"Oh," Chen Lian menunjuk dengan tangan kirinya ke arah Zhu Xuan dan Wang Yun, "Kalian dari kelompok organisasi Bayang Merah, Zhu Xuan dan Wang Yun. Berarti aku tidak salah jika memburu anak muda ini, karena ternyata anak muda ini memiliki hubungan dengan kelompokmu. Kalian adalah pemberontak!"
Zhu Xuan tertawa, ia kemudian turun dari kudanya, yang tak lama disusul oleh orang-orang yang hadir bersamanya.
Mereka bergerak memutar mendekati kereta dimana Tan Bu, Yang Li Yun dan Yin Rou Yi sedang berada dalam keadaan tanpa penjagaan. Para prajurit lebih terfokus pada kedatangan mereka dan Suro.
Tetua Huang Nan Yu langsung memeluk Li Yun dan Rou Yi secara bergantian sambil menangis. Kemudian memberi hormat pada Tan Bu.
Suro yang melihat keadaan itu menjadi lega. Sekarang, ia bisa lebih tenang menghadapi lawannya jika ada kesempatan.
"Kami tidak memiliki hubungan dengan anak muda ini. Tetapi kami berhubungan dalam hal memerangi kejahatan seperti yang kau lakukan!" jawabnya santai.
Chen Lian mendengus, "Menangkap buronan pemerintah bukanlah suatu kejahatan!"
"Tetapi yang kau tangkap juga bukanlah penjahat, mestinya anda tidak buta dan bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak!" kali ini Wang Yun yang berkata.
"Huh! Tak usah memberiku nasehat. Lebih baik kalian cepat angkat kaki dari sini, jika tidak anak muda ini akan aku bunuh!" Chen Lian mengancam dengan semakin menguatkan jepitan tangan dan sisi tajam pedangnya pada leher Suro.
Melihat itu, semua sama menarik nafas. Takut kalau Chen Lian langsung melakukan apa yang dikatakannya.
"Tetua Zhu, saudara semua. Silahkan anda pergi, biarkan aku ikut mereka," Suro berkata pada orang-orang yang berniat akan menolongnya.
Li Yun menangis bersama Rou Yi melihat keadaan Suro yang terluka dibawah ancaman pedang Chen Lian. Rou Yi tahu, luka di tubuh Suro jika tidak segera ditangani bisa berakibat fatal. Ia tak bisa lagi membayangkan nasib pemuda yang dicintainya itu dalam keadaan demikian.
Fikiran Li Yun pun demikian, jika tidak dalam keadaan terluka, ia masih mempunyai keyakinan kalau Suro bisa mengatasi kondisi semacam itu. Baginya, kemampuan Suro di atas rata-rata para pengepungnya.
"Pendekar Luo," Zhu Xuan mengepalkan tangannya memberi hormat pada Suro, "Anda jangan khawatir, kami akan berusaha membebaskanmu!"
Suro menggeleng sambil menyunggingkan senyuman, "Tidak tetua Zhu, biar ini kuhadapi sendiri. Jangan buang-buang energiku, segeralah bawa mereka pergi dari sini!"
Chen Lian menghentak tubuh Suro sehingga membuat pemuda itu kesakitan dengan suara tertahan.
"Apa kau fikir bisa bebas dalam keadaan begini!" bentaknya dengan geram.
"Saudara Hang Se Yu, dengarkan perkataanku," kali ini Suro memandang ke arah para biksu Shao Lin, "Di dalam kuil ternyata ada penyusup, hendaklah kalian berhati-hati!"
Hang Se Yu beserta kedua saudara biksu lainnya saling pandang beberapa saat, lalu kembali menatap Suro.
"Kami akan selidiki apa yang saudara Luo sampaikan. Kami akan berhati-hati!" ia menjawab.
Chen Lian tertawa mendengar percakapan mereka. Lalu memandangi mereka satu persatu.
"Kenapa kalian tidak cepat pergi!" Chen Lian berteriak dan menempelkan lebih keras sisi tajam pedangnya di leher Suro.
Darah kembali menetes, membuat Suro meringis kesakitan.
Tetua Huang Nan Yu kemudian berbisik pada Zhu Xuan, "Lebih baik kita segera pergi dan percayakan pada tuan muda Yang. Jika berlama-lama, aku khawatir kondisi tuan muda Yang akan bertambah lemah karena kehabisan darah sebelum mengadakan perlawanan. Aku percaya padanya."
Zhu Xuan merenung sesaat memikirkan ucapan tetua Huang Nan Yu, kemudian mengangguk.
"Baiklah, kami akan pergi," katanya, lalu dengan suara keras ia mengancam, "Tetapi jika terjadi apa-apa pada pendekar Luo, kami yang akan memburumu!"
Sekali lagi Chen Lian tertawa keras hingga tubuhnya ikut berguncang. Ia menganggap ucapan Zhu Xuan adalah sebuah lelucon. Bagaimana bisa penjahat memburu aparat?
Lalu ia membalas ucapan ketua organisasi Bayangan Merah itu dengan berkata dingin, "Jangan bercanda. Justru kamilah yang akan memburu dan menghabisi kalian sampai keakarnya!"
Zhu Xuan seperti tak memperdulikan ucapan Chen Lian, ia malah memalingkan kepalanya seperti enggan menatap Chen Lian.
"Tuan Muda Yang," tetua Huang Nan Yu berkata sambil mengepalkan tangannya ke depan, "Anda tidak perlu khawatir, aku akan menjaga Nona Li Yun dan Nona Rou Yi. Kelak kau akan menemui mereka dalam keadaan aman bersamaku!"
Mendengar itu, Suro menyunggingkan senyuman dan mengangguk membalas ucapan wanita paruh baya itu.
Matanya menatap Li Yun dan Rou Yi, bibirnya bergerak-gerak mengucapkan sebuah kalimat tanpa suara.
"Aku mencintai kalian...." ia menggerakkan bibirnya, dan diakhiri dengan sebuah senyuman.
Li Yun dan Rou Yi cukup jelas membaca gerak bibir Suro, kemudian mereka membalasnya dengan anggukan kepala dan senyuman pasrah.
"Kakak Luo!" Li Yun memanggil dengan suara pelan, begitupun Rou Yi.
"Semua sudah diatur yang maha kuasa," ucap pemuda itu memberi pesan pada dua orang gadis yang akan dinikahinya, "Kalian, tenanglah."
Zhu Xuan kemudian memberi isyarat untuk segera meninggalkan tempat itu.
***
Suro berusaha mengimbangi laju langkah kuda Chen Lian yang menyeretnya dengan tangan terikat. Beberapa orang prajurit yang tersisa mengiringi langkahnya dengan menaiki kuda. Ia merasa sudah sangat kelelahan dan kesakitan, disamping pengaruh luka tusukan anak panah yang masih mengeluarkan darah.
Ia sedang menunggu waktu yang tepat, dan berharap waktu itu masih menyisakan tenaganya untuk melakukan perlawanan terakhir menyelamatkan diri.
Perjalanan memakan waktu setengah hari, hingga mereka tiba di tepi padang gersang pada waktu senja hari, Chen Lian memutuskan untuk beristirahat. Suro memperkirakan waktunya sudah memasuki gelapnya waktu magrib.
Seorang prajurit datang menghampiri Chen Lian yang sedang duduk, lalu memberi hormat.
"Apakah kita akan kembali melanjutkan perjalanan malam ini juga, tuan Chen?" berkata prajurit itu.
"Tidak, kita akan bermalam disini!" jawabnya.
"Kalau demikian, hamba akan memerintahkan pasukan menyiapkan tenda dan mengumpulkan kayu bakar untuk membuat makanan!"
Chen Lian mengangguk, lalu prajurit itu langsung pergi setelah sebelumnya memberi hormat.
Suro yang sedang terbaring disamping Chen Lian tertawa mengekeh, membuat lelaki itu memandang keheranan. Lalu ia berdiri dan menyepak kaki Suro hingga pemuda itu merasa kesakitan. Efek tendangannya cukup menyentak luka dipunggungnya yang menembus hingga bagian perutnya.
Suro sudah sangat lemas kehabisan darah, kepalanya pusing dan pandangannya pun kabur. Ia sudah tak sanggup untuk melawan, kecuali pasrah.
"Kenapa kau tertawa?" Chen Lian bertanya.
Suro memandang lelaki itu dengan pandangan nanar dan menyipit.
"Anda tahu..." katanya, "Jika aku mati, maka aku mati dalam keadaan syahid!"
Chen Lian nampak mengerutkan dahinya, tak memahami apa yang dimaksud oleh Suro dengan syahid. Tetapi ia seperti tak perduli, lalu meninggalkan tubuh pemuda itu tergeletak begitu saja dengan kondisi tangan terikat.
Chen Lian memastikan kalau pemuda itu tidak akan bisa kabur lagi dengan kondisi yang sudah cukup lemah.
Sepeninggal Chen Lian, Suro berusaha untuk melakukan tayamum sebisanya, kemudian ia melakukan shalat dhuhur dengan isyarat yang tak bisa ia laksanakan tadi siang. Lalu ia bertayamum kembali untuk shalat ashar, dan seterusnya.
Selesainya, ia tersenyum damai. Ia merasa lega setelah menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim, dan seandainya ia mati saat ini pun, ia sudah siap. Kondisinya yang demikian sudah tidak memungkinkan lagi untuk bergerak karena darah dari lukanya yang tidak diobati. Ia sangsi untuk menjalankan rencananya melarikan diri.
Suro hanya bisa menarik nafas dengan berat dan lelah. Diantara kesakitannya, bayangan wajah Li Yun dan Rou Yi bermain dipelupuk matanya.
"Maafkan kakak ya...." ia berkata lirih seolah sedang berbicara dengan kedua gadis itu, "Sepertinya, mimpi yang sudah siap kita bangun tidak akan terwujud."
Suro merasakan kepalanya pusing, dan penglihatannya berkunang-kunang. Tubuhnya seperti melayang dan sangat ringan seperti kapas.
"Ya Allah, ya tuhanku. Hamba memohon kepadamu ampunan yang sebesar-besarnya akibat kesalahan-kesalahanku selama hidup didunia. Jika Engkau kehendaki kematianku saat ini, hamba memohonkan untuk dua orang gadis yang Engkau titipkan kepadaku agar mereka bisa selamat dan hidup berbahagia..."
Suro berdoa dengan segenap hatinya, memohon ampunan dan keselamatan buat orang yang ia cintai. Selesainya, mulutnya tak pernah berhenti berdzikir hingga tanpa terasa pandangannya menjadi gelap. Pingsan!
***
Chen Lian habis-habisan mendamprat para prajurit yang ada dilingkarannya, lalu menendangnya satu-persatu sebagai pelampiasan kemarahannya.
Dikeremangan malam yang hanya diterangi perapian, suasana hati Chen Lian semakin kacau. Bagaimana tidak, beberapa orang prajurit tewas ditempat dengan luka tusukan tanpa diketahui siapa penyerangnya. Tubuh Suro yang semula terikat hanya menyisakan seutas tali panjang yang sudah terpotong.
Prajurit yang tinggal beberapa orang itu kini terdiam tak berani mengangkat kepalanya menyaksikan kemarahan Chen Lian yang mengamuk seperti orang gila, membiarkan tubuh mereka menjadi sasaran tendangan dan pukulan lelaki itu.
"Bagaimana bisa kalian membiarkan anak itu lolos?!" kalimat itu terus-terusan diulanginya mempertanyakan keteledoran anak buahnya. "Tak mungkin ia bisa melarikan diri dalam keadaan sekarat. Pasti orang-orang dari Bayangan Merah itu yang menolongnya!"
Ia kemudian menarik baju salah satu dari prajurit yang terdekat, lalu mendekatkan wajahnya ke prajurit itu.
"Pasti ada beberapa orang yang datang, dan kalian tidak menyadarinya sedikitpun!" katanya dengan suara keras.
Prajurit itu tergagap-gagap mengatakan permohonan ampun, "Kegelapan menghalangi kami, sehingga kami tidak tahu ada penyusup yang datang..."
Chen Lian seperti tak mau menerima alasana prajurit itu, lalu dilemparkannya sekuat tenaga hingga terbanting ke tanah begitu keras.
"Kurang ajar!" ia memaki-maki, menghentakkan kakinya beberapa kali ke tanah dengan tampang yang sangat marah.
***
Suro membuka matanya perlahan, dan mendapati ruangan yang tidak terlalu terang. Ia bisa melihat langit-langit ruangan itu merupakan dinding batu yang tidak teratur. Ketika ia mencoba menggerakkan kepalanya untuk memandang berkeliling, barulah ia sadar kalau ia tengah berada di dalam sebuah gua.
Ia meraba bagian tubuhnya yang terluka dan terkejut karena luka yang semalam masih terbuka kini sudah terbungkus kain kepalanya sebagai perban.
Dirinya merasa sedang berada di atas pembaringan yang terbuat dari rakitan kayu yang dialasi tumpukan jerami kering. Agak kasar, tetapi masih terasa nyaman untuk berbaring.
Ia juga melihat ada beberapa peralatan dapur yang meskipun terlihat usang tetapi masih layak digunakan, agak jauh dari pembaringannya, ia juga melihat ada bekas perapian untuk memasak di atas tanah, dan beberapa tumpukan kayu kering sebagai bahan bakar.
Perlahan, dicobanya untuk menegakkan tubuh, meskipun masih terasa sakit dan nyeri, tetapi kondisinya berangsur jauh lebih baik. Ketika mengecap bibirnya beberapa kali, ia merasakan sensasi rasa manis, bertanda ada seseorang yang telah meneteskan cairan yang ia tebak adalah cairan obat.
"Alhamdulillah...." ia berkata memuji tuhannya sambil menarik nafas dalam, "Ada orang yang menolongku rupanya."
Selesai membatin, tak lama kemudian, terdengar suara tawa orang bercanda, semakin lama semakin jelas dengan suara langkah kaki berjalan memasuki gua. Buru-buru Suro merebahkan dirinya dan berpura-pura masih dalam keadaan pingsan. Tetapi matanya sedikit terbuka sehingga ia masih bisa melihat keadaan meskipun remang-remang.
Beberapa orang pria berpakaian merah-merah kemudian duduk di atas tanah dengan bersila di tengah ruangan gua yang tak terlalu lebar itu. Sadar ada orang yang tengah pingsan, mereka mengecilkan suaranya setengah berbisik. Namun demikian, karena berada dalam gua, suara mereka menggema dan dirasa cukup mengganggu jika ada orang yang sedang istirahat.
Salah satu dari mereka tak langsung duduk, tetapi berjalan ke arah pembaringan untuk melihat kondisi Suro. Dalam keremangan, Suro masih mampu melihat dengan jelas orang-orang yang ada di situ, jumlah mereka berlima.
Ketika melihat orang yang datang dan berdiri melihat kondisinya, Suro cukup terkejut dan nyaris membuat tubuhnya bergerak. Bagaimana tidak, orang itu adalah orang yang pernah ia temui dan nyaris baku hantam dengannya.
Mereka adalah orang-orang yang menamai kelompok mereka sebagai kelompok Srigala Merah!
"Bagaimana keadaan orang itu?" tanya salah satunya yang sedang duduk di atas tanah.
Lelaki itu menempelkan punggung tangannya ke dahi dan kening Suro beberapa saat memeriksa suhu badan Suro.
"Kelihatannya sudah mulai membaik," jawabnya, "Suhu tubuhnya sama dengan suhu tubuhku."
Setelah menyelesaikan urusannya, ia kembali berbaur dengan kawanannya.
"Hei Chien Cao," ia berkata pada orang yang bernama Chien Cao, "Ramuanmu masih ada?"
Lelaki yang dipanggil Chien Cou mengangguk sambil meneguk minuman dalam kendi kecil yang dari baunya bisa ditebak kalau itu adalah arak.
Temannya yang berada disebelahnya langsung merebut arak dari tangan Chien Cou begitu saja tanpa sopan santun, lalu meminumnya beberapa tegukan.
"Mou Li, jangan dihabiskan!" serunya begitu melihat Mou Li berniat menghabiskan arak yang ia bawa.
Mou Li tersenyum padanya seperti mengejek, lalu menyerahkan kendi pada kawannya yang lain.
Chien Cou hanya diam memperhatikan sambil pasang wajah cemberut. Kawan-kawannya yang lain pun tertawa melihat tingkah lelaki itu yang dianggapnya seperti anak kecil.
Memang, dilihat dari wajahnya, Chien Cou nampak paling muda diantara mereka berlima. Jadi barangkali hal yang wajar jika yang tua selalu menekan yang muda.
"Wan Cai," tiba-tiba Mou Li menyebut nama Wan Cai, orang yang tadi memeriksa keadaan Suro, "Mengapa kita mesti repot-repot menolongnya?"
Wan Cai yang mendapat giliran terakhir meneguk arak, terdiam sesaat. Ia seperti sedang merenung.
"Sebenarnya aku tidak berniat menolongnya, tetapi aku merasa sangat berterima kasih secara tidak langsung kepada anak muda ini. Coba seandainya pemuda ini tidak mengalahkan tetua Li So Tei, serta kakak Shen Yu dan Lao Su, kalian saat ini pasti terus-terusan hidup dalam tekanan, bukan? Dan kita tidak bisa bercanda serta bergurau seperti ini," katanya menjelaskan. Lalu ia tertawa sendiri.
Rekan yang lain mengangguk-angguk, tanda bahwa mereka setuju dengan perkataan Wan Cai.
"Lagi pula, sewaktu kita bertemu kembali dengan pendekar muda ini, nyawa kita selamat karena dia justru tidak membunuh kita. Seandainya dia ini orang yang kejam, bertemu kembali dengannya sama saja mengantarkan nyawa."
Lagi-lagi mereka mengangguk setuju.
"Tak ada salahnya kita sesekali berbuat baik membalas budi, benar'kan?" Chien Cou menimpali.
Yang lain akhirnya menyambutnya dengan tertawa setelah Chien Cou memulainya.
Tiba-tiba Suro bangkit dari duduknya, yang langsung dilihat oleh Mou Li dan Chien Cou karena posisi duduk mereka menghadap ke arah pembaringan Suro. Mereka terhenyak kaget dan nyaris terlompat mundur.
Tetapi buru-buru Suro menangkupkan tangannya di depan dada dan menundukkan sedikit kepalanya.
"Kali ini, saya yang berhutang nyawa pada kalian!" Suro mengeluarkan ucapannya dengan jujur.