kalimatnya, "Dalam Islam, tidak ada larangan beristeri lebih dari satu. Allah membatasi seorang suami memiliki 4 orang isteri, dan jika tidak bisa berlaku adil, maka cukup menikah hanya dengan 1 orang saja. Yang kakak alami ini adalah kondisi yang mau tidak mau, suka dan tidak suka, kakak harus memiliki lebih dari satu, yaitu dirimu, dan berharap selamanya tidak akan pernah ada yang ketiga."

Sebelum melanjutkan kalimatnya, pemuda itu diam sejenak sambil menghela nafas.

"Dalam hidup ini, kakak tak pernah melepaskan permohonan kakak pada tuhan. Segala urusan selalu diserahkan pada-Nya. Jika memang takdir ini terjadi, maka kakak yakin bahwa ini merupakan takdir yang sudah tertulis pada kitab takdirnya sejak permulaan."

Mendengar penjelasan Suro tentang permohonan do'a, fikiran gadis itu langsung melayang dimasa lalu, dimana ia pernah mendengar do'a yang dipanjatkan oleh Suro sewaktu mereka masih berada di Lembah Gezi. Doa yang menurutnya berisi kepasrahan atas segala hal apapun yang terjadi pada dirinya.

"Adik Yi, jika kau memang mencintaiku, kakak mohon, jangan buat kakakmu ini berdosa," Suro melanjutkan, "Berdua ditempat sepi seperti ini saja sangat dilarang, dan itu membuat hatiku selalu merasa berdosa. Apalagi jika selamanya kau berada disisiku tanpa sebuah ikatan."

"Benar, Rou Yi," tiba-tiba, satu suara terdengar dari arah belakang mereka, "Orang yang takut akan dosa, pasti akan takut menelantarkan isteri yang menjadi pasangannya karena itu juga suatu perbuatan dosa."

Mereka berdua sama-sama menoleh ke belakang.

"Aku sudah katakan padamu, kalau gadis lain, aku tak akan menerimanya, tetapi jika gadis itu adalah kau,... Aku ikhlas, dan sangat-sangat ikhlas."

Li Yun sengaja berjalan selembut mungkin agar suara langkah dan tongkatnya tak terdengar oleh mereka berdua. Tentu saja, kehadiran dan suaranya cukup mengagetkan mereka.

"Li Yun?" Rou Yi berkata dengan suara bergetar. Ia tak menyangka Li Yun akan berkata seperti itu.

Yang Li Yun tersenyum lembut menatap Rou Yi seperti memohon dan berdiri tepat di belakang Rou Yi.

Rou Yi langsung berdiri, dan berniat membantu Li Yun untuk duduk. Tetapi Li Yun seperti menolak bantuan Rou Yi dan malah memeluknya begitu erat sambil menangis terisak.

"Aku mohon, sejujurnya aku tak ingin berada diantara kalian...." Rou Yi pun mengatakannya dengan menangis, "Tapi, perjalanan hidup ini seolah menggiringku berada diantara kalian..."

"Itulah takdir, tak ada yang bisa menolaknya..." Li Yun langsung menyahut.

Mereka larut dalam deru suasana tangis yang tak kunjung berhenti. Suro hanya bisa melihat mereka berdua dalam keadaan demikian, dan membisu.

"Mengapa kau rela berbagi orang yang kau cintai?..." Rou Yi kembali berkata sambil melepaskan pelukannya, lalu menatap dan menghapus air mata Li Yun. Li Yun terlihat pasrah.

Dengan senyuman, ia kemudian mengatakan dengan sesenggukan, "Karena kaulah orang yang kucintai ini masih berada disisiku. Karena kaulah, aku juga ada dihadapanmu. Bisa dibilang, kau adalah bagian dari nyawa kami...."

Mendengar itu, Rou Yi terdiam, lalu kembali memeluk erat Li Yun.

"Bagaimana aku bisa bahagia jika kau tidak bahagia?" Li Yun berkata lagi, "Kali ini aku mewakili kakak Luo untuk melamarmu, ..... Bersediakah?"

Cukup lama mereka kembali berpelukan, kali ini Yang Li Yun yang melepaskan pelukannya sambil menatap Rou Yi, menunggu sebuah ucapan keluar dari bibirnya yang merah.

Tak lama kemudian, Li Yun melihat gadis dihadapannya itu mengangguk pelan dengan sebuah senyuman.