Chen Lian buru-buru membuka sebuah gulungan surat yang baru saja ia terima, lalu membacanya. Tiba-tiba bibirnya menyungging senyum sambil mengangguk-anggukkan kepala, bola matanya pun terlihat berbinar-binar. Setelah itu, ia meletakkan gulungan surat di atas meja yang berada disampingnya.
Seorang lelaki berpakaian prajurit masih berlutut dengan tangan mengepal di depan dada menunggu reaksi dari Chen Lian.
Chen Lian kemudian menatap ke arah prajurit itu dengan wajah berseri-seri, lalu berdiri dan melangkah mendekat lalu bertanya pada seorang prajurit yang menyerahkan gulungan surat itu, "Jadi mereka sudah 4 hari bersembunyi di kuil Shao Lin?"
"Benar tuan," jawab prajurit itu, "Orang kita yang bertugas menyusup disana memberikan informasi demikian kepada saya, makanya saya langsung buru-buru melapor."
"Jika benar, maka dua hari ke depan mereka akan meninggalkan kuil Shao Lin menuju dermaga!" katanya seperti menghitung.
"Benar, tuan. Beberapa hari lagi adalah musim angin utara, dan mereka akan berangkat ke negeri orang bertopeng itu," si Prajurit menambahkan.
Chen Lian meletakkan kedua tangannya dibalilk punggung, berjalan kesana kemari dengan tenang sambil memikirkan sesuatu.
"Apakah orang itu bukan dari bangsa Han?" tanya Chen Lian kemudian, dia merasa kaget ketika mendengar penjelasan si prajurit.
Si prajurit menjawabnya dengan anggukan terlebih dahulu sebelum ia memberi keterangan kepada Chen Lian.
"Menurut mata-mata kita di dalam kuil, orang itu bernama Suro Bawu, dan berasal dari sebuah negeri di salah satu samudera selatan yang di sebut Jawa. Disini, ia dipanggil dengan sebutan Luo Bai Wu. Dan ia pernah dijuluki dengan sebutan Pendekar dari Lembah Damai!"
Chen Lian memegang dagunya, sambil berjalan kesana-kemari sambil berfikir. Dahinya terlihat berkerut dan matanya mengikuti gerakan kepalanya yang terkadang mendongak ke atas.
"Aku belum pernah dengar Negeri Jawa," katanya, "Tapi aku dengar cerita turun temurun, bahwa pada zaman Dinasti Yuan, penguasa pada masa itu pernah mengirimkan utusan ke sebuah negeri, lalu utusan itu diperlakukan buruk oleh penguasa di sana. Apakah negeri itu yang dimaksud dengan Jawa?"
Ia berkata demikian sambil membalikkan posisinya ke arah si prajurit, dan berharap perajurit itu bisa memberikan jawaban.
"Mohon maaf, tuan," sahutnya, "Hamba tidak tahu tentang hal itu."
Chen Lian mengangguk-angguk sebentar, kemudian ia kemballi duduk dikursinya, menuangkan secawan arak yang tersedia di meja dan meminumnya sekali teguk. Ia terdiam sejenak, merasakan efek arak yang diminumnya mengallir ditenggorokan.
"Kemungkinan besar, jika dugaanku memang benar, orang itu berasal dari negeri yang pernah didatangi penguasa dinasti Yuan. Kudengar, di negeri itu juga banyak orang-orang aneh dan sakti. Jadi, wajar saja jika Perwira Chou cukup repot menghadapi orang itu sampai-sampai meminta bantuan pada Ye Chuan si Naga Api. Tapi..." ia berhenti sejenak ketika kata-katanya sendiri menyebut nama Ye Chuan, "Apa yang terjadi dengan Ye Chuan? Mengapa orang bertopeng itu masih hidup?"
Tiba-tiba darahnya berdesir, Jika selama ini tidak ada informasi tentang Ye Chuan, ia menduga kalau-kalau Suro yang disebutnya sebagai orang bertopeng itu telah berhasil mengalahkan Ye Chuan dan sampai membunuhnya.
Ia mengenal Ye Chuan, seorang pendekar nomor satu di dunia persilatan daratan China. Tak ada seorang pun pendekar ahli dan berilmu tinggi yang bisa mengalahkannya. Jika memang Ye Chuan bisa kalah dan tewas ditangan Suro, maka setinggi apakah ilmu orang bertopeng itu? Ia membatin sendiri.
Chen Lian meraih teko berisi arak, lalu menuangkannya kembali pada cawan kecil hingga penuh. Lalu ia meminumnya habis sekali tegukan.
Dahinya kembali berkerut, nampak memikirkan suatu rencana. Dalam kepandaian ilmu bela diri, dirinya sedikit lebih tinggi dari pada Perwira Chou, hanya saja karena kalah dalam kekuasaan, maka mau tidak mau ia harus patuh padanya. Jika Perwira Chou bisa kalah dari Suro itu adalah hal yang wajar, tetapi jika Ye Chuan yang kalah, bisa dipastikan dirinya pasti sama dengan perwira Chou. Oleh karena itu, ia harus memikirkan cara untuk bisa menangkap Suro, hidup atau mati.
Tiba-tiba ia mengangkat kepalanya ke arah prajurit yang baru saja melapor, "Bawa anggotamu sekitar 30 orang untuk ikut bersamaku. Sebagian dari mereka adalah pasukan pemanah. Jika kita Ke Shao Lin, kita akan menghadapi banyak masalah, maka lebih baik kita mencegatnya sebelum mereka sampai ke dermaga. Kita akan berangkat beberapa saat lagi!"
"Siap, tuan!" jawabnya tegas.
"Oh, ya!" sebelum prajurit itu berdiri, Chen Lian menyambung, "Perintahkan beberapa orang ke Lembah Awan Perak untuk menyampaikan berita ini, aku akan menulis surat untuk Tuan Chou!"
***
Malam hari, bulan pernama hari ketiga di Lembah Awan Perak...
Lelaki itu sedang duduk bersila melakukan meditasi. Seperti tekadnya untuk membunuh Suro, maka ia saat ini sedang menjalani latihan untuk meperkuat tenaga dalamnya.
Suasana halaman depan gua beberapa langkah disamping jasad Ye Chuan si Naga Api, Perwira Chou perlahan membuka kedua tangannya ke samping kiri dan kanan seolah mendorong sesuatu yang berat sehingga nampak bergetar, ia menarik nafas begitu lembut sehingga tak nampak dadanya turun naik.
Kemudian menariknya kembali, lalu kali ini disorongkannya keatas. Seolah sedang mengangkat benda berat, tangannya pun nampak bergetar. Lalu menurunkan tangannya dengan cara membukanya dari atas ke bawah dan kembali menyatukan telapak tangannya menghadap ke atas didepan pusar.
Secara samar, nampak tubuhnya diselimuti asap tipis membumbung ke atas, wajahnya memerah, dan keringat bercucuran sampai membasahi pakain yang ia kenakan.
Sekitar setengah jam kondisi tubuhnya seperti itu, perlahan ia membuka matanya dan berdiam diri kembali beberapa saat. Bibirnya membuka sedikit, dan terdengar suara desis yang halus, pertanda ia sedang menghembuskan nafas yang panjang.
Tubuhnya tiba-tiba melenting dari posisi duduk bersila, tangannya menyilang didepan dada dengan mengepal, mengayunkan pukulan kiri dan kanan, kemudian melakukan tendangan. Lalu ia membuat gerakan salto kebelakang, begitu kakinya menjejak tanah, tubuhnya berputar sambil mengangkat kakinya membuat serangan tendangan.
Karena serangan yang dilakukan sangat bertenaga dan dilakukan dengan kekuatan penuh, menimbulkan suara seperti gemuruh, gerakannya yang cepat mengibarkan kain yang dikenakannya.
Debu-debu beterbangan setiap dia memijakkan kakinya. Tenaga dalamnya keluar mempengaruhi energi disekitarnya.
Di akhir, ia pun menutup gerakan dengan menyatukan kedua kaki dan merapatkan tangan disisi pinggang.
Setelah mengatur nafasnya sejenak, ia pun nampak tersenyum. Wajahnya berseri-seri. Lalu memungut sebuah kitab yang terletak di atas tanah, dan membuka isinya lembar demi lembar.
"Tak kusangka, aku bisa menguasainya dalam waktu singkat. Target, lusa aku sudah harus menguasai semua ilmu ini," katanya, lalu tertawa nyaring tanpa beban.
Pada sampul kitab tertulis : "Energi Dua Belas Bintang."
Perwira Chou merupakan seorang murid dari pendekar sakti yang bernama Chang Siang, seorang pendekar golongan hitam yang mendukung pemberontakan terhadap dinasti Ming. Dikatakan golongan hitam karena ilmunya yang dianggap sangat kejam dan sadis.
Bisa dikatakan, ilmu kungfu ini memiliki aliran tenaga dalam yang jahat dan beracun. Jika seseorang terkena pukulanya, maka ia akan mati dengan tubuh seperti tanpa tulang ketika melihat bintang. Energi tenaga dalam itu akan bergerak menjadikan tulang orang yang terkena pukulan menjadi serpihan-serpihan di dalam tubuh.
Di masa pemberontakan ia mengambil seorang murid untuk mewarisi ilmunya, yakni Chou kecil. Hanya sayang, sebelum pelajaran ilmu kungfu itu selesai diturunkan, ia tertangkap oleh prajurit kerajaan dengan cara dijebak dan dipanah dengan panah beracun.
Ujung hidupnya, ia menemui kematian dengan cara dihukum pancung!
Energi Dua Belas Bintang, merupakan sebuah nama yang diambil dari adanya dua belas bintang yang konon memiliki energi untuk mengatur pergerakan alam. Untuk menguasai energi itu, orang yang melatihnya harus mempunyai konsentrasi yang tinggi, dan mempunyai kemampuan menembus 12 energi yang ada dalam tubuhnya, kemudian mengontrolnya menjadi satu energi yang disebut energi gelap.
Karena sifatnya yang merusak, maka orang yang mempelajarinya harus mampu membuat semacam selubung energi yang mengontrol atau mengawal pergerakan energi 12 bintang ke arah yang dituju. Jika tidak, maka akibatnya, energi gelap tersebut justru akan menghabisi seluruh tulang yang ada di dalam tubuhnya.
Untuk saat ini, Perwira Chow baru saja selesai mengaktifkan Selubung Energi guna menangkap energi gelap yang akan ia munculkan dalam latihan berikutnya. Namun, untuk membangkitkan energi ini pun, ia harus hati-hati, jika tidak selaruh jalur meridian atau garis khayal dalam tubuhnya akan rusak, dan berakibat semua ilmu yang dipelajarinya akan musnah seketika.
Makanya, ketika ia berhasil menyelesaikan latihan ditahap ini, wajahnya menunjukkan kepuasan yang amat sangat. Pada tahap selanjutnya, energi gelap akan bisa dibangkitkan dikontrol dengan mudah.
***
Malam hari di waktu yang sama dan tempat berbeda.
Suro keluar dari kamarnya menuju ke tempat dimana ia berlatih di bawah sebatang pohon rindang, agak jauh dari Balai Seribu Budha, ia kemudian duduk di tanah tanpa alas. Wajahnya mendongak ke arah bulan yang malam itu nampak bulat penuh.
Ia sendiri tidak tahu, mengapa ia senang memandang bulan. Sewaktu masih berada dipadepokan, setiap malam purnama, Ki Ronggo selalu mengajak para santrinya untuk berkumpul di halaman terbuka.
Ki Ronggo selain sebagai guru Silat, beliau juga seorang pendakwah. Beliau mempunyai cara yang unik dan tidak membosankan untuk mengajar, terutama dalam mengajarkan ajaran Islam. Inilah sebabnya, Suro dengan mudah dapat mengingat dan memahami semua pelajaran yang diajarkan oleh Ki Ronggo.
Untuk mengenalkan tuhan, Ki Ronggo mengajarkannya meniru cara yang dilakukan nabi Ibrahim alaihissalam, yaitu mengenal tuhan dengan memperhatikan fenomena alam.
"Anak-anakkku," katanya.
Pengajaran kali itu, Ki Ronggo membaur diantara para santrinya, "Tahukah kalian, mengapa dikatakan bahwa Allah itu maha indah?"
Mendengar pertanyaan itu, para santri saling pandang dan berbisik satu sama lain untuk berdiskusi. Karena terlalu lama, Ki Ronggo akhirnya meneruskan kalimatnya yang menjawab pertanyaannya sendiri.
"Coba kalian lihat bulan itu, lalu lihatlah bintang-bintang disekitarnya," Ki Ronggo Mendongakkan kepalanya sembari jarinya menunjuk ke langit.
Malam itu, Suro yang masih remaja menatap takjub ke langit, matanya seolah terpesona dengan apa yang dilihatnya. Begitu lekat, dirinya merasa sangat kecil. Ia seperti sebutir debu yang tak berarti, terombang-ambing oleh samudera langit yang tak berujung. Begitu damai dan tentram.
Ia pun akhirnya mengangkat tangannya dan berseru lugu, "Apakah karena langit malam yang dihiasi bulan dan bintang itu indah, Ki?"
Ki Ronggo menoleh ke arah Suro, sambil mengangguk-angguk dan tersenyum.
"Kau benar, anakku," katanya, "Langit dan segala macam yang menjadi hiasannya, semua itu adalah mahluk yang diciptakan oleh-NYA. Dari situlah kita mengetahui bahwa Allah itu Maha Indah. Apa yang diciptakannya saja begitu indah, apakah lagi yang menciptakannya. Kita juga tahu, mengapa Allah itu Maha Besar, karena langit yang diciptakannya saja seluas ini, apalagi yang menciptakannya."
Mengingat itu, Suro tersenyum, hatinya merasa damai dan tenteram. Ia merindukan masa-masa seperti dulu, walaupun terkesan sederhana, tetapi perasaannya seperti berada di surga. Tak ada rasa sedih, rasa sakit, rasa takut dan lain-lainnya. Yang ada hanyalah rasa suka, sayang guru dan sesama, tenteram, damai, bahagia dan rasa-rasa lainnya. Tak ada banyak kebutuhan. Lapar? Mereka tinggal memancing, memanen sayur, buah dan makanan lainnya yang ada di lembah. Ketika sedih? Mereka bisa meminta nasehat pada Ki Ronggo.
Tapi, setelah padepokannya terbakar bersama dengan guru dan rekan-rekannya, ia seperti terusir dari Surga, dan menjalani kehidupan barunya didunia yang sekarang ia jalani.
"Ah, betapa indahnya," katanya bergumam. Lalu menyusulnya dengan melantunkan dzikir.
"Kakak, bulannya indah, ya...." satu suara lembut terdengar dari arah belakangnya.
"Iya," Suro menyahut, tapi pemuda itu tak menyadari kalau ada satu suara meminta tanggapannya.
Tiba-tiba, ia terkejut. Kalimat dan gaya bahasa itu terdengar tak asing baginya. Itu adalah suara Yang Li Yun.
Lalu buru-buru ia menoleh ke belakang dan mendapati Yang Li Yun duduk dikursi rodanya sambil tersenyum dengan ditemani Rou Yi.
"Ah... Kalian berdua mengagetkanku," Suro berkata begitu sambil mengelus dadanya, "Mengapa kalian tidak beristirahat?"
"Kakak Luo jangan menyalahkanku," Rou Yi menyahut, "Kekasihmu yang manja ini yang mendesakku untuk keluar melihat bulan. Katanya, kakak Luo selalu berada di luar jika malam purnama."
Li Yun yang mendengar ucapan Rou Yi langsung mencubit lengan gadis itu yang berada di samping kursi rodanya, hingga Rou Yi buru-buru menarik tangannya sambil meringis kesakitan.
"Jangan suka bersembunyi dibalik alasan. Dalam hatimu aku tahu kalau kau suka jika kuajak keluar," Li Yun mengelak.
Debat kecil dua gadis dihadapan Suro membuat pemuda itu tersenyum meringis sambil menggaruk kepalanya. Ia tak tahu apa yang harus ia katakan. Tapi dalam hati ia merasa lega, melihat Rou Yi sudah tidak terlihat sedih lagi seperti malam-malam sebelumnya.
"Baiklah," katanya, lalu menggantikan posisi Rou Yi mendorong kursi roda Li Yun dan memposisikannya sejajar dengan tempat dimana ia duduk, kemudian ia menarik lengan Rou Yi menuntunnya ke sisi yang lain disebelahnya. "Kalian berdua bisa melihat bulan bersamaku."
Kedua gadis itu tersenyum mendengar kalimat Suro.
"Kakak," Li Yun tiba-tiba berkata sambil menoleh ke arah Suro, "Lihat kakiku sudah bisa bergerak lebih tinggi."
Li Yun berkata sambil menggerak-gerakkan kedua kakinya secara bergantian, wajahnya yang nampak ceria karena merasa sudah mengalami kemajuan atas cideranya menjadi kelihatan sangat cantik.
Suro tersenyum lebar, dan merasakan kegembiraan yang sama dengan Li Yun, "Alhamdulillah..."
Li Yun memandang Suro sambil tersenyum, kemudian ikut berkata, "Alhamdulillah..."
Rou Yi pun tak kalah senang, ia juga baru mengetahui kalau kaki Li Yun sudah bisa digerakkan malam itu, padahal setiap saat ia selalu bersama Li Yun.
"Alhamdulillah..." akhirnya ia pun berucap juga.
Suro langsung menatap Rou Yi ketika mendengar gadis itu juga mengucapkan kalimat pujian, matanya langsung berkaca-kaca karena terharu. Namun berbeda dengan Rou Yi, gadis itu langsung menundukkan kepala begitu mata Suro menatap kearahnya. Wajahnya pun bersemu merah.
Melihat perubahan pada wajah Rou Yi dan gadis itu juga menundukkan kepala, ia pun spontan langsung beristigfar karena merasa berdosa. Li Yun yang mendengar Suro beristigfar langsung tertawa, dan kembali membuat Suro menoleh kepadanya dengan tatapan heran.
"Kenapa kau tertawa?" ia langsung bertanya pada Li Yun.
Untuk beberapa saat, Li Yun belum bisa menghentikan tawanya, hingga ia berkata sesekali diantaranya, "Kakak,... Aku tahu, kau beristigfar bukan karena sedang melihat hantu. Tetapi kakak beristigfar karena merasa berdosa memandang wajah cantik Rou Yi, betul'kan?"
Selesai mengatakannya, gadis itu pun kembali tertawa membuat Suro merasa sangat keki dengan adik angkatnya itu. Bicaranya yang selalu terus terang dan ceplas-ceplos, tanpa melihat kondisi kadang membuatnya salah tingkah. Ingin rasanya ia melakukan tonjokan kecil ke kepala adiknya itu sebagaimana dahulu ketika orangtua angkatnya masih ada.
Lalu ia melirik dengan sudut matanya ke arah Rou Yi, ia bisa melihat kalau Rou Yi juga seperti mati kutu tak bisa menjawab dengan wajah yang semakin bertambah merah. Barangkali jika ia bisa mendengar suara batin Rou Yi mengumpat, mungkin gadis itu akan berkata : "Awas kau gadis tengik!"
Tapi akhirnya ia pun tersenyum. Toh, Rou Yi juga bukan orang asing dan sudah cukup dekat dengannya.
"Kakak," Li Yun akhirnya berhenti tertawa, "Tolong buatkan aku tongkat, ya."
Suro tersenyum memandang Li Yun, lalu menganggukkan kepalanya, "Besok akan kakak buatkan!"