Suro sempat memandang takjub begitu sampai di depan pintu gerbang Kuil Shaolin. Namun, ia tak bisa berlama-lama berdiam disitu berdiri terpaku mengamati setiap hal yang menarik perhatiannya. Sebab, ia harus segera membawa masuk ketiga orang biksu muda yang sedang terluka setelah turun dari kuda yang dibelinya untuk mengangkut mereka.
Dalam hati ia bersyukur diberi bekal puluhan keping emas dari ayah angkatnya.
Begitu pintu gerbang terbuka, ia mendapati dua orang biksu muda lainnya yang terkejut begitu mengetahui kalau yang terluka adalah saudara mereka.
Luka dalam yang dialami Yung Se Kuan dan Hang Se Yu semakin parah selama dalam perjalanan, tubuhnya demam tinggi karena tidak bisa langsung ditangani. Berbeda dengan Chin So Yung yang tidak mengalami cidera luka dalam, hanya sendi bahunya yang tergeser dan sempat dipulihkan oleh Suro dalam pelarian mereka menuju biara. Sedangkan luka yang dialami Suro sendiri, walaupun perih masih bisa ia tahan.
"Kakak!" mereka terkejut dan berseru bersamaan menyambut kedua Saudaranya yang tampak kepayahan. Lalu bergegas membantunya berjalan.
"Bawa mereka ke kamarku terlebih dahulu untuk diobati," Chin So Yung berkata pada dua orang biksu muda yang menyambutnya.
Dengan sigap, mereka pun melakukan apa yang dikatakan oleh Chin So Yung. Suro mengikutinya dari belakang.
Sesekali ia sempatkan untuk memandang berkeliling, dan mengamati ruangan-ruangan yang mereka lewati. Ia memperhatikan isi bangunan dalam kuil itu memanjang terdiri dari beberapa tempat.
Untuk menuju tempat satu ke tempat lainnya mereka melewati gapura-gapura yang diatasnya terdapat tulisan berisi keterangan.
Ada deretan bangunan yang memanjang yang terdapat pintu dan jendela yang berjarak, dan masing-masing pintu adalah bangunan kamar.
Kedua biksu yang terluka itu langsung dibawa masuk ke dalam satu ruangan terdekat yang merupakan kamar dari Chin So Yung. Di dalamnya terdapat dipan memanjang yang beralas kain cukup tebal, dan disitulah Yung Se Kuan dan Hang Se Yu dibaringkan.
Chin So Yung langsung memberikan kesempatan Suro untuk menangani cidera yang dialami oleh Yung Se Kuan dan Hang Se Yu.
Tak lama seorang biksu lainnya yang menurut taksiran Suro berumur 70 atau 80 tahun menyeruak masuk, pakaiannya berbeda dengan yang dipakai biksu lainnya. Ia adalah biksu kepala bernama Lie Kei Wajahnya yang sudah keriput dan berjanggut sepanjang genggaman menambah aura kematangan dan kebijaksanaan.
"Apa yang terjadi?" ia bertanya sambil mengamati keadaan dua orang muridnya yang sedang ditangani oleh Suro.
"Biksu Kepala," mereka menyambut kedatangan Biksu Kepala sambil menunduk.
"Kakak Se Kuan dan Se Yu terluka parah!" Chin So Yung melapor.
Biksu Kepala Lie Kei sejenak mengamati kondisi Yung Se Kuan dan Hang Se Yu yang terbaring lemah.
"Biksu So Lai belum kembali ya?" ia bertanya pada para biksu yang ada disekitarnya.
"Belum, baru tadi pagi beliau berangkat mencari tanaman obat," salah seorang biksu muda menyahut.
Yang disebut oleh Biksu Kepala, yakni Biksu So Lai adalah biksu yang menangani pengobatan di kuil itu. Hanya saja, pada peristiwa ini ia sedang tidak berada di tempat.
Melihat kondisi Yung Se Kuan dan Hang Se Yu, orang tua itu nampak sedikit panik, lalu menoleh ke arah Chin So Yung.
"Coba ceritakan padaku, bagaimana kejadiannya?"
Chin So Yung pun menceritakan secara singkat kejadian yang mereka alami di kota.
Beberapa kali Biksu Kepala Lie Kei menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar apa yang diceritakan oleh Chin So Yung, menyayangkan kejadian itu. Ketika ia mendengar nama Ye Chuan, dahinya langsung berkerut tanda ia mengingat sesuatu.
Kemudian ia mengarahkan pandangan Suro yang sudah selesai melakukan beberapa pijatan di tubuh Yung Se Kuan dan Hang Se Yu.
"Saya mewakili mereka berdua mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya pada pendekar Luo. Jika tak ada bantuan dari pendekar, entah apa yang akan terjadi pada mereka." ia menyatukan kedua telapak tangannya sambil menunduk sedikit.
Suro tersenyum dan balas menundukkan kepalanya memberi hormat.
"Tidak perlu berlebihan. Sudah sepatutnya kita saling membantu sesama. Saya hanya perantara saja untuk menolong mereka," Suro berkata merendah.
Kemudian ia membuka perbekalannya, lalu mengambil beberapa buah botol kecil yang tertutup dengan kain pengikat yang didalamnya terdapat serbuk obat yang sudah dihaluskan. Sebelum membukanya, ia memandangi beberapa botol yang ada ditangannya, lalu kemudian tersenyum.
"Adik Yi, kau memang luar biasa. Aku tak menyangka kau mempersiapkan semua yang tak kupikirkan. Jika kau biarkan aku yang mempersiapkannya sendiri mungkin botol-botol obat pilihan ini tak terpikirkan olehku untuk kubawa...." ia membatin.
Botol obat itu langsung mengingatkannya pada Rou Yi, itulah sebabnya mengapa ia tersenyum, terharu dan merasa kagum pada gadis itu.
"Tuan," katanya, ia tak tahu harus memanggil dengan sebutan apa, "Ini adalah obat untuk menurunkan demam dan memperbaiki kondisi organ tuan-tuan ini. Minta tolong agar tuan memerintahkan seseorang untuk merebusnya."
Sambil berkata demikian, Suro memberi beberapa serbuk ramuan pilihan dari beberapa botol yang ada, lalu menyerahkannya pada biksu kepala.
Biksu kepala Lie menerima serbuk obat yang sudah diracik oleh Suro, kemudian memerintahkan kepada seorang biksu muda lain yang ada disitu untuk merebusnya sesuai yang dikatakan oleh Suro.
"Bagaimana kodisi murid-muridku, tuan?" tanyanya.
Suro tersenyum, "Fisik dan tenaga dalam mereka cukup kuat sehingga membuat tubuh mereka bisa bertahan, saya sudah melakukan pemijatan pada titik-titik meridian tertentu ditubuh mereka, dan setelah meminum rebusan obat ini insyaallah mereka akan segera pulih."
Biksu kepala menarik nafas lega begitu mendengar penjelasan Suro. Tiba-tiba ia kembali menampakkan raut muka terkejut begitu melihat pakaian yang dikenakan oleh Suro terdapat robekan bercampur darah di daerah perutnya.
"Tuan juga terluka, lebih baik berisitirahatlah untuk mengobati luka tuan sendiri di sini sementara sampai tuan benar-benar merasa lebih baik," katanya kemudian.
Yung Se Kuan tiba-tiba memegang lengan Suro dalam keadaan masih berbaring, dan itu membuat Suro menoleh kearahnya. Suro melihat Yung Se Kuan tersenyum.
"Benar tuan pendekar. Kami merasa lebih baik, sekarang giliran tuan untuk mengobati luka tuan sendiri," katanya dengan suara yang masih lemah dan menahan sakit ditubuhnya.
Suro membalas senyuman dari Yung Se Kuan, kemudian mengangguk. Ia menundukkan kepalanya untuk melihat seberapa parah luka cakaran Ye Chuan diperutnya.
"Baik, terima kasih tuan," Suro membalas ucapan perhatian dari Yung Se Kuan.
"Silahkan tuan beristirahat di kamar tamu," Biksu Kepala Lie Kei berkata, "tolong seseorang mengantarkan tuan ini ke kamar tamu...."
Beberapa saat kemudian, setelah selesai mengurusi lukanya, seseorang biksu muda menjemputnya ke ruang pertemuan. Di sana Biksu Kepala dan seorang biksu lainnya yang terlihat lebih senior sudah duduk di kursi yang saling berhadapan dalam satu meja panjang.
Melihat kedatangan Suro ke dalam ruangan itu, mereka semua berdiri dan mengucapkan kalimat penyambutan. Selanjutnya mempersilahkan Suro untuk duduk di salah satu kursi yang masih kosong.
"Mohon maaf jika penyambutan kami dirasa kurang sopan. Sebelumnya, aku perkenalkan diri, Aku adalah biksu kepala di sini, Lie Kei En, dan ini biksu Kei Yin, Kepala pelatih Senior."
Suro menunduk memberi hormat kepada mereka, "Namaku Luo Bai Wu. Saya justru berterima kasih kepada tuan karena diizinkan beristirahat di sini."
"Mohon maaf kalau saya bertanya pada pendekar Luo, dari apa yang saya perhatikan, apakah tuan berasal dari suatu tempat?"
Suro sudah menduga akan mendapat pertanyaan yang sama jika setiap orang pertama kali berjumpa dengan dirinya.
Maka Suro pun menceritakan perjalanannya hingga sampai ke negeri China.
Begitu Biksu Kepala itu mengetahui bahwa ia berasal dari keluarga Yang, Biksu itu menampakkan wajah gembira.
"Oh, saya sangat mengenal tuan Yang. Orang yang sangat dermawan. Beliau sangat berjasa dalam membantu perbaikan pembangunan kuil ini. Setiap kami mengadakan perjalanan jauh dan kebetulan melintas, kami selalu diberinya tempat untuk menginap dikediamannya. Sungguh, beliau juga berhati mulia...."Biksu Kepala itu berkata memuji Ayah angkatnya. "Bagaimana kabar tuan Yang?"
"Alhamdulillah, beliau dalam keadaan sehat dan baik-baik saja." Suro menjawab, "Sebenarnya, saya juga disarankan oleh Ayah angkat saya, untuk belajar beladiri Shao Lin. Oleh karena itulah melakukan perjalanan sampai kemari."
Mereka berdua saling pandang tak percaya. Terlebih lagi Biksu Kepala Lie Kei En.
"Maafkan saya, pendekar Luo," Biksu kepala menunduk hormat, "Dari cerita yang disampaikan oleh Chin So Yung, pendekar Luo berkemampuan beladiri yang tinggi sehingga mampu mengelabui Ye Chuan si Naga Api. Saya sendiri sudah banyak mendengar kabar tentang Ye Chuan ini. Ilmu kungfunya sangat tinggi yang bahkan mungkin kami sendiri tidak mampu mengalahkannya. Menurutku, buat apa lagi memperdalam kung fu Shao Lin. Bukankah lebih baik memperdalam ilmu beladiri tuan pendekar sendiri?"
Ia berkata demikian sambil tersenyum ramah, "Jika anda tahu, Yung Se Kuan adalah orang yang paling berbakat dan mempunyai kungfu paling tinggi diantara murid-murid lainnya. Di sini kedudukannya adalah sebagai wakil kepala pelatih. Dan tuan sudah melihat sendiri, kemampuannya juga tak lebih baik dari tuan..."
Suro tersenyum menjawab, sebenarnya bukan ilmu beladiri yang dicarinya, tetapi adalah tempat untuk bersembunyi dari kejaran tentara Manchuria. Tetapi, tidak mungkin ia menceritakan peristiwa itu secara jujur. Makanya, ia harus mencari alasan yang tepat agar ia bisa tinggal dengan aman di dalam kuil Shao Lin.
"Biksu kepala sebaiknya tidak perlu memanggilku dengan sebutan pendekar, cukup panggil saja nama saya. Itu lebih pantas, dan saya juga lebih senang," Suro berkata merendah.
Biksu Kepala mengangguk-angguk, ia kemudian tersenyum dan berkata, "Baiklah."
"Sebenarnya, saya adalah orang yang senang mempelajari hal-hal baru. Jika tidak, saya tidak perlu jauh-jauh berpetualang sampai ke negeri ini." Suro mencoba menjelaskan tujuannya, "Setelah beberapa lama tinggal dengan keluarga Yang sebagai anak angkat, saya mempelajari kungfu Thai Chi dari pelatih adik saya, Tetua Huang Nan Yu. Selanjutnya saya mempelajari cara berdagang dari ayah saya sendiri. Kemudian dari perjalanan itu, saya banyak melihat dilingkungan sekitar, ternyata masih banyak orang miskin yang kesulitan untuk berobat karena ketidakmampuan mereka membayar biaya pengobatan, maka saya bertekad untuk mempelajari ilmu pengobatan di Lembah Gezi dengan Tabib Yin Ke Hu. Dan saat ini, meskipun barangkali Biksu Lie Kei An melihat ilmu beladiri saya lebih tinggi dari kepala Pelatih Yung Se Kuan sendiri, tetapi tujuan saya belajar beladiri adalah untuk menambah pengalaman dan wawasan. Apalagi dalam ajaran yang saya yakini, belajar beladiri sangat dianjurkan. Disamping itu juga, saya teringat kata-kata dari tetua Huang Nan Yu dan Tabib Hu, bahwa mempelajari sesuatu yang baik itu akan menjadikan kita menjadi lebih baik lagi, ilmu beladiri kita yang semula perak akan menjadi emas."
Mendengar penjelasan Suro yang panjang lebar, Biksu Kepala terlihat mengangguk-angguk, tanda ia memahami niat Suro untuk belajar beladiri Shou Lin. Ia kemudian menoleh kepada Biksu Kei Yin meminta pendapat dan pandangan,
"Bagaimana menurutmu, Kei Yin?" Biksu Kepala bertanya.
Lelaki tua yang merupakan kepala pelatih utama atau senior itu, yakni Biksu Kei Yin, nampak mengerutkan keningnya, ketika Biksu kepala itu bertanya meminta pendapatnya, dia nampak sedang berfikir.
"Menurut saya, biara Shao Lin mempunyai aturan yang ketat bagi siapapun yang ingin belajar kungfu, karena tujuan sebenarnya bagi orang-orang yang masuk kesini adalah untuk mendalami ajaran Budha, menjaga diri dari hiruk pikuknya dunia luar dan membersihkan diri dari karma buruk. Dari pengamatanku, kau bukanlah penganut ajaran Budha, jadi sebenarnya tidak patut kau belajar apapun disini." Jawabnya, penyampaiannya terdengar halus dan sopan.
Ia terdiam sejenak, memandang ke arah biksu kepala sambil tersenyum, kemudian melanjutkan kata-katanya, "Tetapi, karena jasamu menyelamatkan nyawa Yung Se Kuan, Hang Se Yu dan Ching So Yun, aku fikir tidak masalah sebagai balas budi pihak Shao Lin. Semua saya kembalikan tergantung kebijakan Biksu Kepala."
Biksu Kei An tersenyum mendengar penyampaian dari Biksu Kei Yin. Ia bisa merasakan aura dari Kepala pelatih senior itu sebenarnya menyatakan persetujuan untuk Suro, lalu Biksu Kepala memandang ke arah Suro.
"Baiklah kalau begitu," katanya, "Dari penjelasanmu tadi mengatakan, bahwa kau adalah anak angkat Tuan Yang Meng," ia nampak menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan ucapannya. "Bukannya aku tidak percaya, tetapi untuk lebih meyakinku, apakah kau membawa surat pengantar dari ayah angkatmu, tuan Yang Meng?"
Suro mengangguk, lalu mengeluarkan sepucuk surat dari balik bajunya, kemudian diserahkan kepala Biksu Kei An.
Biksu Kei An segera membuka dan membaca surat yang diterimanya dari Suro, sambil mengamati kebenaran isi surat yang dituliskan langsung oleh Yang Meng. Lalu tak lama, ia pun tersenyum pada Suro sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Intinya tuan Yang Meng menyampaikan bahwa kau adalah penganut agama Islam, dan memohon untuk menampungmu di biara ini untuk belajar kungfu." Katanya.
Pemuda itu menatap Biksu Kepala yang tersenyum padanya, ia nampak berharap agar dirinya bisa masuk sebagai murid Shao Lin untuk belajar kungfu, bukan belajar agama Budha.
"Apakah biksu Kepala mengijinkan?" ia bertanya penuh harap.
Biksu Kei An tertawa terkekeh sambil mengusap-usap janggutnya yang putih dan panjang, setelahnya ia menarik nafas dalam mengakhiri tawanya dengan sebuah senyum yang dimata Suro terlihat bijak.
"Aku tak bisa menolak permintaan tuan Yang Meng lewat isi surat ini. Maka mulai sekarang, kau bisa mempelajari kungfu yang diajarkan di biara ini dengan mengikuti aturan yang berlaku untuk semua biksu Shao Lin diluar belajar ajaran Budha. Kegiatan sehari-hari harus dikerjakan sendiri, seperti menyapu, memasak, mencuci pakaian dan lain-lain. Bagaimana?"
Raut wajah Suro langsung berubah cerah, senyumnya langsung mengembang mendengar bahwa keinginannya dikabulkan.
Ia lalu berdiri, menangkupkan kedua tangannya di depan dada dan senyum mengembang.
"Terima kasih banyak, biksu kepala!"